Ubaiyana[1]
Ada Apa Dengan DPR dan Pemerintah?
Revisi
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang selanjutnya disebut sebagai RKUHP adalah
bentuk dari perjuangan anak-anak bangsa untuk menggantikan hukum kolonial yang
sudah berlaku 72 tahun lalu sejak Indonesia merdeka. RKUHP sudah dibahas oleh 7
Presiden, sejak zaman Presiden Soeharto hingga pada Juni 2015 diajukan oleh
Menteri Hukum dan HAM, Prof. Yasonna Laoly untuk dibahas oleh DPR. Dalam hal
ini, penulis sepakat menyatakan bahwa pengusulan RUU KUHP ini tentu tidak bisa
disebut sebagai perbuatan yang tergesa-gesa layaknya UU KPK yang sudah disetujui dan menunggu disahkan. Sebagaimana ungkapan Budiman Tanuredjo seorang wartawan senior harian
Kompas, terdapat fenomena menarik yang terjadi di pemerintahan Jokowi yakni
kesan para anggota DPR dan pemerintah yang memaknai semua RUU “Now or Never”. Bayangkan,
jika demonstrasi berjilid-jilid tidak terjadi, bisa saja tidak hanya UU KPK
yang disetujui dan menunggu disahkan, tetapi juga RKUHP, RUU Pertanahan, dan RUU lainnya.
Sebelum
menelusuri lebih dalam terkait RKUHP, terdapat fakta menarik lain atas
perbedaan perlakuan antara RUU KPK dan RUU KUHP. Mengapa RUU KPK tidak menerima
lebih banyak aspirasi masyarakat, tidak bertindak menunda, dan buru-buru
disahkan? Sedangkan RUU KUHP diberikan ruang untuk menerima aspirasi
masyarakat, bertindak menunda, dan dialihkan kepada DPR periode selanjutnya?
Hemat penulis, logikanya adalah karena RUU KPK berdampak langsung terhadap
kepentingan politisi dan pemerintah. Sedangkan RUU KUHP tidak hanya berdampak
kepada politisi dan pemerintah, tetapi juga kepada seluruh masyarakat
Indonesia. Jika Bung Fahri Hamzah mengatakan bahwa UU KPK ini akan memberantas
korupsi dalam waktu 5 tahun, maka penulis memaknai maksud dibaliknya. UU KPK
ini bukan memberantas korupsi, tetapi meminimalisir angka koruptor. Karena bukan
memudahkan, UU KPK ini justru menyulitkan pihak yang berwenang untuk menjerat
para koruptor. Jadi seperti yang penulis sampaikan pada tulisan sebelumnya
bahwa benar para wakil kita memang ingin membuat suatu “Maha Karya Besar” di
akhir masa jabatannya atau dapat penulis sebut sebagai suatu benteng pertahanan
mereka untuk duduk berkuasa di Senayan.
Pasal-Pasal RKUHP Mengebiri Hak Asasi
Manusia Indonesia?
Upaya menggantikan hukum kolonial Belanda,
dilakukan tim perancang RKUHP dengan memasukkan nilai-nilai ke-Indonesia-an di
dalamnya, disampaikan oleh Prof. Harkristuti Harkrisnowo, Tenaga Ahli
Pemerintahan/Tim RUU KUHP. Memang benar bila satu kitab Undang-Undang pasti
tidak bisa memuaskan 265 juta rakyat Indonesia. Sama seperti yang diungkapkan
oleh Menteri Hukum dan HAM bahwa lebih mudah membuat KUHP di negara Belanda
dengan kultur masyarakat yang homogen. Dengan kultur yang heterogen, pastinya
sangat sulit untuk membuat KUHP di negara ini apalagi harus diterima oleh 265
juta manusia, that’s Impossible mind.
Penundaan pengesahan RKUHP menjadi kabar baik bagi semua orang untuk
menyuarakan penolakannya atas pasal-pasal yang dinilai telah merenggut hak
konstitusionalnya. Berikut penulis jabarkan beberapa pasal yang menurut penulis
patut menjadi perbincangan serius.
