Ubaiyana[1]
A. Hutan
Lindung di Indonesia
Definisi hutan lindung dalam UU No.41 Tahun
1999 adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan
sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir,
mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.[2]
Hutan lindung Indonesia mempunyai fungsi penting dalam menjaga ekosistem dan
biodiversiti dunia. Dari fungsi biodiversiti, Indonesia dikenal sebagai pemilik
17% spesies dunia, diantaranya 11% spesies tumbuhan berbunga yang sudah
diketahui, 12% binatang menyusui, 15% amfibi dan reptilia, 17% jenis burung dan
sekitar 37% jenis-jenis ikan yang ada di dunia.[3]
B. Ironi
Revitalisasi Hutan Lindung di IKN Baru
IKN baru mengusung konsep
“Forest City: Living with Nature”, menyediakan Ruang Terbuka Hijau minimal 50%
dari total luas area yang meliputi; Recreational
Park, Green Spaces,
Zoo, Botanical Garden, dan Sport
Complex. Ibu kota baru direncanakan akan berorientasi pada Public Transportation, sepeda dan
pedestrian yang didesain terintegrasi antara motorized dan non-motorized
transport, serta mempromosikan kendaraan hemat bahan bakar dan ramah
lingkungan (electric vehicles). Untuk
mengelola sampah, IKN baru menerapkan Smart
and Green Waste Management dengan prinsip Waste to Energy dan Circular
Economy untuk sampah (3R) dan air limbah. Tidak hanya itu, pemerintah akan
membangun bangunan dan perumahan hijau dengan efisiensi energi, air, dan
penggunaan bahan daur ulang sebagai material bangunan, serta sistem pencahayaan
alami. Semaksimal mungkin memanfaatkan matahari dan angin sebagai sumber
listrik, untuk menggantikan batubara sehingga dapat mengurangi emisi CO2.[4]
Salah satu dari tiga daerah
yang dipertimbangkan menjadi IKN baru adalah bukit Soeharto. Pembangunan IKN di
bukit Soeharto dikatakan akan mengembalikan fungsi hutan lindung. Saat ini,
bukit Soeharto justru tidak terlihat seperti hutan lindung, karena sudah banyak
pemakaian tanah tidak resmi oleh berbagai pihak.[5]
Pemerintah memastikan pemindahan ibu kota tidak akan merusak hutan lindung dan
hutan konservasi. Berdasarkan
kajian yang telah dilakukan oleh Bappenas, lahan yang dibutuhkan idealnya
adalah 80.000 ha.[6] Separuhnya digunakan untuk ruang terbuka hijau termasuk
hutan lindung, sedangkan untuk inti ibu kota diperkirakan membutuhkan 40.000 ha.[7]
Artinya, lokasi IKN akan berdampingan dengan lokasi
hutan lindung yang direvitalisasi. Dalam rencana zonasi dan tahapan pembangunan
kawasan IKN, pembangunan akan berlangsung selama kurang lebih 25 tahun
(2021-2045). Dalam jangka waktu 4 tahun pertama, diutamakan pembangunan kawasan
inti pusat pemerintahan dan kawasan IKN termasuk perumahan ASN, fasilitas
Pendidikan, kesehatan dan peribadatan, taman budaya, dan konservasi orang utan.[8] Meskipun konsep forest city mendukung rencana
revitalisasi hutan lindung, tetapi membutuhkan waktu lama dalam mewujudkannya. Belum
lagi persoalan perlunya adaptasi penduduk pindahan dari Jakarta maupun penduduk
asli dengan konsep forest city dan
hidup berdampingan dengan hutan lindung.
Arah
pembangunan jangka panjang Indonesia adalah pembangunan ekonomi melalui
industri, yang menimbulkan ekses atau limbah bahan berbahaya dan beracun. Gaya
hidup masyarakat industri ditandai oleh pemakaian produk berbasis kimia yang
berpartisipasi meningkatkan produksi limbah bahan berbahaya dan beracun.[9] Hal itu merupakan
tantangan yang besar bagi pembangunan IKN baru berkonsep Forest City dan berada di sekitar kawasan hutan lindung. Oleh
karena gaya hidup penduduk pindahan Jakarta maupun penduduk asli yang tidak
mudah hilang, maka pemerintah perlu memikirkan cara yang efektif untuk
mengatasi hal itu.
Dasar
kebijakan utama hutan lindung, penulis letakkan pada Pancasila Sila Pertama,
Ketuhanan Yang Maha Esa. Selanjutnya dapat dilihat dalam tabel berikut.
