Ubaiyana[1]
“Tresno kuwi pancen aneh. Contone,
aku tresno kowe tapi kowe ora tresno aku”. Besar harapan kami padamu,
Presidenku. Tapi apa daya, mereka (Partai Politik) juga menekan harapan padamu.
Dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa, Dalam hal ihwal kegentingan
yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti
undang-undang. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) merupakan
pilihan terbaik di antara pilihan lainnya, Judicial Review ke Mahkamah
Konstitusi dan Legislative Review oleh DPR, demi menyelamatkan anak kandung
reformasi, Komisi Pemberantasan Korupsi. Mengapa begitu?
Mengapa Perppu? Bagaimana dengan JR
dan LR?
Mengenai
Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi, menurut kesaksian dari Mantan Ketua
Mahkamah Konstitusi Prof. Mahfud MD, MK berwenang untuk menilai bertentangan
atau tidaknya suatu Undang-Undang atas Konstitusi (konstitusional atau
inkonstitusional). Terlepas dari UU tersebut disukai atau tidak disukai oleh
masyarakat. Selain itu, alasan lain penolakan adalah UU KPK merupakan Open Legal Policy dari Legislatif. Sehingga
yang berhak mengubah UU KPK adalah lembaga legislatif. Jika pun diterima, MK
hanya akan mengabulkan 1 atau 2 Pasal dari 14 Pasal yang bermasalah. Itupun pasal-pasal
yang tidak krusial dipermasalahkan.
Pilihan lainnya, Legislative Review
oleh Lembaga Legislatif. Selain JR ke MK, LR oleh DPR juga dirasa baik menjadi
pilihan. Dalam LR, UU KPK akan diundangkan kemudian diagendakan untuk dibahas
kembali oleh DPR. Ini bukan hal baru, mengingat UU APBN juga dibahas selama dua
kali dalam satu tahun atau UU MD3 yang dibahas selama empat kali dalam satu
tahun. Namun, jelas opsi ini tidak akan merubah apapun. UU KPK yang memuat
pasal-pasal bermasalah tetap akan bermasalah tanpa perubahan. Logikanya,
pasal-pasal cacat ini dilahirkan oleh DPR, tidak pantang meski masyarakat
berbondong-bondong bersuara menolak. Dengan segera, UU KPK disetujui bahkan
disahkan. Lalu bilamana Legislative Review diajukan, apakah DPR akan dengan
senang hati mengubah?
Perppu, opsi ini dirasa paling baik
di antara opsi baik lainnya. Diungkapkan oleh Prof. Mahfud MD, dari segi waktu,
Perppu menjadi solusi yang cepat untuk mengamankan UU KPK, minimal memberikan
waktu untuk memperbaikinya. Dalam hal ini, Presiden berhak mengambil political review secara sepihak untuk
mengeluarkan Perppu. Perppu juga didasarkan atas hak subjektif Presiden dalam
menentukan suatu kegentingan yang memaksa, sebagaimana yang termaktub dalam
Pasal 22 ayat (1) UUD 1945. Setidaknya, Perppu menjadi cara presiden untuk
berpihak pada rakyatnya, menjawab kerisauan ribuan mahasiswa, petisi oleh
ribuan dosen, Persatuan Guru Besar, dan Guru Besar Indonesia Timur se-Indonesia,
serta demonstrasi massif di berbagai kota. Layaknya Presiden SBY yang berani
mengeluarkan Perppu UU Pilkada.
Parlemen Jalanan Adalah Kegentingan yang
Memaksa?
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
138/PUU-VII/2009 telah memberikan tafsir Kegentingan yang Memaksa yaitu
kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan
Undang-Undang, Undang-Undang yang dibutuhkan belum ada sehingga terjadi
kekosongan hukum atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai, dan kekosongan
hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara
prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan
yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
Bivitri Susanti, Pakar Hukum Tata
Negara menjelaskan alasan penerbitan Perppu UU KPK yang menurutnya telah
memenuhi syarat kegentingan yang memaksa, sesuai dengan Putusan MK di atas. Kebutuhan
mendesak dalam hal ini dikatakannya sebagai pelumpuhan kewenangan yang
tercantum dalam UU KPK baru, diantaranya diungkapkan oleh Zainal Arifin
Mochtar, Pakar Hukum Tata Negara: KPK hanya akan menjadi lembaga pencegahan,
karena tidak memiliki sebagian besar wewenang dalam penindakan; penyadapan
dilakukan setelah gelar perkara, dengan begitu Operasi Tangkap Tangan nyaris
hilang. Logikanya karena OTT tidak dilakukan setelah gelar perkara; Komisioner
KPK tidak memiliki peran sebagai penyidik dan penuntut umum; ditambahkan oleh
Abdullah Hehamahua (Mantan Penasihat KPK), mengenai SP3 yang dipasung hanya
selama 2 tahun, otomatis kasus BLBI, Century, Meikarta, dan Reklamasi,
tenggelam tanpa pertempuran.
Perlu dipahami bahwa Perppu adalah keistimewaan
yang berbentuk hak subjektif bagi Presiden. Oleh karena itu, Mantan Ketua MK
menjelaskan bahwa tolak ukur kegentingan yang memaksa diserahkan kepada
Presiden. Ketika ribuan reaksi penolakan terjadi secara massif ditafsirkan
sebagai suatu kegentingan yang memaksa, maka itu adalah hak presiden, tidak ada
pihak yang boleh mengintervensinya. Hal serupa telah dilakukan oleh Presiden
SBY dahulu, akibat penolakan masyarakat yang bergejolak. Inilah keunikan dan
keuntungan sistem pemerintahan presidensial, Presiden dapat mengambil tindakan
cepat dan tegas untuk mengatasi kegelisahan yang terjadi dalam masyarakat.
Penekan Presiden : Parlemen Jalanan
atau Parlemen Partai?
Pada
23 September, Presiden menyatakan tidak akan mengeluarkan Perppu UU KPK. Namun
pada 26 September, Presiden mengundang sejumlah tokoh bangsa dan para pakar
hukum tata negara, untuk mendengar dan mempertimbangkan pendapat-pendapat atas
persoalan yang berkembang dalam masyarakat. Keesokan harinya pada 27 September,
Menteri Sekretariat Negara, Pratikno dikabarkan menyiapkan sejumlah opsi draf Perppu
UU KPK, jika sewaktu-waktu Presiden setuju menerbitkan Perppu. Selang tiga hari
setelahnya pada 30 September, Presiden bertemu dengan Ketua Umum Partai Politik
Koalisi di Istana Bogor. Tidak berhenti sampai di situ, pada 3 Oktober,
Mensesneg Pratikno menyebutkan bahwa pihak istana sudah menerima draf UU KPK.
Namun draf tersebut belum diteken Presiden dan dikembalikan kepada DPR dikarenakan
masih banyak kesalahan redaksional.
Tarik ulur keputusan penerbitan
Perppu masih dinantikan. Tidak menutup kemungkinan bahwa dari 100 juta pemilih
Presiden, memilih karena janji Presiden untuk menguatkan Lembaga Anti Rasuah
ini, untuk memberantas korupsi tanah air. Maka, tidak salah jika rakyat
beramai-ramai turun ke jalan untuk menagih janji tersebut. Tidak salah jika
rakyat merengek untuk menyelamatkan KPK dengan hak istimewa yang dimiliki
Presiden, Perppu. Tidak salah jika Presiden lebih memilih untuk mengatasi
keresahan rakyat dibanding dengan kecemasan sejumlah partai politik. Jika memang
DPR adalah singkatan dari Dewan Perwakilan Rakyat yang bertindak menyetujui UU
KPK baru, mengapa ribuan mahasiswa, pegiat anti korupsi, aktivis HAM, para
akademisi, bahkan para pakar bersatu menyuarakan Perppu UU KPK? Jika begini
jadinya, maka benar bahwa DPR disebut sebagai Dewan Penjajah Rakyat atau
kasarnya Dewan Pengkhianat Rakyat.
Perppu Diterbitkan, DPR Bagaimana?
Apabila
Perppu diterbitkan, maka pemberlakuan UU KPK akan ditunda untuk dibahas kembali
oleh DPR. Sejatinya, semua tergantung pada substansi Perppu. Misalnya, dinyatakan
oleh Prof. Mahfud MD jika substansi Perppu adalah bahwa UU KPK tidak berlaku
hingga waktu tertentu, untuk selanjutnya dibahas kembali. Maka setelah itu,
dibentuk tim yang terdiri dari berbagai pihak, baik DPR, Pemerintah, akademisi
dan perwakilan masyarakat, untuk mereview dan merevisi Pasal-Pasal yang dinilai
bermasalah.
Dalam negara demokrasi, wajar bila
Presiden berada dalam sirkulasi cinta segitiga tidak sama sisi ini, antara
pemilih (electoral), Presiden, dan
elite politik. Jadi seharusnya tidak perlu ada istilah terjebak atau tertekan. Di
sini akuntabilitas seorang Presiden dituntut, baik secara horizontal dengan
elite politiknya dan secara vertikal dengan rakyatnya. Maka dari itu Nyarwi
Ahmad seorang Pengamat Komunikasi Politik, mengusulkan konten Perppu baiknya berisi
kompilasi antara keinginan rakyat dan juga elite politik demi menjaga dua
hubungan ini. Bagaimana tidak, setelah Perppu diterbitkan, Perppu otomatis
berlaku. DPR kemudian memegang peran penting untuk memastikan Perppu UU KPK tersebut
menjadi Undang-Undang atau tidak.
Kesimpulan
Setelah kekecewaan rakyat terhadap
kerja DPR atas revisi kilat UU KPK, harapan terakhir rakyat adalah Presiden,
pemimpin dari 265 juta manusia Indonesia. Dengan Perppu, Presiden dapat
menggunakan kewenangannya untuk menenangkan rakyat. Dengan hak subjektif yang
rakyat amanahkan ini, rakyat berharap cinta Presiden merata, tidak berat
sebelah. Perppu bukanlah jebakan, Perppu adalah amanah yang diberikan khusus
untuk Presiden yang sewaktu-waktu dapat digunakan untuk membantu menyelesaikan
masalah yang bergejolak di tengah rakyat. Untuk DPR, jangan adu domba rakyat
dengan pemimpinnya. Jangan libatkan rakyat untuk kehausan kuasa kalian semata. Bertindaklah
sesuai dengan amanah yang rakyat berikan. Bukan sesuai dengan kepentingan yang
elite politik selipkan.
[1] Mahasiswi Magister Hukum
Kenegaraan, Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan Staf Bina
Wilayah Jawa Tengah dan DIY MITI-KM (Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia-
Klaster Mahasiswa)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar