Jumat, 27 Desember 2019

IRONI IKN BARU : ANTARA REVITALISASI HUTAN LINDUNG DAN GAYA HIDUP MASYARAKAT


Ubaiyana[1]
A.    Hutan Lindung di Indonesia
Definisi hutan lindung dalam UU No.41 Tahun 1999 adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.[2] Hutan lindung Indonesia mempunyai fungsi penting dalam menjaga ekosistem dan biodiversiti dunia. Dari fungsi biodiversiti, Indonesia dikenal sebagai pemilik 17% spesies dunia, diantaranya 11% spesies tumbuhan berbunga yang sudah diketahui, 12% binatang menyusui, 15% amfibi dan reptilia, 17% jenis burung dan sekitar 37% jenis-jenis ikan yang ada di dunia.[3]

B.    Ironi Revitalisasi Hutan Lindung di IKN Baru
IKN baru mengusung konsep “Forest City: Living with Nature”, menyediakan Ruang Terbuka Hijau minimal 50% dari total luas area yang meliputi; Recreational Park, Green Spaces, Zoo, Botanical Garden, dan Sport Complex. Ibu kota baru direncanakan akan berorientasi pada Public Transportation, sepeda dan pedestrian yang didesain terintegrasi antara motorized dan non-motorized transport, serta mempromosikan kendaraan hemat bahan bakar dan ramah lingkungan (electric vehicles). Untuk mengelola sampah, IKN baru menerapkan Smart and Green Waste Management dengan prinsip Waste to Energy dan Circular Economy untuk sampah (3R) dan air limbah. Tidak hanya itu, pemerintah akan membangun bangunan dan perumahan hijau dengan efisiensi energi, air, dan penggunaan bahan daur ulang sebagai material bangunan, serta sistem pencahayaan alami. Semaksimal mungkin memanfaatkan matahari dan angin sebagai sumber listrik, untuk menggantikan batubara sehingga dapat mengurangi emisi CO2.[4]
Salah satu dari tiga daerah yang dipertimbangkan menjadi IKN baru adalah bukit Soeharto. Pembangunan IKN di bukit Soeharto dikatakan akan mengembalikan fungsi hutan lindung. Saat ini, bukit Soeharto justru tidak terlihat seperti hutan lindung, karena sudah banyak pemakaian tanah tidak resmi oleh berbagai pihak.[5] Pemerintah memastikan pemindahan ibu kota tidak akan merusak hutan lindung dan hutan konservasi. Berdasarkan kajian yang telah dilakukan oleh Bappenas, lahan yang dibutuhkan idealnya adalah 80.000 ha.[6] Separuhnya digunakan untuk ruang terbuka hijau termasuk hutan lindung, sedangkan untuk inti ibu kota diperkirakan membutuhkan 40.000 ha.[7] Artinya, lokasi IKN akan berdampingan dengan lokasi hutan lindung yang direvitalisasi. Dalam rencana zonasi dan tahapan pembangunan kawasan IKN, pembangunan akan berlangsung selama kurang lebih 25 tahun (2021-2045). Dalam jangka waktu 4 tahun pertama, diutamakan pembangunan kawasan inti pusat pemerintahan dan kawasan IKN termasuk perumahan ASN, fasilitas Pendidikan, kesehatan dan peribadatan, taman budaya, dan konservasi orang utan.[8] Meskipun konsep forest city mendukung rencana revitalisasi hutan lindung, tetapi membutuhkan waktu lama dalam mewujudkannya. Belum lagi persoalan perlunya adaptasi penduduk pindahan dari Jakarta maupun penduduk asli dengan konsep forest city dan hidup berdampingan dengan hutan lindung.
Arah pembangunan jangka panjang Indonesia adalah pembangunan ekonomi melalui industri, yang menimbulkan ekses atau limbah bahan berbahaya dan beracun. Gaya hidup masyarakat industri ditandai oleh pemakaian produk berbasis kimia yang berpartisipasi meningkatkan produksi limbah bahan berbahaya dan beracun.[9] Hal itu merupakan tantangan yang besar bagi pembangunan IKN baru berkonsep Forest City dan berada di sekitar kawasan hutan lindung. Oleh karena gaya hidup penduduk pindahan Jakarta maupun penduduk asli yang tidak mudah hilang, maka pemerintah perlu memikirkan cara yang efektif untuk mengatasi hal itu.

Dasar kebijakan utama hutan lindung, penulis letakkan pada Pancasila Sila Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Selanjutnya dapat dilihat dalam tabel berikut.

No.
Peraturan
Perihal
1.
UUD 1945 Pasal 28H ayat (1), Pasal 33 ayat 1(3).
Hak untuk mendapatkan lingkungan yang sehat, bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat.
2.
UU No. 5/1990 Pasal 4, 5, 8, 26, 27, dan 34
Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya
3.
UU No. 24/1992 Pasal 20 ayat (2)
Penataan Ruang
4.
UU No. 23/1997 Pasal 10      
Pengelolaan Lingkungan Hidup
5.
UU No. 41/1999 Pasal 3, 6, 18, 19, 26, 38 (1) (2), 40, 46, 68 (1)
Kehutanan
6.
UU No.7/2004 Pasal 21 ayat (2)
Sumber Daya Air
7.
PP No. 45/2004
Perlindungan Hutan
8.
PP No. 24/2010 Pasal 1, 2, 3, 4
Penggunaan Kawasan Hutan
9.
PP No.3/2008 Pasal 25 (1)
Perubahan atas PP No.6/2007 Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan
10.
PP No.104/2015 Pasal 2, 48
Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan
11.
PP No.105/2015 Pasal 4
Perubahan Kedua atas PP No.24/2010 Tentang Penggunaan Kawasan Hutan
12.
PP No.6/2007 Pasal 23
Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan


D.    Revitalisasi Hutan dalam Teori

Dewasa ini, krisis lingkungan hidup global bersumber pada kesalahan fundamental-filosofis dalam pemahaman manusia mengenai dirinya, alam, dan tempat manusia dalam keseluruhan ekosistem. Lihat penjelasan lebih lanjut dalam lampiran.[10] Raymundus Sudhiarsa menyatakan bahwa krisis ekologi pada dasarnya merupakan masalah moral dan religius, yang pada intinya krisis ini terletak pada kualitas manusia dan iman yang dihayati oleh orang-orang yang mengaku beragama.[11] Ditambahkan oleh Albert Schweitzer, “kesalahan terbesar semua etika adalah etika-etika tersebut hanya berbicara mengenai hubungan antara manusia dengan manusia”.[12] Hal tersebut sejalan dengan pemahaman filsafat lingkungan atau Eco-Philosophy oleh Henryk Skolimowski dalam Eco-Philosophy: Designing New Tactics for Living. Dalam hal ini, filsafat lingkungan berusaha membawa kembali koherensi antara sistem nilai manusia dengan pandangannya atas alam semesta.[13] Berdasarkan hal itu, dalam kaitannya dengan revitalisasi hutan lindung di lokasi IKN baru, penulis mengamati dan mencoba menganalisis bahwa revitalisasi hutan lindung tidak hanya cukup dengan didukung oleh konsep Forest City pada wilayahnya, tetapi juga dengan konsep eco-philosophy pada cara pandang manusia atas alam.  Teori yang dapat digunakan adalah:
ü  Biosentrisme, teori lingkungan hidup yang berpusat pada kehidupan (life-centered theory of environment). Manusia mempunyai kewajiban moral terhadap alam. Istilah biosentrisme erat kaitannya dengan istilah yang dinyatakan dalam karya filsuf Paul Taylor, dalam bukunya Respect for Nature: A Theory of Environmental Ethics.[14]
ü  Ekosentrisme, merupakan kelanjutan dari teori Biosentrisme. Ekosentrisme memusatkan etika pada seluruh komunitas ekologis, baik yang hidup maupun tidak. Salah satu versi teori Ekosentrisme adalah deep ecology oleh Arne Naess.[15]
ü  Eko-sufisme atau green-sufisme oleh Suwito NS, yang mencoba memadukan aspek spiritualitas agama dengan lingkungan. Eko-sufisme berarti sufisme berbasis ekologi, artinya kesadaran spiritual yang diperoleh dengan cara memaknai interaksi antar sistem wujud terutama pada lingkungan sekitar.[16]
Pada tataran moral, manusia hidup dalam sebuah komunitas moral bersama seluruh kehidupan dan seluruh ekosistem, termasuk komunitas ekologis.[17] Pada akhirnya, satu persoalan utama yang semestinya diperhatikan oleh pemerintah sebelum melakukan pembangunan IKN baru di sekitar wilayah hutan lindung adalah menangani gaya hidup manusia Indonesia khususnya penduduk IKN baru agar tunduk dan patuh dalam melindungi komunitas ekologis. Hal ini semata-mata untuk menyelenggarakan pembangunan nasional yang bersifat prolingkungan hidup sesuai dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals) yang disepakati oleh negara-negara di dunia hingga tahun 2030 termasuk Indonesia, yang salah satu tujuannya untuk menjamin kelangsungan hidup dan terpeliharanya daya dukung lingkungan. Selanjutnya, juga untuk mendukung konsep Forest City di IKN baru.

E.    Kesimpulan
Revitalisasi hutan lindung yang menjadi tujuan lain dari pembangunan IKN baru berkonsep Forest City, dapat dilakukan dengan syarat, dilakukan bersamaan dengan revitalisasi moral manusia Indonesia (Ekosentrisme), sebagaimana yang diamanatkan dalam UU No.41/1999 Pasal 56 ayat (1). Selain itu, pemerintah dapat mengevaluasi kembali kebijakan sebelumnya untuk selanjutnya dapat diterapkan dengan tegas, atau menerapkan kebijakan baru yang sederhana yaitu larangan membuang sampah dengan sanksi denda seperti yang diterapkan di Singapura, Inggris, Jerman, dan lainnya. Apabila revitalisasi moral tidak berjalan efektif, maka Pemerintah perlu mempertimbangkan upaya lain, salah satunya dengan pemanfaatan kawasan atau jasa lingkungan (UU No.41/1999 Pasal 26 ayat [1]) untuk meningkatkan kesadaran manusia akan pentingnya sistem penyangga kehidupan tersebut. Perlu menjadi catatan, dalam pemanfaatan hutan, pemerintah sangat perlu mengantisipasi kemungkinan pelanggaran yang dapat terjadi. Faktanya, RPJP 2005-2025 menyebutkan sebagai basis pembangunan, sumber daya alam sering dimanfaatkan, namun keberlanjutan atas ketersediaannya sering diabaikan.



[1] Mahasiswi Magister Hukum Kenegaraan, NIM. 19/448053/PHK/10562, Fakultas Hukum, UGM Yogyakarta
[2] Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Pasal 1
[3] Kirsfianti Ginoga, dkk., 2005, “Kajian Kebijakan Pengelolaan Hutan Lindung”, Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi, Vol.2, No.2, hlm.204
[4] Lihat dalam Hasil Seminar Nasional Yogyakarta, 16 Oktober 2019 : Ibu Kota Baru dan Langkah Cerdas dalam Menanggapinya, oleh Direktur Perkotaan, Perumahan dan Permukiman, 2019, Kajian Pemindahan Ibu Kota Negara, Kementerian PPN/Bappenas, hlm.31-40
[5] Fabian Januarius Kuwado, Bappenas Pastikan Ibu Kota Baru di Kalimantan Tak Ganggu Hutan Lindung, https://nasional.kompas.com/read/2019/05/13/15512691/bappenas-pastikan-ibu-kota-baru-di-kalimantan-tak-ganggu-hutan-lindung, diakses pada 17 November 2019
[6] Kepala Staf Kepresidenan Republik Indonesia, 2019, Pemindahan Pusat Pemerintahan: Analisis dan Perspektif Pertahanan dan Keamanan, Kementerian PPN, hlm.4
[7] Gatra.com, Pemerintah Jamin Ibu Kota Baru Tak Rusak Hutan Lindung, https://www.gatra.com/detail/news/440115/economy/pemerintah-jamin-ibu-kota-baru-tak-rusak-hutan-lindung, diakses pada 17 November 2019
[8] Hasil Seminar Nasional Yogyakarta, 16 Oktober 2019 : Ibu Kota Baru dan Langkah Cerdas dalam Menanggapinya, oleh Direktur Perkotaan, Perumahan dan Permukiman, 2019, Kajian Pemindahan Ibu Kota Negara, Kementerian PPN/Bappenas, hlm.27
[9] Penjelasan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997
[10] Eko Nurmardiansyah, Eko Nurmardiansyah, Eco-Philosophy dan Implikasinya dalam Politik Hukum Lingkungan di Indonesia, Jurnal Melintas, Vol.30, No.1, 2014, hlm. 75-76
[11] Raymundus Sudhiarsa, 2008, “Merumuskan Tanggung Jawab Iman dan Keberpihakan Pada Lingkungan Hidup”, dalam A. Sunarko dan A. Eddy Kristiyanto, Menyapa Bumi Menyembah Hyang Ilahi: Tinjauan Teologis atas Lingkungan Hidup, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, hlm.186.
[12] Ibid., hlm.76
[13] Ibid., hlm.77-81
[14] Ibid., hlm.86
[15] Ibid., hlm.88-89
[16] Suwito NS, 2011, Eko-Sufisme: Konsep, Strategi, dan Dampak, Penerbit STAIN Press, Purwokerto & Buku Litera, Yogyakarta, hlm.47-48
[17] Eko Nurmardiansyah, Op Cit., hlm.72

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SYARAH PANCASILA : TAARUF DENGAN NEGARA MELALUI AGAMA

Pendahuluan Sebagai suatu kesatuan kehidupan masyarakat, bangsa memiliki cita-cita hidup yang disebut sebagai ideologi. Ideologi menj...