Ubaiyana[1]
Berdasarkan
penghitungan dan analisis Kemiskinan Makro Indonesia oleh Badan Pusat
Statistik, indeks keparahan kemiskinan pada periode Maret 2017 dan Maret 2018
sedikit mengalami penurunan dari 0,31 menjadi 0,29 di perkotaan dan dari 0,67
menjadi 0,63 di pedesaan.[2] Upaya-upaya yang dilakukan
pemerintah melalui beberapa program penanggulangan kemiskinan seperti, program
Simpanan Keluarga Sejahtera, Program Beras untuk Keluarga Miskin (Raskin)/
Beras Sejahtera (Rastra), Program Indonesia Pintar (PIP), dan Program Kredit
Usaha Rakyat (KUR), cenderung tidak memiliki pengaruh besar.[3]
Bukan
berupaya mengatasi kemiskinan, pemerintah justru sibuk mewacanakan hukuman
denda bagi gelandangan. Dalam Rancangan KUHP Pasal
431 mengenai Penggelandangan, dijelaskan bahwa setiap orang yang bergelandangan
di jalan atau di tempat umum yang mengganggu ketertiban umum dipidana dengan
pidana denda paling banyak kategori I (1 Juta). Melihat indeks keparahan
kemiskinan di atas, pemerintah dinilai buntu dan sedang bingung mengatasi
persoalan kemiskinan, sehingga memilih jalan denda untuk menghentikan persoalan
gelandangan.
Badan Pembinaan Hukum Nasional menerangkan politik pemidanaan
dalam merumuskan norma hukum pidana dan ancaman pidana, pada dasarnya bertujuan
untuk mencapai cita kehidupan masyarakat yang ideal, menegakkan nilai-nilai
luhur dalam masyarakat, dan mempertahankan sesuatu yang diikuti masyarakat.[4]
Pertanyaannya, apakah pencantuman pidana denda bagi gelandangan sudah sesuai
dengan nilai-nilai luhur yang berlaku dalam masyarakat?
Dalam
alinea 4 Pembukaan UUD 1945, pemerintah negara Indonesia dibentuk salah satunya
untuk memajukan kesejahteraan umum,[5] serta termaktub dalam sila
kelima Pancasila bahwa keadilan sosial adalah milik seluruh rakyat Indonesia,
tanpa terkecuali gelandangan. Berkaca dari teori tujuan kemakmuran rakyat (welfare state), bahwa pemerintah
bertugas memberikan sebesar-besarnya kemakmuran kepada rakyat.[6] Kemudian diperkuat oleh pendapat
Aristoteles bahwa negara hukum, seperti negara Indonesia harus menjamin keadilan
bagi seluruh warga negara, yang ditandai dengan adanya kebahagiaan.[7]
Pemerintah sebaiknya berbalik arah dan fokus mengevaluasi
kebijakan sebelumnya dalam mengatasi kemiskinan yang merajalela. Jika
pemerintah ingin mendekolonisasikan hukum pidana warisan kolonial Belanda dari
tanah Indonesia, maka sudah sepatutnya Pasal Penggelandangan dibumihanguskan.
Pemerintah perlu bijak mengambil tindakan, salah satunya dengan mereformulasikan
program-program penanggulangan kemiskinan, tingkatkan kuantitas dan kualitas
program, serta perbanyak program pemberdayaan masyarakat yang terpola dengan
baik. Dengan demikian, negara benar-benar menjalankan tugasnya untuk memelihara,[8] dan memberdayakan
fakir miskin, anak-anak terlantar, masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai
dengan martabat kemanusiaan,[9] termasuk
gelandangan.
[1] Mahasiswa Magister Hukum Kenegaraan,
Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Madah Yogyakarta
[2] Nuri Taufiq, dkk., 2018,
Penghitungan dan Analisis Kemiskinan Makro Indonesia Tahun 2018, Badan Pusat
Statistik, Jakarta, hlm.13
[3] Adi Nugroho dan Dina Nur
Rahmawati, 2018, Indeks Pembangunan Manusia 2018, Badan Pusat Statistik,
Jakarta, hlm.39-42
[4] Mudzakkir, 2008, Perencanaan
Pembangunan Hukum Nasional Bidang Hukum Pidana dan Sistem Pemidanaan (Politik
Hukum dan Pemidanaan), Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Badan Pembinaan
Hukum Nasional, hlm.10
[5] Pembukaan Undang-Undang Negara
Republik Indonesia 1945
[6] Maleha Soemarsono, “Negara Hukum
Indonesia Ditinjau Dari Sudut Teori Tujuan Negara”, Jurnal Hukum dan Pembangunan, No.2, 2017, hlm.304-305
[7] Moh. Koesnardi dan Harmainly
Ibrahim, 1976, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi HTN FH UI,
Jakarta, hlm.75
[8] Dalam UUD 1945 Pasal 34 ayat (1)
[9] Dalam UUD 1945 Pasal 34 ayat (2)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar