Sabtu, 12 Oktober 2019

CINTA SEGITIGA AKIBAT PERPPU UU KPK : ANTARA AKU, PRESIDENKU DAN PARPOLNYA


Ubaiyana[1]
            “Tresno kuwi pancen aneh. Contone, aku tresno kowe tapi kowe ora tresno aku”. Besar harapan kami padamu, Presidenku. Tapi apa daya, mereka (Partai Politik) juga menekan harapan padamu. Dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa, Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) merupakan pilihan terbaik di antara pilihan lainnya, Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi dan Legislative Review oleh DPR, demi menyelamatkan anak kandung reformasi, Komisi Pemberantasan Korupsi. Mengapa begitu?

Mengapa Perppu? Bagaimana dengan JR dan LR?
            Mengenai Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi, menurut kesaksian dari Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Prof. Mahfud MD, MK berwenang untuk menilai bertentangan atau tidaknya suatu Undang-Undang atas Konstitusi (konstitusional atau inkonstitusional). Terlepas dari UU tersebut disukai atau tidak disukai oleh masyarakat. Selain itu, alasan lain penolakan adalah UU KPK merupakan Open Legal Policy dari Legislatif. Sehingga yang berhak mengubah UU KPK adalah lembaga legislatif. Jika pun diterima, MK hanya akan mengabulkan 1 atau 2 Pasal dari 14 Pasal yang bermasalah. Itupun pasal-pasal yang tidak krusial dipermasalahkan.
            Pilihan lainnya, Legislative Review oleh Lembaga Legislatif. Selain JR ke MK, LR oleh DPR juga dirasa baik menjadi pilihan. Dalam LR, UU KPK akan diundangkan kemudian diagendakan untuk dibahas kembali oleh DPR. Ini bukan hal baru, mengingat UU APBN juga dibahas selama dua kali dalam satu tahun atau UU MD3 yang dibahas selama empat kali dalam satu tahun. Namun, jelas opsi ini tidak akan merubah apapun. UU KPK yang memuat pasal-pasal bermasalah tetap akan bermasalah tanpa perubahan. Logikanya, pasal-pasal cacat ini dilahirkan oleh DPR, tidak pantang meski masyarakat berbondong-bondong bersuara menolak. Dengan segera, UU KPK disetujui bahkan disahkan. Lalu bilamana Legislative Review diajukan, apakah DPR akan dengan senang hati mengubah?
            Perppu, opsi ini dirasa paling baik di antara opsi baik lainnya. Diungkapkan oleh Prof. Mahfud MD, dari segi waktu, Perppu menjadi solusi yang cepat untuk mengamankan UU KPK, minimal memberikan waktu untuk memperbaikinya. Dalam hal ini, Presiden berhak mengambil political review secara sepihak untuk mengeluarkan Perppu. Perppu juga didasarkan atas hak subjektif Presiden dalam menentukan suatu kegentingan yang memaksa, sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945. Setidaknya, Perppu menjadi cara presiden untuk berpihak pada rakyatnya, menjawab kerisauan ribuan mahasiswa, petisi oleh ribuan dosen, Persatuan Guru Besar, dan Guru Besar Indonesia Timur se-Indonesia, serta demonstrasi massif di berbagai kota. Layaknya Presiden SBY yang berani mengeluarkan Perppu UU Pilkada.

Parlemen Jalanan Adalah Kegentingan yang Memaksa?
            Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009 telah memberikan tafsir Kegentingan yang Memaksa yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang, Undang-Undang yang dibutuhkan belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai, dan kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
            Bivitri Susanti, Pakar Hukum Tata Negara menjelaskan alasan penerbitan Perppu UU KPK yang menurutnya telah memenuhi syarat kegentingan yang memaksa, sesuai dengan Putusan MK di atas. Kebutuhan mendesak dalam hal ini dikatakannya sebagai pelumpuhan kewenangan yang tercantum dalam UU KPK baru, diantaranya diungkapkan oleh Zainal Arifin Mochtar, Pakar Hukum Tata Negara: KPK hanya akan menjadi lembaga pencegahan, karena tidak memiliki sebagian besar wewenang dalam penindakan; penyadapan dilakukan setelah gelar perkara, dengan begitu Operasi Tangkap Tangan nyaris hilang. Logikanya karena OTT tidak dilakukan setelah gelar perkara; Komisioner KPK tidak memiliki peran sebagai penyidik dan penuntut umum; ditambahkan oleh Abdullah Hehamahua (Mantan Penasihat KPK), mengenai SP3 yang dipasung hanya selama 2 tahun, otomatis kasus BLBI, Century, Meikarta, dan Reklamasi, tenggelam tanpa pertempuran.
            Perlu dipahami bahwa Perppu adalah keistimewaan yang berbentuk hak subjektif bagi Presiden. Oleh karena itu, Mantan Ketua MK menjelaskan bahwa tolak ukur kegentingan yang memaksa diserahkan kepada Presiden. Ketika ribuan reaksi penolakan terjadi secara massif ditafsirkan sebagai suatu kegentingan yang memaksa, maka itu adalah hak presiden, tidak ada pihak yang boleh mengintervensinya. Hal serupa telah dilakukan oleh Presiden SBY dahulu, akibat penolakan masyarakat yang bergejolak. Inilah keunikan dan keuntungan sistem pemerintahan presidensial, Presiden dapat mengambil tindakan cepat dan tegas untuk mengatasi kegelisahan yang terjadi dalam masyarakat.