No.
|
Peraturan
|
Perihal
|
1.
|
UUD
1945 Pasal 28H ayat (1), Pasal 33 ayat 1(3).
|
Hak untuk mendapatkan lingkungan yang
sehat, bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
negara dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat.
|
2.
|
UU No. 5/1990 Pasal 4, 5, 8, 26, 27, dan 34
|
Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan
Ekosistemnya
|
3.
|
UU
No. 24/1992 Pasal 20 ayat (2)
|
Penataan Ruang
|
4.
|
UU No. 23/1997
Pasal 10
|
Pengelolaan Lingkungan Hidup
|
5.
|
UU
No. 41/1999 Pasal 3, 6, 18, 19, 26, 38 (1) (2), 40, 46, 68 (1)
|
Kehutanan
|
6.
|
UU No.7/2004 Pasal 21 ayat (2)
|
Sumber Daya Air
|
7.
|
PP
No. 45/2004
|
Perlindungan Hutan
|
8.
|
PP No. 24/2010 Pasal 1, 2, 3, 4
|
Penggunaan Kawasan Hutan
|
9.
|
PP
No.3/2008 Pasal 25 (1)
|
Perubahan atas PP No.6/2007 Tentang Tata
Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan
|
10.
|
PP No.104/2015 Pasal 2, 48
|
Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi
Kawasan Hutan
|
11.
|
PP
No.105/2015 Pasal 4
|
Perubahan Kedua atas PP No.24/2010 Tentang
Penggunaan Kawasan Hutan
|
12.
|
PP No.6/2007 Pasal 23
|
Tata Hutan dan Penyusunan Rencana
Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan
|
D. Revitalisasi
Hutan dalam Teori
Dewasa ini, krisis lingkungan hidup global bersumber
pada kesalahan fundamental-filosofis dalam pemahaman manusia mengenai dirinya,
alam, dan tempat manusia dalam keseluruhan ekosistem. Lihat penjelasan lebih
lanjut dalam lampiran.[10]
Raymundus Sudhiarsa menyatakan bahwa krisis ekologi pada dasarnya merupakan
masalah moral dan religius, yang pada intinya krisis ini terletak pada kualitas
manusia dan iman yang dihayati oleh orang-orang yang mengaku beragama.[11]
Ditambahkan oleh Albert Schweitzer, “kesalahan terbesar semua etika adalah
etika-etika tersebut hanya berbicara mengenai hubungan antara manusia dengan
manusia”.[12] Hal
tersebut sejalan dengan pemahaman filsafat lingkungan atau Eco-Philosophy oleh Henryk Skolimowski dalam Eco-Philosophy: Designing New Tactics for Living. Dalam hal ini, filsafat
lingkungan berusaha membawa kembali koherensi antara sistem nilai manusia
dengan pandangannya atas alam semesta.[13]
Berdasarkan hal itu, dalam kaitannya dengan revitalisasi hutan lindung di
lokasi IKN baru, penulis mengamati dan mencoba menganalisis bahwa revitalisasi
hutan lindung tidak hanya cukup dengan didukung oleh konsep Forest City pada wilayahnya, tetapi juga dengan konsep eco-philosophy pada cara pandang manusia
atas alam. Teori yang dapat digunakan
adalah:
ü Biosentrisme, teori lingkungan hidup yang
berpusat pada kehidupan (life-centered
theory of environment). Manusia mempunyai kewajiban moral terhadap alam.
Istilah biosentrisme erat kaitannya dengan istilah yang dinyatakan dalam karya
filsuf Paul Taylor, dalam bukunya Respect
for Nature: A Theory of Environmental Ethics.[14]
ü Ekosentrisme, merupakan kelanjutan dari teori
Biosentrisme. Ekosentrisme memusatkan etika pada seluruh komunitas ekologis,
baik yang hidup maupun tidak. Salah satu versi teori Ekosentrisme adalah deep ecology oleh Arne Naess.[15]
ü Eko-sufisme atau green-sufisme oleh Suwito NS, yang mencoba memadukan aspek
spiritualitas agama dengan lingkungan. Eko-sufisme berarti sufisme berbasis
ekologi, artinya kesadaran spiritual yang diperoleh dengan cara memaknai
interaksi antar sistem wujud terutama pada lingkungan sekitar.[16]
Pada tataran moral, manusia hidup dalam
sebuah komunitas moral bersama seluruh kehidupan dan seluruh ekosistem,
termasuk komunitas ekologis.[17]
Pada akhirnya, satu persoalan utama yang semestinya diperhatikan oleh
pemerintah sebelum melakukan pembangunan IKN baru di sekitar wilayah hutan
lindung adalah menangani gaya hidup manusia Indonesia khususnya penduduk IKN
baru agar tunduk dan patuh dalam melindungi komunitas ekologis. Hal ini semata-mata
untuk menyelenggarakan pembangunan nasional yang bersifat prolingkungan hidup
sesuai dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals) yang disepakati oleh negara-negara
di dunia hingga tahun 2030 termasuk Indonesia, yang salah satu tujuannya untuk
menjamin kelangsungan hidup dan terpeliharanya daya dukung lingkungan.
Selanjutnya, juga untuk mendukung konsep Forest
City di IKN baru.
E. Kesimpulan
Revitalisasi hutan lindung yang menjadi
tujuan lain dari pembangunan IKN baru berkonsep Forest City, dapat dilakukan dengan syarat, dilakukan bersamaan
dengan revitalisasi moral manusia Indonesia (Ekosentrisme), sebagaimana yang
diamanatkan dalam UU No.41/1999 Pasal 56 ayat (1). Selain itu, pemerintah dapat
mengevaluasi kembali kebijakan sebelumnya untuk selanjutnya dapat diterapkan
dengan tegas, atau menerapkan kebijakan baru yang sederhana yaitu larangan
membuang sampah dengan sanksi denda seperti yang diterapkan di Singapura,
Inggris, Jerman, dan lainnya. Apabila revitalisasi moral tidak berjalan efektif,
maka Pemerintah perlu mempertimbangkan upaya lain, salah satunya dengan
pemanfaatan kawasan atau jasa lingkungan (UU No.41/1999 Pasal 26 ayat [1]) untuk
meningkatkan kesadaran manusia akan pentingnya sistem penyangga kehidupan
tersebut. Perlu menjadi catatan, dalam pemanfaatan hutan, pemerintah sangat
perlu mengantisipasi kemungkinan pelanggaran yang dapat terjadi. Faktanya, RPJP
2005-2025 menyebutkan sebagai basis pembangunan, sumber daya alam sering dimanfaatkan,
namun keberlanjutan atas ketersediaannya sering diabaikan.
[2] Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Pasal
1
[3] Kirsfianti Ginoga, dkk., 2005, “Kajian Kebijakan
Pengelolaan Hutan Lindung”, Jurnal
Penelitian Sosial dan Ekonomi, Vol.2, No.2, hlm.204
[4] Lihat dalam Hasil Seminar Nasional
Yogyakarta, 16 Oktober 2019 : Ibu Kota Baru dan Langkah Cerdas dalam
Menanggapinya, oleh Direktur Perkotaan, Perumahan dan Permukiman, 2019, Kajian
Pemindahan Ibu Kota Negara, Kementerian PPN/Bappenas, hlm.31-40
[5] Fabian Januarius Kuwado, Bappenas
Pastikan Ibu Kota Baru di Kalimantan Tak Ganggu Hutan Lindung, https://nasional.kompas.com/read/2019/05/13/15512691/bappenas-pastikan-ibu-kota-baru-di-kalimantan-tak-ganggu-hutan-lindung, diakses pada 17 November 2019
[6] Kepala Staf Kepresidenan Republik
Indonesia, 2019, Pemindahan Pusat Pemerintahan: Analisis dan Perspektif
Pertahanan dan Keamanan, Kementerian PPN, hlm.4
[7] Gatra.com, Pemerintah Jamin Ibu
Kota Baru Tak Rusak Hutan Lindung, https://www.gatra.com/detail/news/440115/economy/pemerintah-jamin-ibu-kota-baru-tak-rusak-hutan-lindung, diakses pada 17 November 2019
[8] Hasil Seminar Nasional Yogyakarta,
16 Oktober 2019 : Ibu Kota Baru dan Langkah Cerdas dalam Menanggapinya, oleh
Direktur Perkotaan, Perumahan dan Permukiman, 2019, Kajian Pemindahan Ibu Kota
Negara, Kementerian PPN/Bappenas, hlm.27
[9] Penjelasan atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1997
[10] Eko Nurmardiansyah, Eko
Nurmardiansyah, Eco-Philosophy dan Implikasinya dalam Politik Hukum Lingkungan
di Indonesia, Jurnal Melintas, Vol.30,
No.1, 2014, hlm. 75-76
[11] Raymundus
Sudhiarsa, 2008, “Merumuskan Tanggung Jawab Iman dan Keberpihakan Pada
Lingkungan Hidup”, dalam A. Sunarko dan A. Eddy Kristiyanto, Menyapa Bumi Menyembah Hyang Ilahi: Tinjauan Teologis atas Lingkungan Hidup,
Penerbit Kanisius, Yogyakarta, hlm.186.
[12] Ibid., hlm.76
[13] Ibid., hlm.77-81
[15] Ibid., hlm.88-89
[16] Suwito NS, 2011, Eko-Sufisme: Konsep, Strategi, dan Dampak,
Penerbit STAIN Press, Purwokerto & Buku Litera, Yogyakarta,
hlm.47-48
[17] Eko Nurmardiansyah, Op Cit., hlm.72
Tidak ada komentar:
Posting Komentar