Pembungkaman Kebebasan Berekspresi
dan Berpendapat Atas Pemerintah
Mulai
dari Pasal 217 hingga Pasal 220 mengenai penyerangan dan penyerangan kehormatan
atau harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden, Pasal 240 dan Pasal 241
mengenai penghinaan terhadap pemerintah, Pasal 246 dan Pasal 247 mengenai penghasutan
untuk melawan penguasa umum, serta Pasal 353 dan Pasal 354 mengenai penghinaan
terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara, menuai banyak kontroversi di
berbagai kalangan masyarakat. Dalam penjelasan pasal, terutama Pasal 218
menjelaskan bahwa menyerang kehormatan atau harkat dan martabat pada dasarnya
merupakan penghinaan dengan menyerang nama baik atau harga diri Presiden atau
Wakil Presiden di muka umum termasuk menista dengan surat, memfitnah, dan
menghina dengan tujuan memfitnah. Dijelaskan lebih lanjut bahwa ketentuan ini
tidak dimaksudkan untuk meniadakan atau mengurangi kebebasan mengajukan kritik
ataupun pendapat yang berbeda atas kebijakan pemerintah. Penjelasan Pasal 246,
yang dimaksud dengan menghasut adalah mendorong, mengajak, membangkitkan atau
membakar semangat orang supaya berbuat sesuatu. Menghasut dapat dilakukan
dengan lisan atau tulisan, dan harus dilakukan di muka umum, artinya di tempat
yang didatangi publik atau ditempat yang khalayak ramai dapat mendengar. Dalam
Pasal 247, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan menyiarkan termasuk perbuatan
mentransmisikan, mendistribusikan dan membuat dapat diaksesnya informasi dan
dokumen elektronik dalam sistem elektronik.
Pasal
ini dianggap layak diperjuangkan eksistensinya, menurut Prof. Harkristuti
Harkrisnowo. Sudah sewajarnya jika Presiden disebut lebih dari seorang individu
yang kemudian mendapatkan perlindungan khusus, tidak lain karena seorang
Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh 100 juta orang dan memimpin 265 juta
rakyatnya. Dikemukakan oleh Menkumham, Pasal penghinaan Presiden sejatinya
merupakan cerminan bangsa Indonesia yang beradab. Selain itu Pasal ini hadir
untuk menjaga kehormatan Presiden di tahun-tahun mendatang.
Seyogyanya
untuk menuju pada perbaikan, para pembentuk UU perlu mempertimbangkan praktik
di lapangan, bahwa diskresi penyidik di tingkat bawah kerap kali mengalami
kecenderungan yang subyektif. Dikemukakan oleh Usman Hamid, Direktur Amnesty
International Indonesia, jika melihat pasal penghinaan
presiden, redaksi rumusan pasalnya sama persis dengan rumusan pasal
perlindungan terhadap ratu Belanda. Dahulu, pasal ini digunakan untuk
melindungi kekuasaan kolonial dan mengontrol masyarakat jajahannya. Beberapa
ahli dan aktivis menyampaikan kejanggalannya seputar ketidakjelasan batasan dan
tolak ukur atas pasal-pasal tersebut. Seperti halnya yang disebutkan oleh
Budiman Tanuredjo, wartawan senior harian kompas, sekarang terdapat
kecenderungan kriminalitas yang dikontrol untuk melakukan moderasi atau
persekusi secara politik. Tentunya akan menjadi masalah besar ketika tafsir
pasal makar dan penghinaan terhadap presiden kemudian dimanfaatkan untuk
mengontrol politik.
Di
samping itu, sebelumnya pasal-pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil
Presiden ini sudah dibumihanguskan oleh Mahkamah Konstitusi dengan maksud untuk
memproteksi DPR dalam menggunakan hak imunitasnya mengontrol kekuasaan Presiden
dan Wakil Presiden. Singkatnya menurut MK, Pasal Penghinaan Presiden ini akan
menghambat kerja DPR dalam impeachment
atau pemakzulan terhadap Presiden, hal ini dinyatakan oleh Irmanputra Siddin,
Pakar Hukum Tata Negara. Penulis menilai jika Pasal ini disahkan dengan tanpa membuat definisi dan batasan yang jelas, maka pupuslah
harapan masyarakat Indonesia. Parlemen yang diharapkan hadir untuk mengontrol
kekuasaan, justru berselingkuh dengan kekuasaan tersebut. Kekuasaan itu tidak akan pernah setia dengan yang dianggapnya teman. Kekuasaan hanya setia
dengan cinta sejatinya, kapitalis. Pada akhirnya, solusi yang perlu ditempuh
adalah bukan dengan meniadakan pasal ini, karena penulis turut sepakat untuk
menghormati kedudukan Pemimpin dari 265 juta rakyat, namun perlu adanya
kejelasan pendefinisian dan batasan rumusan dalam pasal-pasal Penghinaan
Presiden dan Pasal yang sejenis.
Pasal Penodaan Agama Mengintervensi
Ilmu Pengetahuan
Terhitung dari Pasal 304, 305, 306,
hingga Pasal 308, menjelaskan mengenai Tindak Pidana Terhadap Agama dan
Terhadap Kehidupan Beragama dan Sarana Ibadah. Dalam penjelasan pasal, Pasal
304 menjelaskan bahwa penghinaan adalah merendahkan kesucian agama, karena
dinilai tidak menghormati dan menyinggung perasaan umat yang menganut agama.
Misalnya, menghina ke-Agung-an Tuhan, Firman, sifat-sifat-Nya, atau menghina
Nabi/Rasul, yang akan menimbulkan keresahan dalam kelompok umat yang
bersangkutan. Dalam penjelasan Pasal 308, perbuatan mengejek atau mengolok-olok
umat yang sedang menjalankan atau memimpin ibadah atau petugas ibadah yang
melakukan tugasnya.
Pasal-pasal ini dianggap multi
tafsir dan lebih khusus dinilai mengintervensi ilmu pengetahuan. Cania Citta
Irlanie, Pemimpin Redaksi Geolive menyatakan bahwa Jika disandingkan dengan
Tindak Pidana Terhadap Ideologi Negara, mengenai Penyebaran Ajaran
Komunisme/Marxisme-Leninisme, Pasal 188 ayat (6) bahwa tidak dipidana orang
yang melakukan kajian terhadap ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme untuk
kepentingan ilmu pengetahuan, maka Pasal penodaan ini dapat dikatakan
mengintervensi ilmu pengetahuan. Pasal ini tergolong pasal karet yang dapat
digunakan sesukanya. Mengambil contoh, Ustadz Abdul Somad dituduh melakukan
penghinaan agama atas perbuatannya menjelaskan akidah agama Islam di tengah
komunitas umat Islam, dalam rumah ibadah agama Islam, bukan melalui stasiun
televisi atau media sosial serta tidak terbuka untuk umum, yang beberapa waktu
lalu menjadi isu kontroversial. Dalam kasus lain, Arswendo Atmowiloto pada
tahun 1990. Saat itu Arswendo membuat polling
di Tabloid Monitor, “Siapa tokoh
idola menurut para pembacanya?” menurut hasil polling yang dirilis tabloid, nama Presiden Soeharto berada di
urutan pertama, disusul nama Presiden BJ Habibie, kemudian nama Presiden
Soekarno, lalu musisi Iwan Fals. Nama Arswendo termasuk dalam urutan ke-10, dan
Nabi Muhammad SAW berada pada urutan ke-11. Atas perbuatan ini, Arswendo
diputuskan bersalah dan dihukum bui selama 5 tahun.
Tentu karena adanya pasal elastis
seperti ini, mengakibatkan penegak hukum cenderung leluasa dalam menafsirkan
dan memaknainya. Tidak hanya Pasal Penghinaan Presiden dan Wakil Presiden,
tetapi juga Pasal Tindak Pidana Terhadap Agama perlu diperjelas dan dibatasi
dalam perumusan pasalnya. Sehingga, Pasal ini seharusnya bertujuan untuk
melahirkan toleransi bukan meningkatkan permusuhan. Sedikit-sedikit suatu
kelompok merasa tersinggung, merasa direndahkan, dihina, diolok-olok, bahasanya
“mumpung ada hukuman, laporin yuk biar kapok”. Padahal masyarakat kita pada
prinsipnya sudah memahami dasar-dasar hidup toleransi antarsesama. Tidak perlu
dikompori dengan hukuman-hukuman dan ancaman-ancaman. Jika dinilai perlu ada,
maka cukup dibuatkan batasan-batasannya.
Gelandangan
Semakin Termarginalkan oleh Negara
Dalam RKUHP Pasal 431 mengenai
Penggelandangan, bahwa setiap orang yang bergelandangan di jalan atau di tempat
umum yang mengganggu ketertiban umum dipidana dengan pidana denda paling banyak
kategori I (1 Juta). Menanggapinya, Menteri Hukum dan HAM mengatakan bahwa ada
pidana alternative lain selain denda, yaitu pengawasan atau kerja sosial atau
dikenakan tindakan seperti kewajiban mengikuti pelatihan kerja. Beberapa ahli
memberikan tanggapannya, bahwa dalam Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 menyatakan
bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara negara. Dalam konteks menggelandang,
seharusnya pemerintah mengambil langkah non-represif dan sejalan dengan
perlindungan dan pemeliharaan yang termuat dalam Pasal 34 di atas. Kemudian
upaya untuk mengurangi gelandangan merupakan ranah kekuasaan lembaga eksekutif
dalam bidang perlindungan sosial dan melalui program penanggulangan kemiskinan.
Lebih lanjut Haris Azhar, Aktivis
HAM dan juga Direktur Eksekutif Lokataru, mengungkapkan kekecewaannya pada
pemerintah yang tidak menitikberatkan social
science dalam penyusunan legislasi. Haris menekankan bahwa dalam penyusunan
UU, tidak bisa hanya dengan menggunakan metodologi sesuai dengan UU No.12 Tahun
2011, tidak bisa hanya dengan menyerap aspirasi masyarakat dengan datang ke
kampus-kampus, karena pada faktanya bukan akademisi yang dipidana, bukan
mahasiswa, bukan ahli hukum, bukan dosen, bukan aktivis atau pegiat dan yang
lainnya, tetapi gembel. Gembel tidak dapat ditemui di universitas, gembel tidak
menikmati tontonan Indonesia Lawyers Club,
gembel tidak tahu-menahu pernyataan dan perdebatan para Menteri, DPR dan para
ahli ini. Jika pada awalnya disampaikan bahwa RKUHP ini adalah perjuangan anak
bangsa untuk menggantikan hukum barat, maka hal ini bertentangan dengan
keberadaan Pasal Gelandangan. Karena perlu diketahui bahwa tradisi menghukum
gembel adalah tradisi hukum negara-negara barat. Tradisi negara barat adalah
memberikan denda atas gembel, karena nilai estetik lebih dipentingkan daripada nilai
etik.
Penulis
menilai bahwa KUHP bukan hanya sekedar teks yang dibahas, ditetapkan dan
disahkan, tetapi KUHP merupakan cerminan praktik kehidupan yang sudah, sedang
dan akan berlaku dalam masyarakat. Maka dari itu, penulis sepakat untuk
meniadakan dan menghapus Pasal 431 ini. Jika pemerintah ingin membumihanguskan
kitab berbau kolonial dari Tanah Air, maka segala bentuk nilai kolonial yang
termuat dalam rumusan pasal seharusnya juga dibumihanguskan, termasuk Pasal
Gelandangan ini.
Pengguguran Kandungan (Aborsi) Korban
Perkosaan dan/atau Alasan Medis
Pasal 469-471 RKUHP mengenai
Pengguguran Kandungan dikecualikan bagi korban perkosaan. Hal ini disampaikan
oleh Prof. Yasonna Laoly bahwa terhadap pelaksanaan pasal ini, asas Lex Specialis Derogat Legi Generali yang
menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus mengesampingkan hukum yang bersifat
umum, dapat diberlakukan atas Undang-Undang No.36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
Pasal 75 ayat (2), yang menyatakan bahwa dapat dikecualikan berdasarkan: a.
indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang
mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat
dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan
bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau b. kehamilan akibat perkosaan yang
dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan. Penulis sepakat
bahwa tidak ada yang perlu dipermasalahkan dengan eksistensi pasal ini.
Pemberantasan Korupsi Perlahan Diperlemah
Dalam Undang-Undang No.31 Tahun 1999
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 2 menyatakan bahwa, setiap
orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekenomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling
sedikit dua ratus juta (200 Juta) dan paling banyak satu miliar (1 M).
Sedangkan dengan rumusan pasal yang sama, Pasal 603 RKUHP, menyatakan dipidana
dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 2 tahun
dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit kategori II (10 Juta) dan
paling banyak kategori VI (2 M).
Semua bentuk perbuatan korupsi yang
dijabarkan dalam RKUHP adalah yang sebelumnya sudah tercantum dalam UU Tipikor.
Andreas Marbun, Peneliti MAPPI FH UI mengatakan bahwa jika ingin lebih baik
dalam pemberantasan korupsi, seharusnya tim perumus RKUHP berkolaborasi dengan
United Nations Convention Against Corruption (UNCAC). Terdapat banyak jenis
perbuatan korupsi yang belum diatur di Indonesia. Padahal sebelumnya pada bulan
Mei, dalam draf RUU KUHP telah mengatur tindak pidana baru yang diadopsi dari
UNCAC. Namun di bulan Juni draf itupun berubah. Mengapa bisa terjadi, biarlah
para Bapak Ibu DPR yang memberikan jawaban. Artinya, berlakunya RKUHP tidak
akan berdampak lebih baik atau bahkan bisa lebih buruk. Jika hal-hal yang
diatur justru meringankan koruptor, maka dapat menjadi bukti bahwa ada upaya
sistematis untuk membuat orang-orang yang sedang terjerat dan akan terjerat
korupsi menjadi lebih leluasa dan melakukan perlawanan terhadap agenda
penuntasan korupsi, hal ini dikemukakan oleh Tama S Langkun, Peneliti Indonesia
Corruption Watch.
Pada
kesimpulannya, dalam RKUHP memang tidak hanya terdapat pasal yang melemahkan
agenda pemberantasan korupsi, tetapi juga terdapat pasal yang memperkuat yakni
dengan memperberat hukuman. Namun jika mengulas ke belakang dengan menjumlahkan
upaya yang dianggap sistematis dari pengesahan UU KPK yang pada beberapa poin
penting dinilai melemahkan, kemudian dengan RKUHP ini, maka tidak salah jika
penulis beranggapan bahwa KPK sengaja dilemahkan dari sisi organisasinya
terlebih dahulu kemudian dari sisi hukum materil dan formilnya.
Selain
pasal-pasal di atas, sebenarnya terdapat pasal lain yang juga hangat
dipersoalkan beberapa orang, seperti mengenai Perzinahan dalam Pasal 417 dan
418 RKUHP. Dalam perumusan pasal ini, Arsul Sani (Anggota Komisi III RI F-PPP)
menyatakan bahwa terdapat dua kelompok yang memperdebatkannya. Ada yang
menyatakan bahwa perbuatan ini wajib diatur untuk menjaga moralitas bangsa, ada
yang mengatakan sebaliknya untuk tidak terlalu jauh mengatur hingga ranah
privat, dan ada juga yang mengusulkan boleh diatur tetapi substansinya
dimasukkan dalam delik biasa. Untuk menengahinya, semua sepakat untuk diatur
tetapi termasuk dalam delik aduan. Terkait subjek yang mengadukan juga
dibatasi, yakni suami atau istri, orangtua atau anak, serta kepala desa juga
dibolehkan mengadukan jika keluarganya tidak keberatan. Hal ini berangkat dari
filosofi hukum pidana Indonesia, yang menegaskan bahwa bentuk kerugian terbagi
atas dua, yaitu kerugian individu (individual
damage) dan kerugian sosial/masyarakat/lingkungan (social damage).
Sebagai
negara yang berideologi Pancasila dengan landasan agama dan kepercayaan,
kemanusiaan, persatuan, musyawarah dan keadilan, maka sudah sepatutnya negara
ini mengatur adab manusia Indonesia, tidak terkecuali hubungan seksual di luar
ikatan yang sah atau disebut perzinahan, serta hidup bersama tanpa adanya
ikatan perkawinan. Bagaimana tidak? fenomena moral anak bangsa saat ini sudah
jauh dari karakter masyarakat Indonesia yang seharusnya. Pelajar dan anak usia
SD, SMP, SMA, serta mahasiswa atau pemuda yang bebas melakukan hubungan
seksual, yang videonya diedarkan melalui media sosial, kemudian diketahui oleh
masyarakat di sekitarnya, bahkan sudah tidak peduli saat keluarganya menanggung
malu. Pertanyaannya, mereka yang mempermasalahkan pasal ini apakah mau generasi
bangsa ini rusak dengan kebebasan sebebas-bebasnya?
Kemudian
tentang “pembiaran unggas” dalam Pasal 278 RKUHP yang menyatakan, setiap orang
yang membiarkan unggas yang diternaknya berjalan di kebun atau tanah yang telah
ditaburi benih atau tanaman milik orang lain, dipidana dengan pidana denda
paling banyak kategori II (10 Juta). Mengutip pernyataan dari Prof. Harkristuti Harkrisnowo, pada prinsipnya hukum
pidana dipergunakan sebagai alat terakhir apabila sarana lain tidak mampu untuk
menyelesaikannya. Tidak semua orang yang masuk pengadilan harus dihukum, hakim
bisa memberikan bentuk hukuman lain seperti judicial
pardon atau permohonan maaf. Karena pasal ini sangat erat kaitannya dengan
masyarakat pedesaan bukan perkotaan, maka penulis mengingatkan kembali bahwa saat
ini dan semoga selamanya, hukum tidak tertulis dalam masyarakat (unwritten law) lebih membudaya dan
dipercaya dibandingkan dengan hukum nasional yang berlaku. Artinya, dapat
dikatakan bahwa pasal ini hanya akan menjadi pasal “basa-basi”.
Kesimpulan dan Saran
Dari lima isu yang penulis sampaikan
di atas, dapat disimpulkan bahwa:
1. Terdapat
setidaknya tiga isu dari lima isu di atas yang dinilai dan dianggap dapat
mengebiri hak asasi manusia Indonesia, diantaranya; Pertama, Pasal 217 hingga
Pasal 220 mengenai penyerangan dan penyerangan kehormatan atau harkat dan
martabat Presiden dan Wakil Presiden, Pasal 240 dan Pasal 241 mengenai penghinaan
terhadap pemerintah, Pasal 246 dan Pasal 247 mengenai penghasutan untuk melawan
penguasa umum, serta Pasal 353 dan Pasal 354 mengenai penghinaan terhadap
kekuasaan umum dan lembaga negara. Kedua, Pasal 304, 305, 306, dan 308,
mengenai Tindak Pidana Terhadap Agama dan Terhadap Kehidupan Beragama dan
Sarana Ibadah. Ketiga, Pasal 431 mengenai Penggelandangan, yang seharusnya
diupayakan untuk hidup sejahtera. Pasal-pasal ini sebaiknya dirumuskan dan
dibatasi secara jelas sehingga tidak menimbulkan multitafsir berlebihan.
Khususnya Pasal mengenai gelandangan, sebaiknya dihapuskan.
2. Penundaan pengesahan RKUHP ini membuka ruang
dan kesempatan bagi siapapun untuk menyampaikan aspirasinya atau menyampaikan
penolakannya terhadap rumusan pasal yang dapat merugikan dirinya dan
orang-orang di sekitarnya.
[1] Mahasiswi Magister Hukum
Kenegaraan, Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan Staf Bina
Wilayah Jakarta, Banten, Jawa Barat MITI-KM (Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog
Indonesia Klaster Mahasiswa)
bagus
BalasHapus