Selasa, 31 Desember 2019

HARUSKAH MENCARI PASANGAN YANG SEDERAJAT?


Ubaiyana[1]
Cinta saja sepertinya memang tak cukup untuk membina rumah tangga. Memang tidak hanya cinta, membina rumah tangga juga membutuhkan kerja keras, tanggung jawab, keberanian, keteguhan, dan kemampuan menyelesaikan masalah. Tetapi tahukah? Pada kenyataannya, membangun rumah tangga juga membutuhkan faktor lain seperti harta. Studi terbaru yang diterbitkan oleh Journal of Family and Marriage menemukan, tingkat perkawinan di Amerika Serikat terus menurun karena kaum laki-laki yang tidak menarik secara ekonomi (miskin). Menarik bukan?
Di Indonesia, tidak dapat dipungkiri stereotipe masyarakat juga menekankan pada kesepadanan (dalam Islam disebut dengan Al-Kafa’ah). Namun, kesepadanan yang dimaksud tidak hanya menurut harta, tetapi juga menurut keilmuan, nasab keluarga, agama, pekerjaan, serta hukum adat tertentu. Tolak ukur kesepadanan ini serupa dengan yang diatur dalam ajaran agama Islam. Tidak lain karena kultur budaya yang banyak dipengaruhi oleh agama. Menanggapi hal itu, pertanyaan yang kemudian muncul adalah, apakah kita harus mencari pasangan yang sederajat (sekufu)? Lalu, apakah sepadan merupakan syarat sah akad? Berikut ulasannya.
Kesepadanan (Al-Kafa’ah) dalam pernikahan akan dijelaskan menurut empat Mazhab, antara lain sebagai berikut :
§  Mazhab Hanafi, kesepadanan berarti persamaan laki-laki dan perempuan terkait hal-hal khusus, yaitu nasab, Islam, pekerjaan, status merdeka, pengamalan ajaran agama, dan harta.
ü  Laki-laki yang bernasab rendah dapat dikenali melalui asalnya bahwa dia bukan atau berasal dari suku wanita yang hendak dinikahi, seperti golongan ajam (bukan Arab) dan Arab. Bangsa Arab juga terbagi menjadi golongan Quraisy dan selain Quraisy. Jika suami berasal dari Quraisy dan istri pun dari Quraisy maka sah dari segi nasab, meskipun berlainan suku.
ü  Orang selain Arab yang berilmu dan miskin sepadan dengan orang Arab yang bodoh dan kaya atau terhormat yang nasabnya tinggi. Hal ini karena kemuliaan ilmu berada di atas nasab dan kekayaan materi.
ü  Dari segi harta, sebagian berpendapat bahwa harus ada kesamaan antara suami dan istri. sebagian lain berpendapat bahwa suami cukup disyaratkan mampu membayar mahar menurut ketentuan yang diterapkan di kalangan mereka. Suami dikategorikan sepadan, apabila dia memiliki penghasilan yang mencukupi kebutuhannya sehari-hari. Sebab dengan harta, suami dapat menjaga kehormatan istri dan keluarganya serta mencegahnya dari perbuatan memalukan dan keterjerumusan dalam perkara-perkara yang tidak pantas baginya.
ü  Dalam pengamalan ajaran agama, laki-laki fasik tidak sepadan dengan wanita shalihah anak orang shalih. Orang fasik adalah orang yang dikenal oleh masyarakat bertindak tercela seperti mabuk di jalan, pergi ke tempat prostitusi, kerusakan moral dan tempat perjudian, atau pemuda yang menyatakan dirinya tidak shalat dan puasa. Jika bapak dari wanita shalihah adalah orang fasik, lantas dia menikah dengan orang yang fasik, maka pernikahannya sah. Bapaknya tidak berhak untuk menolak, karena ia fasik seperti suami yang dipilih anaknya. Demikian pula jika wanita fasik anak orang shalih, menikah dengan orang fasik, maka pernikahannya tetap sah. Bapaknya juga tidak berhak untuk menolak, karena aib yang ditanggung oleh anaknya lebih besar daripada aib yang ditanggung bapaknya sebagai mertua dari menantu yang fasik.
Perlu dipahami bahwa kesepadanan merupakan acuan bagi pihak laki-laki bukan bagi pihak perempuan. Dengan demikian, laki-laki boleh menikahi siapapun yang dia kehendaki, meskipun budak atau pembantu.    
§  Mazhab Maliki, kesepadanan dalam pernikahan berarti tingkat pengamalan terhadap ajaran agama dan terbebas dari cacat-cacat yang menyebabkan pihak wanita berhak untuk menentukan pilihan terhadap suami, seperti kusta, gila, dan lepra. Adapun kesepadanan terkait harta, status merdeka, nasab dan pekerjaan, merupakan acuan pihak yang bersangkutan. Jika orang dari kalangan bawah menikahi wanita terhormat, maka pernikahannya sah. Jika tukang keledai atau tukang sampah menikahi wanita terhormat, maka pernikahannya tetap sah.
§  Mazhab Asy-Syafi’i, kesepadanan merupakan hal yang jika tidak terwujud maka akan memunculkan adanya aib. Kesepadanan dijadikan acuan terkait empat hal yaitu nasab, agama, status merdeka, dan pekerjaan.
ü  Mengenai nasab, penjelasannya sedikit banyak sama dengan pendapat dari mazhab Hanafi. Tambahannya, jika seorang wanita dinisbatkan kepada seseorang yang membuatnya menjadi terhormat, maka suaminya pun harus dinisbatkan kepada orang seperti itu.
ü  Adapun dari segi pengamalan ajaran agama, selayaknya suami sama dengan istri terkait penjagaan kehormatan diri dan keistiqomahan. Jika seseorang fasik lantaran melakukan perbuatan zina, maka dia tidak sepadan dengan wanita yang menjaga kehormatan dirinya, sekalipun laki-laki tersebut bertaubat dan pertaubatannya baik, karena pertaubatan dari zina tidak menghapus aib dan kesan buruk dalam masyarakat. Namun jika dia fasik lantaran perbuatan selain zina, seperti minum khamr, kemudian bertaubat, maka ia sepadan dengan wanita yang istiqomah tersebut.
ü  Orang-orang yang berstatus sebagai pekerja rendahan (menurut kebiasaan yang berlaku) seperti tukang sapu, tukang bekam, penjaga lingkungan, dan pembersih kamar mandi, tidak sepadan dengan wanita yang memiliki pekerjaan terhormat.
ü  Harta tidak dijadikan acuan kesepadanan. Dengan demikian, jika seseorang yang miskin menikahi perempuan kaya, keduanya dinyatakan sepadan.
Ulama berpendapat sama bahwa kesepadanan merupakan acuan dari sisi istri. Adapun dari sisi suami, dia boleh menikah dengan budak wanita atau pembantu.
§  Mazhab Hambali, kesepadanan adalah persamaan antara calon kedua mempelai terkait, pengamalan ajaran agama, profesi, kecukupan harta, status merdeka, dan nasab.
ü  Mengenai pengamalan ajaran agama, laki-laki fasik yang durhaka tidak sepadan dengan wanita shalihah yang memiliki integritas keagamaan dan menjaga kehormatan dirinya.
ü  Orang yang berprofesi rendah tidak sepadan dengan perempuan yang berprofesi terhormat.
ü  Kecukupan harta sesuai dengan mahar dan nafkah yang diberikannya kepada istri. Oleh karena itu, orang yang mengalami kesulitan ekonomi tidak sepadan dengan wanita yang memiliki kecukupan dari segi ekonomi.
ü  Orang selain arab tidak sepadan dengan wanita arab.
Demikian penjelasan mengenai kesepadanan menurut empat mazhab. Pertanyaan selanjutnya, apakah sepadan merupakan syarat sah akad? Berikut penjelasannya.
§  Mazhab Hanafi, kesepadanan merupakan syarat pelaksanaan akad nikah dan berkaitan erat dengan wali. Jika seorang wanita menikahkan dirinya dengan orang yang tidak memenuhi kriteria kesepadanan, maka walinya berhak untuk menolak akad. Akad tidak dapat dilaksanakan hingga walinya ridha. Kesepadanan termasuk dalam hak wali (wali ashabah meskipun bukan mahram, jika kerabat di luar ashabah maka ia tidak memiliki hak terkait kesepadanan).
§  Mazhab Maliki, faktor kesepadanan terkait dengan gugurnya suatu pernikahan, pendapat lain mengatakan gugur secara mutlak. Adapun wanita dewasa yang berwenang atas dirinya sendiri, dapat dinikahkan oleh hakim tanpa harus memastikan kesepadanan, karena wanita dewasa berperan sebagai pemilik hak dalam pernikahan.
§  Mazhab Asy-Syafi’i, kesepadanan merupakan syarat sah pernikahan yang tidak berkaitan dengan keridhaan dan merupakan hak wanita serta wali. Jika keduanya tidak meridhai suami yang tidak memenuhi syarat kesepadanan, maka akad nikahnya tidak sah. Jika wanita meridhai suami yang terpotong alat vitalnya (impotensi) sementara wali tidak ridha, maka akadnya sah dan tidak perlu menunggu ridha wali.
§  Mazhab Hambali, jika wali menikahkan dengan laki-laki yang tidak sepadan dan tanpa ridha wanita, maka wali berdosa dan wali berstatus fasik.
Demikianlah penjelasan mengenai kesepadanan (Al-Kafa’ah) dalam pernikahan.  

Referensi :
Syaikh Abdurrahman Al-Juzairi, Fikih Empat Mazhab, Jilid 5, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta


[1] Mahasiswa Magister Hukum Kenegaraan, Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan Staf Bina Wilayah Jawa Tengah dan DIY MITI-KM (Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia Klaster Mahasiswa)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SYARAH PANCASILA : TAARUF DENGAN NEGARA MELALUI AGAMA

Pendahuluan Sebagai suatu kesatuan kehidupan masyarakat, bangsa memiliki cita-cita hidup yang disebut sebagai ideologi. Ideologi menj...