Penekan Presiden : Parlemen Jalanan atau Parlemen Partai?
            Pada 23 September, Presiden menyatakan tidak akan mengeluarkan Perppu UU KPK. Namun pada 26 September, Presiden mengundang sejumlah tokoh bangsa dan para pakar hukum tata negara, untuk mendengar dan mempertimbangkan pendapat-pendapat atas persoalan yang berkembang dalam masyarakat. Keesokan harinya pada 27 September, Menteri Sekretariat Negara, Pratikno dikabarkan menyiapkan sejumlah opsi draf Perppu UU KPK, jika sewaktu-waktu Presiden setuju menerbitkan Perppu. Selang tiga hari setelahnya pada 30 September, Presiden bertemu dengan Ketua Umum Partai Politik Koalisi di Istana Bogor. Tidak berhenti sampai di situ, pada 3 Oktober, Mensesneg Pratikno menyebutkan bahwa pihak istana sudah menerima draf UU KPK. Namun draf tersebut belum diteken Presiden dan dikembalikan kepada DPR dikarenakan masih banyak kesalahan redaksional.
            Tarik ulur keputusan penerbitan Perppu masih dinantikan. Tidak menutup kemungkinan bahwa dari 100 juta pemilih Presiden, memilih karena janji Presiden untuk menguatkan Lembaga Anti Rasuah ini, untuk memberantas korupsi tanah air. Maka, tidak salah jika rakyat beramai-ramai turun ke jalan untuk menagih janji tersebut. Tidak salah jika rakyat merengek untuk menyelamatkan KPK dengan hak istimewa yang dimiliki Presiden, Perppu. Tidak salah jika Presiden lebih memilih untuk mengatasi keresahan rakyat dibanding dengan kecemasan sejumlah partai politik. Jika memang DPR adalah singkatan dari Dewan Perwakilan Rakyat yang bertindak menyetujui UU KPK baru, mengapa ribuan mahasiswa, pegiat anti korupsi, aktivis HAM, para akademisi, bahkan para pakar bersatu menyuarakan Perppu UU KPK? Jika begini jadinya, maka benar bahwa DPR disebut sebagai Dewan Penjajah Rakyat atau kasarnya Dewan Pengkhianat Rakyat.

Perppu Diterbitkan, DPR Bagaimana?
            Apabila Perppu diterbitkan, maka pemberlakuan UU KPK akan ditunda untuk dibahas kembali oleh DPR. Sejatinya, semua tergantung pada substansi Perppu. Misalnya, dinyatakan oleh Prof. Mahfud MD jika substansi Perppu adalah bahwa UU KPK tidak berlaku hingga waktu tertentu, untuk selanjutnya dibahas kembali. Maka setelah itu, dibentuk tim yang terdiri dari berbagai pihak, baik DPR, Pemerintah, akademisi dan perwakilan masyarakat, untuk mereview dan merevisi Pasal-Pasal yang dinilai bermasalah.  
            Dalam negara demokrasi, wajar bila Presiden berada dalam sirkulasi cinta segitiga tidak sama sisi ini, antara pemilih (electoral), Presiden, dan elite politik. Jadi seharusnya tidak perlu ada istilah terjebak atau tertekan. Di sini akuntabilitas seorang Presiden dituntut, baik secara horizontal dengan elite politiknya dan secara vertikal dengan rakyatnya. Maka dari itu Nyarwi Ahmad seorang Pengamat Komunikasi Politik, mengusulkan konten Perppu baiknya berisi kompilasi antara keinginan rakyat dan juga elite politik demi menjaga dua hubungan ini. Bagaimana tidak, setelah Perppu diterbitkan, Perppu otomatis berlaku. DPR kemudian memegang peran penting untuk memastikan Perppu UU KPK tersebut menjadi Undang-Undang atau tidak.

Kesimpulan
            Setelah kekecewaan rakyat terhadap kerja DPR atas revisi kilat UU KPK, harapan terakhir rakyat adalah Presiden, pemimpin dari 265 juta manusia Indonesia. Dengan Perppu, Presiden dapat menggunakan kewenangannya untuk menenangkan rakyat. Dengan hak subjektif yang rakyat amanahkan ini, rakyat berharap cinta Presiden merata, tidak berat sebelah. Perppu bukanlah jebakan, Perppu adalah amanah yang diberikan khusus untuk Presiden yang sewaktu-waktu dapat digunakan untuk membantu menyelesaikan masalah yang bergejolak di tengah rakyat. Untuk DPR, jangan adu domba rakyat dengan pemimpinnya. Jangan libatkan rakyat untuk kehausan kuasa kalian semata. Bertindaklah sesuai dengan amanah yang rakyat berikan. Bukan sesuai dengan kepentingan yang elite politik selipkan.


[1] Mahasiswi Magister Hukum Kenegaraan, Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan Staf Bina Wilayah Jawa Tengah dan DIY MITI-KM (Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia- Klaster Mahasiswa)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SYARAH PANCASILA : TAARUF DENGAN NEGARA MELALUI AGAMA

Pendahuluan Sebagai suatu kesatuan kehidupan masyarakat, bangsa memiliki cita-cita hidup yang disebut sebagai ideologi. Ideologi menj...