Selasa, 01 Oktober 2019

RKUHP MENGEBIRI HAK ASASI MANUSIA INDONESIA : FITNAH ATAU FAKTA?


Ubaiyana[1]
Ada Apa Dengan DPR dan Pemerintah?
Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang selanjutnya disebut sebagai RKUHP adalah bentuk dari perjuangan anak-anak bangsa untuk menggantikan hukum kolonial yang sudah berlaku 72 tahun lalu sejak Indonesia merdeka. RKUHP sudah dibahas oleh 7 Presiden, sejak zaman Presiden Soeharto hingga pada Juni 2015 diajukan oleh Menteri Hukum dan HAM, Prof. Yasonna Laoly untuk dibahas oleh DPR. Dalam hal ini, penulis sepakat menyatakan bahwa pengusulan RUU KUHP ini tentu tidak bisa disebut sebagai perbuatan yang tergesa-gesa layaknya UU KPK yang sudah disetujui dan menunggu disahkan. Sebagaimana ungkapan Budiman Tanuredjo seorang wartawan senior harian Kompas, terdapat fenomena menarik yang terjadi di pemerintahan Jokowi yakni kesan para anggota DPR dan pemerintah yang memaknai semua RUU “Now or Never”. Bayangkan, jika demonstrasi berjilid-jilid tidak terjadi, bisa saja tidak hanya UU KPK yang disetujui dan menunggu disahkan, tetapi juga RKUHP, RUU Pertanahan, dan RUU lainnya.
Sebelum menelusuri lebih dalam terkait RKUHP, terdapat fakta menarik lain atas perbedaan perlakuan antara RUU KPK dan RUU KUHP. Mengapa RUU KPK tidak menerima lebih banyak aspirasi masyarakat, tidak bertindak menunda, dan buru-buru disahkan? Sedangkan RUU KUHP diberikan ruang untuk menerima aspirasi masyarakat, bertindak menunda, dan dialihkan kepada DPR periode selanjutnya? Hemat penulis, logikanya adalah karena RUU KPK berdampak langsung terhadap kepentingan politisi dan pemerintah. Sedangkan RUU KUHP tidak hanya berdampak kepada politisi dan pemerintah, tetapi juga kepada seluruh masyarakat Indonesia. Jika Bung Fahri Hamzah mengatakan bahwa UU KPK ini akan memberantas korupsi dalam waktu 5 tahun, maka penulis memaknai maksud dibaliknya. UU KPK ini bukan memberantas korupsi, tetapi meminimalisir angka koruptor. Karena bukan memudahkan, UU KPK ini justru menyulitkan pihak yang berwenang untuk menjerat para koruptor. Jadi seperti yang penulis sampaikan pada tulisan sebelumnya bahwa benar para wakil kita memang ingin membuat suatu “Maha Karya Besar” di akhir masa jabatannya atau dapat penulis sebut sebagai suatu benteng pertahanan mereka untuk duduk berkuasa di Senayan.

Pasal-Pasal RKUHP Mengebiri Hak Asasi Manusia Indonesia?
            Upaya menggantikan hukum kolonial Belanda, dilakukan tim perancang RKUHP dengan memasukkan nilai-nilai ke-Indonesia-an di dalamnya, disampaikan oleh Prof. Harkristuti Harkrisnowo, Tenaga Ahli Pemerintahan/Tim RUU KUHP. Memang benar bila satu kitab Undang-Undang pasti tidak bisa memuaskan 265 juta rakyat Indonesia. Sama seperti yang diungkapkan oleh Menteri Hukum dan HAM bahwa lebih mudah membuat KUHP di negara Belanda dengan kultur masyarakat yang homogen. Dengan kultur yang heterogen, pastinya sangat sulit untuk membuat KUHP di negara ini apalagi harus diterima oleh 265 juta manusia, that’s Impossible mind. Penundaan pengesahan RKUHP menjadi kabar baik bagi semua orang untuk menyuarakan penolakannya atas pasal-pasal yang dinilai telah merenggut hak konstitusionalnya. Berikut penulis jabarkan beberapa pasal yang menurut penulis patut menjadi perbincangan serius.

Pembungkaman Kebebasan Berekspresi dan Berpendapat Atas Pemerintah
Mulai dari Pasal 217 hingga Pasal 220 mengenai penyerangan dan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden, Pasal 240 dan Pasal 241 mengenai penghinaan terhadap pemerintah, Pasal 246 dan Pasal 247 mengenai penghasutan untuk melawan penguasa umum, serta Pasal 353 dan Pasal 354 mengenai penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara, menuai banyak kontroversi di berbagai kalangan masyarakat. Dalam penjelasan pasal, terutama Pasal 218 menjelaskan bahwa menyerang kehormatan atau harkat dan martabat pada dasarnya merupakan penghinaan dengan menyerang nama baik atau harga diri Presiden atau Wakil Presiden di muka umum termasuk menista dengan surat, memfitnah, dan menghina dengan tujuan memfitnah. Dijelaskan lebih lanjut bahwa ketentuan ini tidak dimaksudkan untuk meniadakan atau mengurangi kebebasan mengajukan kritik ataupun pendapat yang berbeda atas kebijakan pemerintah. Penjelasan Pasal 246, yang dimaksud dengan menghasut adalah mendorong, mengajak, membangkitkan atau membakar semangat orang supaya berbuat sesuatu. Menghasut dapat dilakukan dengan lisan atau tulisan, dan harus dilakukan di muka umum, artinya di tempat yang didatangi publik atau ditempat yang khalayak ramai dapat mendengar. Dalam Pasal 247, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan menyiarkan termasuk perbuatan mentransmisikan, mendistribusikan dan membuat dapat diaksesnya informasi dan dokumen elektronik dalam sistem elektronik.
Pasal ini dianggap layak diperjuangkan eksistensinya, menurut Prof. Harkristuti Harkrisnowo. Sudah sewajarnya jika Presiden disebut lebih dari seorang individu yang kemudian mendapatkan perlindungan khusus, tidak lain karena seorang Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh 100 juta orang dan memimpin 265 juta rakyatnya. Dikemukakan oleh Menkumham, Pasal penghinaan Presiden sejatinya merupakan cerminan bangsa Indonesia yang beradab. Selain itu Pasal ini hadir untuk menjaga kehormatan Presiden di tahun-tahun mendatang.
Seyogyanya untuk menuju pada perbaikan, para pembentuk UU perlu mempertimbangkan praktik di lapangan, bahwa diskresi penyidik di tingkat bawah kerap kali mengalami kecenderungan yang subyektif. Dikemukakan oleh Usman Hamid, Direktur Amnesty International Indonesia, jika melihat pasal penghinaan presiden, redaksi rumusan pasalnya sama persis dengan rumusan pasal perlindungan terhadap ratu Belanda. Dahulu, pasal ini digunakan untuk melindungi kekuasaan kolonial dan mengontrol masyarakat jajahannya. Beberapa ahli dan aktivis menyampaikan kejanggalannya seputar ketidakjelasan batasan dan tolak ukur atas pasal-pasal tersebut. Seperti halnya yang disebutkan oleh Budiman Tanuredjo, wartawan senior harian kompas, sekarang terdapat kecenderungan kriminalitas yang dikontrol untuk melakukan moderasi atau persekusi secara politik. Tentunya akan menjadi masalah besar ketika tafsir pasal makar dan penghinaan terhadap presiden kemudian dimanfaatkan untuk mengontrol politik.
Di samping itu, sebelumnya pasal-pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden ini sudah dibumihanguskan oleh Mahkamah Konstitusi dengan maksud untuk memproteksi DPR dalam menggunakan hak imunitasnya mengontrol kekuasaan Presiden dan Wakil Presiden. Singkatnya menurut MK, Pasal Penghinaan Presiden ini akan menghambat kerja DPR dalam impeachment atau pemakzulan terhadap Presiden, hal ini dinyatakan oleh Irmanputra Siddin, Pakar Hukum Tata Negara. Penulis menilai jika Pasal ini disahkan dengan tanpa membuat definisi dan batasan yang jelas, maka pupuslah harapan masyarakat Indonesia. Parlemen yang diharapkan hadir untuk mengontrol kekuasaan, justru berselingkuh dengan kekuasaan tersebut. Kekuasaan itu tidak akan pernah setia dengan yang dianggapnya teman. Kekuasaan hanya setia dengan cinta sejatinya, kapitalis. Pada akhirnya, solusi yang perlu ditempuh adalah bukan dengan meniadakan pasal ini, karena penulis turut sepakat untuk menghormati kedudukan Pemimpin dari 265 juta rakyat, namun perlu adanya kejelasan pendefinisian dan batasan rumusan dalam pasal-pasal Penghinaan Presiden dan Pasal yang sejenis.

Pasal Penodaan Agama Mengintervensi Ilmu Pengetahuan
            Terhitung dari Pasal 304, 305, 306, hingga Pasal 308, menjelaskan mengenai Tindak Pidana Terhadap Agama dan Terhadap Kehidupan Beragama dan Sarana Ibadah. Dalam penjelasan pasal, Pasal 304 menjelaskan bahwa penghinaan adalah merendahkan kesucian agama, karena dinilai tidak menghormati dan menyinggung perasaan umat yang menganut agama. Misalnya, menghina ke-Agung-an Tuhan, Firman, sifat-sifat-Nya, atau menghina Nabi/Rasul, yang akan menimbulkan keresahan dalam kelompok umat yang bersangkutan. Dalam penjelasan Pasal 308, perbuatan mengejek atau mengolok-olok umat yang sedang menjalankan atau memimpin ibadah atau petugas ibadah yang melakukan tugasnya.
            Pasal-pasal ini dianggap multi tafsir dan lebih khusus dinilai mengintervensi ilmu pengetahuan. Cania Citta Irlanie, Pemimpin Redaksi Geolive menyatakan bahwa Jika disandingkan dengan Tindak Pidana Terhadap Ideologi Negara, mengenai Penyebaran Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme, Pasal 188 ayat (6) bahwa tidak dipidana orang yang melakukan kajian terhadap ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme untuk kepentingan ilmu pengetahuan, maka Pasal penodaan ini dapat dikatakan mengintervensi ilmu pengetahuan. Pasal ini tergolong pasal karet yang dapat digunakan sesukanya. Mengambil contoh, Ustadz Abdul Somad dituduh melakukan penghinaan agama atas perbuatannya menjelaskan akidah agama Islam di tengah komunitas umat Islam, dalam rumah ibadah agama Islam, bukan melalui stasiun televisi atau media sosial serta tidak terbuka untuk umum, yang beberapa waktu lalu menjadi isu kontroversial. Dalam kasus lain, Arswendo Atmowiloto pada tahun 1990. Saat itu Arswendo membuat polling di Tabloid Monitor, “Siapa tokoh idola menurut para pembacanya?” menurut hasil polling yang dirilis tabloid, nama Presiden Soeharto berada di urutan pertama, disusul nama Presiden BJ Habibie, kemudian nama Presiden Soekarno, lalu musisi Iwan Fals. Nama Arswendo termasuk dalam urutan ke-10, dan Nabi Muhammad SAW berada pada urutan ke-11. Atas perbuatan ini, Arswendo diputuskan bersalah dan dihukum bui selama 5 tahun.
            Tentu karena adanya pasal elastis seperti ini, mengakibatkan penegak hukum cenderung leluasa dalam menafsirkan dan memaknainya. Tidak hanya Pasal Penghinaan Presiden dan Wakil Presiden, tetapi juga Pasal Tindak Pidana Terhadap Agama perlu diperjelas dan dibatasi dalam perumusan pasalnya. Sehingga, Pasal ini seharusnya bertujuan untuk melahirkan toleransi bukan meningkatkan permusuhan. Sedikit-sedikit suatu kelompok merasa tersinggung, merasa direndahkan, dihina, diolok-olok, bahasanya “mumpung ada hukuman, laporin yuk biar kapok”. Padahal masyarakat kita pada prinsipnya sudah memahami dasar-dasar hidup toleransi antarsesama. Tidak perlu dikompori dengan hukuman-hukuman dan ancaman-ancaman. Jika dinilai perlu ada, maka cukup dibuatkan batasan-batasannya.

 Gelandangan Semakin Termarginalkan oleh Negara
            Dalam RKUHP Pasal 431 mengenai Penggelandangan, bahwa setiap orang yang bergelandangan di jalan atau di tempat umum yang mengganggu ketertiban umum dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori I (1 Juta). Menanggapinya, Menteri Hukum dan HAM mengatakan bahwa ada pidana alternative lain selain denda, yaitu pengawasan atau kerja sosial atau dikenakan tindakan seperti kewajiban mengikuti pelatihan kerja. Beberapa ahli memberikan tanggapannya, bahwa dalam Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara negara. Dalam konteks menggelandang, seharusnya pemerintah mengambil langkah non-represif dan sejalan dengan perlindungan dan pemeliharaan yang termuat dalam Pasal 34 di atas. Kemudian upaya untuk mengurangi gelandangan merupakan ranah kekuasaan lembaga eksekutif dalam bidang perlindungan sosial dan melalui program penanggulangan kemiskinan.
            Lebih lanjut Haris Azhar, Aktivis HAM dan juga Direktur Eksekutif Lokataru, mengungkapkan kekecewaannya pada pemerintah yang tidak menitikberatkan social science dalam penyusunan legislasi. Haris menekankan bahwa dalam penyusunan UU, tidak bisa hanya dengan menggunakan metodologi sesuai dengan UU No.12 Tahun 2011, tidak bisa hanya dengan menyerap aspirasi masyarakat dengan datang ke kampus-kampus, karena pada faktanya bukan akademisi yang dipidana, bukan mahasiswa, bukan ahli hukum, bukan dosen, bukan aktivis atau pegiat dan yang lainnya, tetapi gembel. Gembel tidak dapat ditemui di universitas, gembel tidak menikmati tontonan Indonesia Lawyers Club, gembel tidak tahu-menahu pernyataan dan perdebatan para Menteri, DPR dan para ahli ini. Jika pada awalnya disampaikan bahwa RKUHP ini adalah perjuangan anak bangsa untuk menggantikan hukum barat, maka hal ini bertentangan dengan keberadaan Pasal Gelandangan. Karena perlu diketahui bahwa tradisi menghukum gembel adalah tradisi hukum negara-negara barat. Tradisi negara barat adalah memberikan denda atas gembel, karena nilai estetik lebih dipentingkan daripada nilai etik.
Penulis menilai bahwa KUHP bukan hanya sekedar teks yang dibahas, ditetapkan dan disahkan, tetapi KUHP merupakan cerminan praktik kehidupan yang sudah, sedang dan akan berlaku dalam masyarakat. Maka dari itu, penulis sepakat untuk meniadakan dan menghapus Pasal 431 ini. Jika pemerintah ingin membumihanguskan kitab berbau kolonial dari Tanah Air, maka segala bentuk nilai kolonial yang termuat dalam rumusan pasal seharusnya juga dibumihanguskan, termasuk Pasal Gelandangan ini.

Pengguguran Kandungan (Aborsi) Korban Perkosaan dan/atau Alasan Medis
            Pasal 469-471 RKUHP mengenai Pengguguran Kandungan dikecualikan bagi korban perkosaan. Hal ini disampaikan oleh Prof. Yasonna Laoly bahwa terhadap pelaksanaan pasal ini, asas Lex Specialis Derogat Legi Generali yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus mengesampingkan hukum yang bersifat umum, dapat diberlakukan atas Undang-Undang No.36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Pasal 75 ayat (2), yang menyatakan bahwa dapat dikecualikan berdasarkan: a. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau b. kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan. Penulis sepakat bahwa tidak ada yang perlu dipermasalahkan dengan eksistensi pasal ini.

Pemberantasan Korupsi Perlahan Diperlemah  
            Dalam Undang-Undang No.31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 2 menyatakan bahwa, setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekenomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit dua ratus juta (200 Juta) dan paling banyak satu miliar (1 M). Sedangkan dengan rumusan pasal yang sama, Pasal 603 RKUHP, menyatakan dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit kategori II (10 Juta) dan paling banyak kategori VI (2 M). 
            Semua bentuk perbuatan korupsi yang dijabarkan dalam RKUHP adalah yang sebelumnya sudah tercantum dalam UU Tipikor. Andreas Marbun, Peneliti MAPPI FH UI mengatakan bahwa jika ingin lebih baik dalam pemberantasan korupsi, seharusnya tim perumus RKUHP berkolaborasi dengan United Nations Convention Against Corruption (UNCAC). Terdapat banyak jenis perbuatan korupsi yang belum diatur di Indonesia. Padahal sebelumnya pada bulan Mei, dalam draf RUU KUHP telah mengatur tindak pidana baru yang diadopsi dari UNCAC. Namun di bulan Juni draf itupun berubah. Mengapa bisa terjadi, biarlah para Bapak Ibu DPR yang memberikan jawaban. Artinya, berlakunya RKUHP tidak akan berdampak lebih baik atau bahkan bisa lebih buruk. Jika hal-hal yang diatur justru meringankan koruptor, maka dapat menjadi bukti bahwa ada upaya sistematis untuk membuat orang-orang yang sedang terjerat dan akan terjerat korupsi menjadi lebih leluasa dan melakukan perlawanan terhadap agenda penuntasan korupsi, hal ini dikemukakan oleh Tama S Langkun, Peneliti Indonesia Corruption Watch.
Pada kesimpulannya, dalam RKUHP memang tidak hanya terdapat pasal yang melemahkan agenda pemberantasan korupsi, tetapi juga terdapat pasal yang memperkuat yakni dengan memperberat hukuman. Namun jika mengulas ke belakang dengan menjumlahkan upaya yang dianggap sistematis dari pengesahan UU KPK yang pada beberapa poin penting dinilai melemahkan, kemudian dengan RKUHP ini, maka tidak salah jika penulis beranggapan bahwa KPK sengaja dilemahkan dari sisi organisasinya terlebih dahulu kemudian dari sisi hukum materil dan formilnya.
            Selain pasal-pasal di atas, sebenarnya terdapat pasal lain yang juga hangat dipersoalkan beberapa orang, seperti mengenai Perzinahan dalam Pasal 417 dan 418 RKUHP. Dalam perumusan pasal ini, Arsul Sani (Anggota Komisi III RI F-PPP) menyatakan bahwa terdapat dua kelompok yang memperdebatkannya. Ada yang menyatakan bahwa perbuatan ini wajib diatur untuk menjaga moralitas bangsa, ada yang mengatakan sebaliknya untuk tidak terlalu jauh mengatur hingga ranah privat, dan ada juga yang mengusulkan boleh diatur tetapi substansinya dimasukkan dalam delik biasa. Untuk menengahinya, semua sepakat untuk diatur tetapi termasuk dalam delik aduan. Terkait subjek yang mengadukan juga dibatasi, yakni suami atau istri, orangtua atau anak, serta kepala desa juga dibolehkan mengadukan jika keluarganya tidak keberatan. Hal ini berangkat dari filosofi hukum pidana Indonesia, yang menegaskan bahwa bentuk kerugian terbagi atas dua, yaitu kerugian individu (individual damage) dan kerugian sosial/masyarakat/lingkungan (social damage).
Sebagai negara yang berideologi Pancasila dengan landasan agama dan kepercayaan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah dan keadilan, maka sudah sepatutnya negara ini mengatur adab manusia Indonesia, tidak terkecuali hubungan seksual di luar ikatan yang sah atau disebut perzinahan, serta hidup bersama tanpa adanya ikatan perkawinan. Bagaimana tidak? fenomena moral anak bangsa saat ini sudah jauh dari karakter masyarakat Indonesia yang seharusnya. Pelajar dan anak usia SD, SMP, SMA, serta mahasiswa atau pemuda yang bebas melakukan hubungan seksual, yang videonya diedarkan melalui media sosial, kemudian diketahui oleh masyarakat di sekitarnya, bahkan sudah tidak peduli saat keluarganya menanggung malu. Pertanyaannya, mereka yang mempermasalahkan pasal ini apakah mau generasi bangsa ini rusak dengan kebebasan sebebas-bebasnya?
Kemudian tentang “pembiaran unggas” dalam Pasal 278 RKUHP yang menyatakan, setiap orang yang membiarkan unggas yang diternaknya berjalan di kebun atau tanah yang telah ditaburi benih atau tanaman milik orang lain, dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori II (10 Juta). Mengutip pernyataan dari Prof. Harkristuti Harkrisnowo, pada prinsipnya hukum pidana dipergunakan sebagai alat terakhir apabila sarana lain tidak mampu untuk menyelesaikannya. Tidak semua orang yang masuk pengadilan harus dihukum, hakim bisa memberikan bentuk hukuman lain seperti judicial pardon atau permohonan maaf. Karena pasal ini sangat erat kaitannya dengan masyarakat pedesaan bukan perkotaan, maka penulis mengingatkan kembali bahwa saat ini dan semoga selamanya, hukum tidak tertulis dalam masyarakat (unwritten law) lebih membudaya dan dipercaya dibandingkan dengan hukum nasional yang berlaku. Artinya, dapat dikatakan bahwa pasal ini hanya akan menjadi pasal “basa-basi”.

Kesimpulan dan Saran
            Dari lima isu yang penulis sampaikan di atas, dapat disimpulkan bahwa:
1.     Terdapat setidaknya tiga isu dari lima isu di atas yang dinilai dan dianggap dapat mengebiri hak asasi manusia Indonesia, diantaranya; Pertama, Pasal 217 hingga Pasal 220 mengenai penyerangan dan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden, Pasal 240 dan Pasal 241 mengenai penghinaan terhadap pemerintah, Pasal 246 dan Pasal 247 mengenai penghasutan untuk melawan penguasa umum, serta Pasal 353 dan Pasal 354 mengenai penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara. Kedua, Pasal 304, 305, 306, dan 308, mengenai Tindak Pidana Terhadap Agama dan Terhadap Kehidupan Beragama dan Sarana Ibadah. Ketiga, Pasal 431 mengenai Penggelandangan, yang seharusnya diupayakan untuk hidup sejahtera. Pasal-pasal ini sebaiknya dirumuskan dan dibatasi secara jelas sehingga tidak menimbulkan multitafsir berlebihan. Khususnya Pasal mengenai gelandangan, sebaiknya dihapuskan.

2.      Penundaan pengesahan RKUHP ini membuka ruang dan kesempatan bagi siapapun untuk menyampaikan aspirasinya atau menyampaikan penolakannya terhadap rumusan pasal yang dapat merugikan dirinya dan orang-orang di sekitarnya.


[1] Mahasiswi Magister Hukum Kenegaraan, Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan Staf Bina Wilayah Jakarta, Banten, Jawa Barat MITI-KM (Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia Klaster Mahasiswa)

1 komentar:

SYARAH PANCASILA : TAARUF DENGAN NEGARA MELALUI AGAMA

Pendahuluan Sebagai suatu kesatuan kehidupan masyarakat, bangsa memiliki cita-cita hidup yang disebut sebagai ideologi. Ideologi menj...