Jumat, 11 Oktober 2019

END JOKOWI’S GAME : RAGU-RAGU BERDEMOKRASI


Ubaiyana[1]
Dalam bukunya, Prof. Mahfud MD menuliskan bahwa sebagaimana yang dikemukakan oleh Carter, Herz dan Dahrendorf, konsep demokrasi dan otoriterisme bersifat relatif. Artinya, tidak ada negara yang sepenuhnya demokratis atau sepenuhnya otoriter.[2] Hal ini dijawab oleh Presiden Soekarno di hadapan forum dunia, bahwa: “Bagi kami bangsa Indonesia, demokrasi mengandung tiga unsur yang pokok, mufakat, perwakilan, dan musyawarah antara wakil-wakil.”[3] Lalu, bagaimana dengan Indonesia saat ini?

Ambiguitas Demokrasi : Pengabaian Aspirasi Masyarakat
            Pertama, dua esensi utama; mufakat dari pihak yang bermusyawarah dalam hal ini para wakil rakyat, jelas sudah dicederai oleh pemerintah dan DPR, yakni dengan terjadinya mission impossible terhadap revisi kilat UU KPK. Adegan penambahan dan perubahan pasal-pasal dalam UU KPK dengan tanpa melalui diskusi dan dengar pendapat dari seluruh lapisan masyarakat yang terkait secara langsung atau tidak, tentunya bertentangan dengan Pasal 5 UU No.12 Tahun 2011, bahwa dalam membentuk peraturan perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan asas, yang salah satunya adalah asas kejelasan tujuan dan asas keterbukaan. Aksi demonstrasi berjilid-jilid yang terjadi justru tidak melunakkan DPR sedikit pun untuk segera melegalkan kepentingan mereka atas UU KPK tersebut. Selamat jalan demokrasi-

Katanya “Checks and Balances”, Nyatanya Koalisi Telah Ditiduri Oposisi
Kedua, Indonesia jelas menggunakan sistem perwakilan, yang merupakan esensi ketiga. Sebagaimana dengan pendapat Abraham Lincoln, yakni pemerintahan dikelola dari, oleh, dan untuk rakyat atau kedaulatan berada di tangan rakyat. Sehubungan dengan itu, oposisi menemukan relevansinya. Mengingat, tidak ada jaminan jika kedaulatan rakyat dapat seluruhnya tertampung dan diterjemahkan seutuhnya oleh pemerintah. Tidak jarang, pemerintah justru menjauh dari hakikat kedaulatan rakyat tersebut.[4] Kekuatan oposisi sangat diperlukan untuk mengawasi kebijakan pemerintah demi mewujudkan checks and balances. Tanpa oposisi yang sehat dan kuat, pemerintah bisa terjebak pada cara-cara otoriter dalam mengelola kekuasaannya. Terutama untuk memastikan bahwa pemerintahan berjalan pada jalur seharusnya, jalur kepentingan rakyat.
Beberapa waktu lalu, pertemuan Jokowi dan Prabowo di stasiun MRT, memunculkan sejumlah definisi. Pasalnya, beberapa hari setelah pertemuan tersebut, Koalisi Adil Makmur dinyatakan bubar. Meskipun isu ini ditepis oleh Muhammad Syafi’i, yang merupakan anggota Dewan Penasihat Partai Gerindra, bahwa Gerindra sejak awal sudah menunjukkan posisi sebagai oposisi.[5] Namun pendapat mayoritas yang mengemuka adalah nampaknya koalisi-oposisi tahun ini diam-diam saling menjalin hubungan sambil mempersiapkan diri untuk Pilkada-Pilpres tahun 2024.[6] Tidak hanya itu, kabar selingkuhnya partai demokrat dan PAN juga ramai menjadi perbincangan. Sehingga banyak asumsi menyatakan bahwa tahun ini dan tahun-tahun mendatang, koalisi pemerintah akan sangat overweight (gemuk) sedangkan oposisi ramping membeku. Jika sudah begini, lalu siapa yang akan bertindak menyeimbangkan pemerintahan? Akhiri saja semua ini, tidak perlu ada istilah koalisi atau oposisi.  

RKUHP : Rencana Pembungkaman Kebebasan Berekspresi dan Berpendapat Atas Pemerintah
Ketiga, demokrasi merupakan paham universal yang didalamnya terkandung beberapa elemen, salah satunya adalah kebebasan dalam menikmati hak-hak dasar,[7] seperti hak untuk berserikat, berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan. Sayangnya, sebelum mengakhiri masa jabatan, para wakil kita beserta pemerintah mewacanakan untuk memasung hak dasar yang dijamin UUD 1945 ini, yang kemudian dirancang dalam RKUHP. Penulis mengasumsikan perlahan tercium rencana meremukkan sistem demokrasi kita, mulai dari Pasal 217 hingga Pasal 220 mengenai penyerangan dan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden, Pasal 240 dan Pasal 241 mengenai penghinaan terhadap pemerintah, Pasal 246 dan Pasal 247 mengenai penghasutan untuk melawan penguasa umum, serta Pasal 353 dan Pasal 354 mengenai penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara. Dikemukakan oleh Usman Hamid (Direktur Amnesty International Indonesia), jika melihat pasal penghinaan presiden, redaksi rumusan pasalnya sama persis dengan rumusan pasal perlindungan terhadap ratu Belanda. Dahulu, pasal ini digunakan untuk melindungi kekuasaan kolonial dan mengontrol masyarakat jajahannya.[8] Pertanyaannya, apakah saat ini Indonesia sedang dalam kondisi dijajah, sehingga pemerintah khawatir dan memproteksi presiden dengan pasal perisai?
Meskipun dikatakan oleh Prof. Harkristuti Harkrisnowo, pasal ini dianggap layak diperjuangkan eksistensinya, dengan alasan bahwa sudah sewajarnya jika Presiden disebut lebih dari seorang individu yang kemudian mendapatkan perlindungan khusus, tidak lain karena seorang Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh 100 juta orang dan memimpin 265 juta rakyatnya.[9] Tetapi apakah dengan rumusan pasal elastis dan tanpa batasan seperti ini, Presiden benar-benar terlindungi, ataukah rakyat yang beramai-ramai dibui?
Di samping itu, sebelumnya Pasal Penghinaan Presiden dan Wakil Presiden ini sudah dibumihanguskan oleh Mahkamah Konstitusi dengan maksud untuk memproteksi DPR dalam menggunakan hak imunitasnya mengontrol kekuasaan Presiden dan Wakil Presiden. Singkatnya menurut MK, Pasal Penghinaan Presiden ini akan menghambat kerja DPR dalam impeachment atau pemakzulan terhadap Presiden. Penulis menilai jika Pasal ini disahkan dengan tanpa membuat definisi dan batasan yang jelas, maka pupuslah harapan masyarakat Indonesia. Parlemen yang diharapkan hadir untuk mengontrol kekuasaan, justru berselingkuh dengan kekuasaan.  

Kesimpulan
            Ketiga poin ditambah dengan tiga esensi yang diramu oleh Presiden Soekarno di atas, dinilai telah dilukai kepemimpinan Jokowi dalam satu bulan belakangan. Penulis beranggapan bahwa Indonesia dapat dikategorikan sebagai negara yang sedang merangkak menuju pemerintahan otoriter yang moderat atau bisa disebut dengan semi otoriter. Alasannya, aspek dan kelembagaan Indonesia masih berkarakter demokratis, namun perlahan menyelipkan dan menjalankannya secara otoriterisme. 



[1] Mahasiswi Magister Hukum Kenegaraan, Fakultas Hukum, UGM Yogyakarta dan Staf Bina Wilayah Jawa Tengah dan DIY MITI-KM (Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia-Klaster Mahasiswa 
[2] Moh. Mahfud MD, 2017, Politik Hukum di Indonesia, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm.23
[3] Pidato Presiden RI Soekarno “Membangun Dunia Kembali (to build a world a new)” pada Sidang Umum PBB ke-XV tanggal 30 September 1960, hlm.19
[4] Firman Noor, “Oposisi Dalam Kehidupan Demokrasi: Arti Penting Keberadaan Oposisi Sebagai Bagian Penguatan Demokrasi di Indonesia”, Masyarakat Indonesia, Vol.42, Juni 2016, hlm.4
[5] Sapa Indonesia Malam, KompasTV “Aiman Wicaksono: Koalisi Gemuk vs Oposisi Mini”
[6] Hendri Satrio (Analis Komunikasi Politik Universitas Paramadina), AFD Now
[7] Muntoha, “Demokrasi dan Negara Hukum”, Jurnal Hukum, No.3, Vol.16, Juli 2009, hlm.383
[8] Rosi, KompasTV, “Rancangan KUHP Ancam Siapa”
[9] Indonesia Lawyers Club, TVOne, “Kontroversi RKUHP-Dari Pasal Kumpul Kebo Sampai Penghinaan Presiden”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SYARAH PANCASILA : TAARUF DENGAN NEGARA MELALUI AGAMA

Pendahuluan Sebagai suatu kesatuan kehidupan masyarakat, bangsa memiliki cita-cita hidup yang disebut sebagai ideologi. Ideologi menj...