Ubaiyana[1]
A.
Pendahuluan
Desa merupakan unit terkecil dalam tata kelola
pemerintahan. Jika proses pembangunan nasional yang dijalankan cenderung bias
kota, maka permasalahan sosial dan politik seperti meningkatnya urbanisasi
tentu akan terus terjadi. Mari kita simak Presentase Penduduk Daerah Perkotaan Menurut
Provinsi Tahun 2010-2035 :[2]
Provinsi
|
Tahun
|
|||||
2010
|
2015
|
2020
|
2025
|
2030
|
2035
|
|
Aceh
|
28.1
|
30.5
|
33.2
|
36.2
|
39.5
|
43.2
|
Sumatera Utara
|
49.2
|
52.6
|
56.3
|
60.1
|
64.1
|
68.1
|
Sumatera Barat
|
38.7
|
44.2
|
49.6
|
54.6
|
59.4
|
63.8
|
Riau
|
39.2
|
39.6
|
40.1
|
40.7
|
41.2
|
41.8
|
Jambi
|
30.7
|
32.0
|
33.3
|
34.8
|
36.5
|
38.2
|
Sumatera Selatan
|
35.8
|
36.5
|
37.3
|
38.2
|
39.1
|
40.1
|
Bengkulu
|
31.0
|
31.7
|
32.6
|
33.5
|
34.5
|
35.6
|
Lampung
|
25.7
|
28.3
|
31.3
|
34.6
|
38.3
|
42.4
|
Kepulauan Bangka Belitung
|
49.2
|
52.5
|
56.0
|
59.7
|
63.5
|
67.4
|
Kepulauan Riau
|
82.8
|
83.0
|
83.3
|
83.8
|
84.5
|
85.3
|
DKI Jakarta
|
100.0
|
100.0
|
100.0
|
100.0
|
100.0
|
100.0
|
Jawa Barat
|
65.7
|
72.9
|
78.7
|
83.1
|
86.6
|
89.3
|
Jawa Tengah
|
45.7
|
48.4
|
51.3
|
54.3
|
57.5
|
60.8
|
DI Yogyakarta
|
66.4
|
70.5
|
74.6
|
78.0
|
81.3
|
84.1
|
Jawa Timur
|
47.6
|
51.1
|
54.7
|
58.6
|
62.6
|
66.7
|
Banten
|
67.0
|
67.7
|
69.9
|
73.7
|
78.8
|
84.9
|
Bali
|
60.2
|
65.5
|
70.2
|
74.3
|
77.8
|
81.2
|
Nusa Tenggara Barat
|
41.7
|
45.4
|
49.4
|
53.6
|
58.1
|
62.7
|
Nusa Tenggara Timur
|
19.3
|
21.6
|
24.3
|
27.3
|
30.7
|
34.6
|
Kalimantan Barat
|
30.2
|
33.1
|
36.2
|
39.8
|
43.7
|
47.9
|
Kalimantan Tengah
|
33.5
|
36.6
|
40.2
|
44.1
|
48.3
|
52.9
|
Kalimantan Selatan
|
42.1
|
45.1
|
48.4
|
52.0
|
55.8
|
59.8
|
Kalimantan Timur
|
63.2
|
66.0
|
68.9
|
71.8
|
74.8
|
77.7
|
Sulawesi Utara
|
45.2
|
49.8
|
54.7
|
59.2
|
63.9
|
68.7
|
Sulawesi Tengah
|
24.3
|
27.2
|
30.5
|
34.2
|
38.4
|
43.1
|
Sulawesi Selatan
|
36.7
|
40.6
|
45.0
|
49.8
|
54.9
|
59.6
|
Sulawesi Tenggara
|
27.4
|
31.2
|
35.0
|
39.4
|
43.6
|
48.3
|
Gorontalo
|
34.0
|
39.0
|
44.0
|
48.9
|
53.5
|
58.4
|
Sulawesi Barat
|
22.9
|
22.9
|
23.0
|
23.0
|
23.1
|
23.1
|
Maluku
|
37.1
|
38.0
|
38.9
|
39.9
|
41.0
|
42.1
|
Maluku Utara
|
27.1
|
27.8
|
28.5
|
29.2
|
29.9
|
30.6
|
Papua Barat
|
29.9
|
32.3
|
34.9
|
37.8
|
40.9
|
44.4
|
Papua
|
26.0
|
28.4
|
31.2
|
34.2
|
37.7
|
41.5
|
INDONESIA
|
49.8
|
53.3
|
56.7
|
60.0
|
63.4
|
66.6
|
Pada tahun 2016, sekitar 52% dari total populasi
penduduk Indonesia tinggal di kota. Bandingkan dengan data tahun 2010, hanya
49,79% penduduk yang tinggal di kota, dan 50,21% tinggal di desa. Meningkatnya
arus urbanisasi ini, dikarenakan desa dinilai tidak memberi sumber kehidupan
yang layak, sehingga penduduk memutuskan untuk mengadu nasib ke kota. Maka dari
itu, membangun Indonesia dari pinggiran merupakan prioritas utama pemerintah
sampai saat ini. Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi,
dengan mengacu pada Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan
Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2015, diamanahkan untuk mengemban
tugas dalam menjalankan pembangunan desa dan kawasan perdesaan, pemberdayaan
masyarakat desa, percepatan pembangunan daerah tertinggal, dan transmigrasi
untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara.[3]
UU Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa, mengucurkan hampir
1 Miliar rupiah per desa, hakikatnya memiliki peran penting dalam menciptakan
perkembangan dan pembangunan di desa, salah satunya dengan mewajibkan
pembentukan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Terbukti, pada tahun 2016 sekitar
4.000 dari 22.000 BUMDes telah mampu menghasilkan profit dan berkontribusi terhadap
Alokasi Dana Desa (ADD). Kemudian pada tahun 2018, jumlah BUMDes meningkat
pesat menjadi sekitar 39.000.[4]
Pengembangan kota cerdas yang gencar dilakukan sejak
10 tahun terakhir, telah berkontribusi atas ketidakmerataan pembangunan antara
kota dengan desa. Untuk mengimbangi hal itu, inisiasi desa cerdas sangat
diperlukan. Desa cerdas menjadi piranti dalam mewujudkan smart society
dan dipahami sebagai sesuatu yang penting dalam mempercepat akselerasi pembangunan.
Desa kemudian menjadi tempat untuk mengembangkan potensi diri dan
mengaplikasikan ilmu pengetahuan. Di negara agraris seperti Indonesia, desa seharusnya
menjadi lokasi strategis dalam pengembangan ekonomi. Anehnya sampai saat ini, Indonesia
masih saja berhadapan dengan fakta bahwa banyak desa yang tertinggal.
Berdasarkan Indeks Pembangunan Desa (IPD) 2014, terdapat 20.168 desa
tertinggal. Angka ini merupakan 27,22% dari jumlah total desa yang ada di
Indonesia, yang mencapai 74.093 desa. Permasalahan akses sumber daya, kualitas
sumber daya alam yang rendah, infrastruktur penunjang yang belum memadai dan
degradasi lingkungan, menjadi faktor-faktor penyebabnya.[5]
B.
Pentingnya
Reformulasi Strategi Pengelolaan Dana Desa/Negeri di Maluku Tengah
Berbicara mengenai transparansi dan akuntabilitas,
sudah seharusnya desa menjadi sasaran empuk para maling uang negara. Tidak lain
karena tingkat keterbukaan pemerintah desa sangat rendah dibanding dengan
kota-kota besar layaknya ibukota, contohnya Negeri Liang yang terletak di
Kecamatan Salahutu, Provinsi Maluku Tengah. Sebelumnya perlu diketahui bahwa beberapa
desa di Maluku Tengah ada yang disebut sebagai negeri bukan desa. Disebut negeri,
karena merupakan kesatuan masyarakat hukum adat yang bersifat geneologis
territoria yang memiliki batas wilayah, berwenang mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat berdasarkan hak asal-usul dan adat istiadat
setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.[6]
Sejak tahun 2005 hingga tahun 2019 penulis tinggal bersama orang tua di negeri
Liang, kantor negeri lebih terlihat tidak layak huni dan layak pakai. Belum
lagi, hingga penghujung tahun 2019 ini, tidak ada satu pun tower internet di
negeri Liang. Dengan fakta tersebut, dapat dipahami bahwa pemerintahan negeri
berjalan sangat manual, yang juga berarti sangat rentan disalahgunakan. Jika
kantor negeri saja tidak layak pakai, bagaimana dengan pelaksanaan kerja dan
kinerja kepala pemerintah negeri atau yang disebut sebagai raja, beserta
perangkat pemerintah negeri (Sekretaris, Pelaksana Kewilayahan, dan Pelaksana
Teknis)?
Banyak sekali terjadi bias di negeri Liang, yang
kemungkinan besar juga terjadi di banyak desa di pelosok Indonesia yang
terhalang kamera dan media. Mulai dari pemerintahan yang tidak transparan,
rentan dan bebas korupsi, hingga langgengnya pendirian dan pengukuhan dinasti
politik. Terkuaknya korupsi di Maluku oleh Abdullah Vanath, kontroversi Murad
Ismail selaku Kapolda Maluku dalam menghukum koruptor, hingga dinasti Tuasikal
yang sudah sejak lama mengakar di Maluku, merupakan tiga dari sekian ribu kasus
yang ada, namun tidak tertangkap media. Segala persoalan tersebut, jelas
mengakibatkan banyak ketertinggalan yang dialami desa, baik dari segi fasilitas
desa seperti kantor desa, puskesmas, tempat ibadah, tempat wisata, lapangan,
rumah adat, hingga fasilitas pendidikan dan fasilitas pengembangan perekonomian
desa.
Padahal perlu diketahui bahwa negeri Liang adalah
salah satu penghasil rempah-rempah (cengkeh dan pala) terbesar di provinsi
Maluku Tengah. Namun, keunggulan itu tidak berdampak pesat terhadap kondisi
ekonomi warga Liang. Warga Liang cenderung hanya mampu menghasilkan biji
cengkeh dan pala tetapi tidak mampu mengolahnya. Bayangkan bila dana desa dapat
dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas rempah-rempah, seperti dengan
mengolahnya menjadi minyak, sajian oleh-oleh, atau sebagai kawasan wisata
layaknya taman buah mekar sari, sangat dimungkinkan pendapatan negeri menjadi
lebih baik.
C.
Penerapan
Konsep Smart Village di Negeri Liang
Carrasco-Saez berargumen bahwa konsep dan dimensi kota
cerdas memungkinkan untuk dikembangkan menjadi pedoman dalam mengembangkan
studi desa cerdas. Beberapa karakteristik dalam komponen kota cerdas diyakini dapat
diadopsi ke dalam konteks desa seperti smart
governance, smart economy, smart mobility, smart environment, smart people,
smart living, dan yang sedang menjadi diskusi hangat baru-baru ini, smart tourism. Adopsi konsep dan
karakteristik kota cerdas ke desa cerdas dalam kerangka pemanfaatan TIK, dapat
menyelesaikan berbagai permasalahan publik yang banyak memberikan pengaruh pada
sektor ekonomi, politik, pendidikan, sosial, dan aktivitas kebudayaan.
Pengembangan desa cerdas telah diinisiasi oleh Uni Eropa, seperti EU Action for Smart Villages yang
diluncurkan oleh Parlemen Uni Eropa pada tahun 2017. Dalam publikasinya, desa
cerdas didefinisikan sebagai daerah dan masyarakat pedesaan yang dibangun di
atas kekuatan dan aset sendiri serta pada saat yang sama terdapat usaha untuk
mengembangkan peluang baru melalui teknologi digital, telekomunikasi, inovasi,
dan penggunaan pengetahuan yang lebih baik.[7]
Mengacu pada konsep di atas, penulis menggunakan
Negeri Liang yang terletak di Kecamatan Salahutu Provinsi Maluku Tengah, sebagai
sampel. Jika sebelumnya pembangunan di desa cenderung bersifat top-down planning dan seragam, maka
untuk konsep desa cerdas lebih mengedepankan sifat down-top planning dan beragam. Berikut penjelasannya.
No.
|
Elemen Desa Cerdas
|
Variabel
|
Indikator
|
1.
|
Smart
Governance
|
Partisipasi
Masyarakat
|
Partisipasi
dalam pengambilan keputusan dan kebijakan desa, termasuk pemilihan kepala
desa, peruntukan dana desa, hingga usaha pelestarian adat dan budaya desa.
|
Transparansi
- Big
Data
- E-musrenbang dan E-budgedting
- Open Data
- Pelayanan
terpadu satu pintu (PTSP)
- Citizen
relation management (CRM)
|
Keterbukaan
semua informasi yang berkaitan dengan pemerintah desa, masyarakat dan desa
itu sendiri.
|
||
Pelayanan
Publik
|
- Peningkatan
fasilitas Pendidikan, pariwisata, ekonomi, ibadah, adat-budaya, dan kesehatan
- Pemanfaatan
teknologi informasi dan komunikasi untuk memudahkan pelayanan kepada
masyarakat
- Pengadaan
fasilitas perbelanjaan yang mudah dan murah
|
||
2.
|
Smart
Economy
|
Inovasi
|
- Pembekalan
ilmu ekonomi kreatif dan inovasi bagi masyarakat
- Peruntukan
dana publik untuk pengembangan riset dan teknologi
|
Kewirausahaan
|
- Citra
dan merk dagang bagi desa
- Produktivitas
- Pengadaan
BUMDes
- Pembekalan
dan peningkatan kualitas sumber daya manusia di desa
- Pengadaan
dan pendirian UMKM desa
- Peningkatan
perekonomian desa melalui pengembangan inovasi dalam pemanfaatan SDA desa
|
||
3.
|
Smart
People
|
Edukasi
Digital
|
- Penguasaan
dan pemanfaatan digital secara baik dan bijaksana
- Pemanfaatan
digital bagi pemerintahan desa, dan segala fasilitas penunjangnya
|
Kreativitas
|
- Kolaborasi
kearifan lokal desa untuk pengembangan perekonomian desa
|
||
4.
|
Smart
Tourism
|
Sarana
dan Pra Sarana
|
- Pengembangan
fasilitas pariwisata di desa
- Economy
Smart Tourism
- Menjadikan
desa sebagai desa wisata
|
D.
Analisis
SWOT Pengembangan Konsep Smart Village
di Negeri Liang
Untuk memperkuat rencana strategi tersebut di atas,
penulis akan mengevaluasi kekuatan (strengths),
kelemahan (weaknesses), peluang (opportunities), dan ancaman (threats) atas elemen-elemen yang digunakan
desa cerdas. Berikut ulasannya.
ANALISIS
|
INTERNAL/EKSTERNAL
|
Strengths
|
- Meningkatkan
perekonomian dan pendapatan masyarakat negeri
- Mencegah
dan mengatasi perbuatan korupsi, kolusi dan nepotisme
- Adanya
partisipasi masyarakat terhadap pemerintahan negeri
- Meningkatkan
kualitas masyarakat negeri
- Memberikan
kemudahan kepada masyarakat dalam akses ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan
lainnya
- Memudahkan
masyarakat untuk melestarikan susmber daya alam, serta adat dan kebudayaannya
|
Weaknesses
|
- Sulitnya
memotivasi masyarakat untuk melakukan perubahan dalam meningkatkan
pendapatannya
- Terhalang
budaya politik negeri
- Rendahnya
pengetahuan masyarakat mengenai pemerintahan negeri
- Kurangnya
minat dan sulitnya memotivasi masyarakat untuk meningkatkan kualitas sumber
daya manusia
- Rendahnya
motivasi masyarakat untuk melestarikan sumber daya alam, serta adat dan
kebudayaannya
|
Opportunities
|
Negeri
Liang memiliki beberapa keunggulan yang potensial seperti :
- Pantai
yang indah, salah satunya yang sudah terkenal adalah pantai Hunimua Liang
- Banyak
tanaman cengkeh dan pala
- Gunung
dan perbukitan yang indah dan asri
- Adat
istiadat dan budaya negeri
- Kawasan
hutan yang luas
- Beberapa
area lain yang cukup berpotensi seperti sungai dan air terjun
|
Threats
|
- Eksploitasi
berlebihan
- Dikuasai
oleh investor asing dan tenaga dari luar desa
- Perlunya
perawatan dan pemeliharaan masyarakat terhadap fasilitas yang disediakan
- Membutuhkan
dana yang cukup besar
|
E.
Kesimpulan
Jika di masa lalu, desa dijadikan sebagai objek
kebijakan dan pelaksanaan pembangunan, maka saat ini desa menjadi subjek yang
berperan aktif sebagai motor penggerak pembangunan, yang memiliki kewenangan
untuk menentukan dan merumuskan kebijakan serta melaksanakannya. Sebagaimana yang
termuat dalam UU Desa, yaitu sebagai berikut :[8]
1. Pembangunan
ekonomi di desa dimaksudkan untuk memperbaiki kerusakan sosial, budaya,
ekonomi, dan politik desa;
2. Pembangunan
desa diharapkan mampu memulihkan basis penghidupan masyarakat dan memperkuat
desa sebagai bagian dari entitas masyarakat yang mandiri;
3. Untuk
merespon proses globalisasi yang ditandai dengan adanya perkembangan informasi,
ekonomi, teknologi dan budaya serta munculnya pelaku ekonomi skala global;
4. Untuk
menciptakan pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat;
Hemat penulis, empat poin di atas dapat diwujudkan
melalui pengimplementasian konsep smart
village di seluruh desa di Indonesia, salah satunya di negeri Liang,
Provinsi Maluku Tengah. Dengan empat elemen desa cerdas yaitu smart governance, smart economy, smart people,
dan smart tourism, berbagai persoalan
masyarakat negeri Liang dapat diatasi.
Konsep smart
village sudah bukan angan-angan semata. Hal ini dapat kita lihat di Desa
Lamahu, Bulango Selatan, Kabupaten Bone, Gorontalo. Desa ini dijuluki sebagai
desa digital yang menerapkan konsep smart
village pertama di Indonesia. Dengan membangun sistem informasi dan
komunikasi yang dijuluki smartpole, terdiri dari; CCTV, lampu jalan otomatis,
dan WIFI, membuat pengelolaan desa berjalan sangat inovatif. Sistem smartpole
ini diterapkan dengan menginstal aplikasi sebagai command center software yang berpusat di kantor desa. Masyarakat
dapat memanfaatkannya untuk beragam keperluan seperti dalam bidang UKM yakni
untuk menjual produk atau mencari sumber pengetahuan usaha, petani bisa
mendapatkan informasi mengenai harga pasar hingga mengenai pusat penjualan
bibit murah, atau saat ada ibu hamil yang akan melahirkan cukup menekan tombol
darurat, serta beberapa inovasi lainnya.[9] Desa Lamahu diharapkan
menjadi kiblat penerapan konsep desa cerdas bagi desa-desa lain di Indonesia.
Sudah saatnya desa menjadi subjek pembangunan bangsa dan negara, dan sudah
waktunya masyarakat desa menjadi pelaku sekaligus penggerak kemajuan desanya
sendiri.
[1] Awardee LPDP RI Magister Hukum
Kenegaraan, Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan Staf Bina
Wilayah Jawa Tengah dan DI Yogyakarta, Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia
Klaster Mahasiswa (MITI-KM)
[2] Badan Pusat Statistik, Presentase
Penduduk Daerah Perkotaan Menurut Provinsi Tahun 2010-2035, https://www.bps.go.id/statictable/2014/02/18/1276/persentase-penduduk-daerah-perkotaan-menurut-provinsi-2010-2035.html, Diakses pada 2 Desember 2019
[3] Badan Pusat Statistik
[4] Lihat Kata Pengantar oleh Anwar
Sanusi, Menjawab Tantangan “Desa” di Era Revolusi Industri 4.0, dalam Buku,
Desa Cerdas: Transformasi Kebijakan dan Pembangunan Desa Merespon Era Revolusi
Industri 4.0, Center for Digital Society Gedung Fisipol UGM, Yogyakarta, hlm.vi
[5] Anang Dwi Santoso, dkk., 2019,
Desa Cerdas: Transformasi Kebijakan dan Pembangunan Desa Merespon Era Revolusi
Industri 4.0, Center for Digital Society Gedung Fisipol UGM, Yogyakarta,
hlm.6-8
[6] Peraturan Daerah Kabupaten Maluku
Tengah Nomor 01 Tahun 2006 Tentang Negeri
[7] Anang Dwi Santoso, dkk., hlm.12-13
[8] Anang Dwi Santoso, dkk., hlm.21
[9] Pedekik.com, Desa Digital : Inikah
Konsep Smart Village Pertama di Indonesia?, https://www.pedekik.com/desa-digital-inikah-konsep-smart-village-pertama-di-indonesia/ , Diakses pada 27 Desember 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar