Ubaiyana[1]
Dalam
bukunya, Prof. Mahfud MD menuliskan bahwa sebagaimana yang dikemukakan oleh
Carter, Herz dan Dahrendorf, konsep demokrasi dan otoriterisme bersifat
relatif. Artinya, tidak ada negara yang sepenuhnya demokratis atau sepenuhnya
otoriter.[2] Hal ini dijawab oleh Presiden Soekarno di hadapan forum dunia, bahwa: “Bagi kami bangsa Indonesia, demokrasi mengandung
tiga unsur yang pokok, mufakat, perwakilan, dan musyawarah antara wakil-wakil.”[3]
Lalu, bagaimana dengan Indonesia saat ini?
Ambiguitas Demokrasi : Pengabaian
Aspirasi Masyarakat
Pertama, dua esensi utama; mufakat
dari pihak yang bermusyawarah dalam hal ini para wakil rakyat, jelas sudah
dicederai oleh pemerintah dan DPR, yakni dengan terjadinya mission impossible terhadap revisi kilat UU KPK. Adegan penambahan
dan perubahan pasal-pasal dalam UU KPK dengan tanpa melalui diskusi dan dengar
pendapat dari seluruh lapisan masyarakat yang terkait secara langsung atau
tidak, tentunya bertentangan dengan Pasal 5 UU No.12 Tahun 2011, bahwa dalam
membentuk peraturan perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan asas, yang
salah satunya adalah asas kejelasan tujuan dan asas keterbukaan. Aksi
demonstrasi berjilid-jilid yang terjadi justru tidak melunakkan DPR sedikit pun
untuk segera melegalkan kepentingan mereka atas UU KPK tersebut. Selamat jalan
demokrasi-
Katanya “Checks and Balances”,
Nyatanya Koalisi Telah Ditiduri Oposisi
Kedua,
Indonesia jelas menggunakan sistem perwakilan, yang merupakan esensi ketiga. Sebagaimana
dengan pendapat Abraham Lincoln, yakni pemerintahan dikelola dari, oleh, dan
untuk rakyat atau kedaulatan berada di tangan rakyat. Sehubungan dengan itu,
oposisi menemukan relevansinya. Mengingat, tidak ada jaminan jika kedaulatan
rakyat dapat seluruhnya tertampung dan diterjemahkan seutuhnya oleh pemerintah.
Tidak jarang, pemerintah justru menjauh dari hakikat kedaulatan rakyat
tersebut.[4] Kekuatan oposisi sangat diperlukan
untuk mengawasi kebijakan pemerintah demi mewujudkan checks and balances. Tanpa oposisi yang sehat dan kuat, pemerintah
bisa terjebak pada cara-cara otoriter dalam mengelola kekuasaannya. Terutama
untuk memastikan bahwa pemerintahan berjalan pada jalur seharusnya, jalur
kepentingan rakyat.
Beberapa
waktu lalu, pertemuan Jokowi dan Prabowo di stasiun MRT, memunculkan sejumlah
definisi. Pasalnya, beberapa hari setelah pertemuan tersebut, Koalisi Adil
Makmur dinyatakan bubar. Meskipun isu ini ditepis oleh Muhammad Syafi’i, yang
merupakan anggota Dewan Penasihat Partai Gerindra, bahwa Gerindra sejak awal
sudah menunjukkan posisi sebagai oposisi.[5] Namun pendapat mayoritas
yang mengemuka adalah nampaknya koalisi-oposisi tahun ini diam-diam saling
menjalin hubungan sambil mempersiapkan diri untuk Pilkada-Pilpres tahun 2024.[6] Tidak hanya itu, kabar
selingkuhnya partai demokrat dan PAN juga ramai menjadi perbincangan. Sehingga
banyak asumsi menyatakan bahwa tahun ini dan tahun-tahun mendatang, koalisi
pemerintah akan sangat overweight
(gemuk) sedangkan oposisi ramping membeku. Jika sudah begini, lalu siapa yang
akan bertindak menyeimbangkan pemerintahan? Akhiri saja semua ini, tidak perlu
ada istilah koalisi atau oposisi.
RKUHP : Rencana Pembungkaman Kebebasan Berekspresi dan Berpendapat
Atas Pemerintah
Ketiga,
demokrasi merupakan paham universal yang didalamnya terkandung beberapa elemen,
salah satunya adalah kebebasan dalam menikmati hak-hak dasar,[7] seperti hak untuk
berserikat, berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan.
Sayangnya, sebelum mengakhiri masa jabatan, para wakil kita beserta pemerintah
mewacanakan untuk memasung hak dasar yang dijamin UUD 1945 ini, yang kemudian
dirancang dalam RKUHP. Penulis mengasumsikan perlahan tercium rencana
meremukkan sistem demokrasi kita, mulai dari Pasal
217 hingga Pasal 220 mengenai penyerangan dan penyerangan kehormatan atau
harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden, Pasal 240 dan Pasal 241
mengenai penghinaan terhadap pemerintah, Pasal 246 dan Pasal 247 mengenai
penghasutan untuk melawan penguasa umum, serta Pasal 353 dan Pasal 354 mengenai
penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara. Dikemukakan oleh Usman
Hamid (Direktur Amnesty International Indonesia), jika melihat pasal penghinaan
presiden, redaksi rumusan pasalnya sama persis dengan rumusan pasal
perlindungan terhadap ratu Belanda. Dahulu, pasal ini digunakan untuk
melindungi kekuasaan kolonial dan mengontrol masyarakat jajahannya.[8] Pertanyaannya,
apakah saat ini Indonesia sedang dalam kondisi dijajah, sehingga pemerintah
khawatir dan memproteksi presiden dengan pasal perisai?
Meskipun dikatakan oleh Prof. Harkristuti Harkrisnowo, pasal ini
dianggap layak diperjuangkan eksistensinya, dengan alasan bahwa sudah
sewajarnya jika Presiden disebut lebih dari seorang individu yang kemudian
mendapatkan perlindungan khusus, tidak lain karena seorang Presiden dan Wakil
Presiden dipilih oleh 100 juta orang dan memimpin 265 juta rakyatnya.[9] Tetapi
apakah dengan rumusan pasal elastis dan tanpa batasan seperti ini, Presiden
benar-benar terlindungi, ataukah rakyat yang beramai-ramai dibui?
Di samping itu, sebelumnya Pasal Penghinaan Presiden dan Wakil
Presiden ini sudah dibumihanguskan oleh Mahkamah Konstitusi dengan maksud untuk
memproteksi DPR dalam menggunakan hak imunitasnya mengontrol kekuasaan Presiden
dan Wakil Presiden. Singkatnya menurut MK, Pasal Penghinaan Presiden ini akan
menghambat kerja DPR dalam impeachment atau pemakzulan
terhadap Presiden. Penulis menilai jika Pasal ini disahkan dengan tanpa membuat
definisi dan batasan yang jelas, maka pupuslah harapan masyarakat Indonesia.
Parlemen yang diharapkan hadir untuk mengontrol kekuasaan, justru berselingkuh
dengan kekuasaan.
Kesimpulan
Ketiga poin ditambah dengan tiga
esensi yang diramu oleh Presiden Soekarno di atas, dinilai telah dilukai
kepemimpinan Jokowi dalam satu bulan belakangan. Penulis beranggapan bahwa
Indonesia dapat dikategorikan sebagai negara yang sedang merangkak menuju
pemerintahan otoriter yang moderat atau bisa disebut dengan semi otoriter. Alasannya,
aspek dan kelembagaan Indonesia masih berkarakter demokratis, namun perlahan
menyelipkan dan menjalankannya secara otoriterisme.
[1] Mahasiswi
Magister Hukum Kenegaraan, Fakultas Hukum, UGM Yogyakarta dan Staf Bina Wilayah Jawa Tengah dan DIY MITI-KM (Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia-Klaster Mahasiswa
[2] Moh. Mahfud MD, 2017, Politik
Hukum di Indonesia, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm.23
[3] Pidato
Presiden RI Soekarno “Membangun Dunia Kembali (to build a world a new)” pada
Sidang Umum PBB ke-XV tanggal 30 September 1960, hlm.19
[4] Firman Noor, “Oposisi Dalam
Kehidupan Demokrasi: Arti Penting Keberadaan Oposisi Sebagai Bagian Penguatan
Demokrasi di Indonesia”, Masyarakat Indonesia, Vol.42, Juni 2016, hlm.4
[5] Sapa Indonesia Malam, KompasTV
“Aiman Wicaksono: Koalisi Gemuk vs Oposisi Mini”
[6] Hendri Satrio (Analis Komunikasi
Politik Universitas Paramadina), AFD Now
[7] Muntoha, “Demokrasi dan Negara
Hukum”, Jurnal Hukum, No.3, Vol.16, Juli 2009, hlm.383
[8] Rosi, KompasTV, “Rancangan KUHP
Ancam Siapa”
[9] Indonesia Lawyers Club, TVOne,
“Kontroversi RKUHP-Dari Pasal Kumpul Kebo Sampai Penghinaan Presiden”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar