Ubaiyana[1]
Pendahuluan
Secara
sosiologis, pro dan kontra yang terjadi menunjukkan perlu adanya evaluasi dan
kajian yang mendalam. Teori politik hukum mengatakan bahwa lahirnya suatu produk
Undang-Undang sangat kental diwarnai oleh kepentingan politik yang berkuasa
pada saat itu. Jika dikaitkan dengan pengesahan revisi Undang-Undang KPK,
terdapat dua sisi tanggapan wajar yang penting menjadi perhatian, bahwa di satu
sisi wajar jika KPK beserta masyarakat menaruh curiga bahkan curiga yang
berlebihan, dan di sisi lain juga wajar bagi anggota legislatif dengan kuasanya
bertindak kilat menggelindingkan revisi atas UU KPK untuk menampilkan suatu
maha karya di akhir masa jabatannya. Untuk memahami maksud dibalik pengesahan
kilat revisi UU KPK ini, penulis akan menyajikan beberapa pendapat para ahli
yang dianggap berwenang untuk memberikan pendapatnya, terlepas dari dugaan
maksud revisi UU KPK ini justru memperkuat atau malah memperlemah.
Fakta Dibalik Revisi Kilat
Undang-Undang KPK
Pertama,
ketidaktepatan dalam pemilihan dan penggunaan waktu yang terkesan
“terburu-buru”. Revisi UU No.30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi dalam waktu 13 hari sejak tanggal 5 September, akhirnya disahkan
pada tanggal 17 September 2019. Setelah disetujui oleh 10 fraksi di DPR RI,
revisi UU KPK distatuskan menjadi RUU inisiatif DPR. Tidak seperti DPR yang
biasanya, surat sekaligus draf RUU KPK segera dikirimkan kepada presiden. Sama
halnya dengan DPR, pada tanggal 11 September Presiden dengan sigap menerbitkan
surat presiden untuk memulai pembahasan RUU KPK. Padahal sesuai dengan UU No.12
Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Pasal 49 ayat (2),
Presiden memiliki waktu paling lama 60 hari untuk mempertimbangkan hingga
kemudian mengutus Menteri. Salah satunya dengan mempertimbangkan aspirasi
masyarakat yang bergejolak. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly
dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Syafruddin, kemudian
diutus oleh presiden untuk menyampaikan sikap dan pandangan mengenai substansi
RUU KPK. Dengan tanpa keraguan serta bersikap acuh atas respon masyarakat yang
agresif menolak pengesahan beberapa pasal kontroversial, tepat pada tanggal 17
September RUU KPK disahkan. Bayangkan, dalam jangka waktu 7 hari sejak
diterbitkannya surat presiden, DPR dengan segera mengesahkan RUU KPK, yang
seharusnya sesuai dengan UU No.12 Tahun 2011 Pasal 50 ayat (3), DPR memiliki
waktu paling lama 60 hari untuk membahas dan mempelajari kembali RUU KPK.
Prof.
Mahfud MD pakar hukum tata negara yang juga mantan Ketua Mahkamah Konstitusi,
berpendapat bahwa dimensi waktu dinilainya tidak tepat. Untuk membahas suatu
Undang-Undang membutuhkan waktu yang lama. Presiden masih harus membuat tim
untuk menganalisis dan membuat daftar inventarisasi masalah. Tidak hanya itu,
sidang di DPR juga tidak hanya satu, ada sidang Bamus, sidang Paripurna, dan
seterusnya. Secara logis, amat sangat tidak mungkin untuk menghasilkan
peraturan perundang-undangan yang baik.
Zainal
Arifin Mochtar sebagai seorang pakar hukum tata negara turut menyoroti perihal
kerja kilat para penguasa legislatif ini. Sudah jelas tertera dalam
Undang-Undang No.12 Tahun 2011 Pasal 16, bahwa perencanaan penyusunan
Undang-Undang dilakukan dalam Prolegnas. Dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 23
ayat (2), bahwa dalam keadaan tertentu, DPR atau Presiden dapat mengajukan
Rancangan Undang-Undang di luar Prolegnas mencakup: (a) untuk mengatasi keadaan
luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam; dan (b) keadaan tertentu
lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu Rancangan
Undang-Undang yang dapat disetujui bersama oleh alat kelengkapan DPR yang
khusus menangani bidang legislasi dan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
di bidang hukum. Lalu timbul pertanyaan, jika sudah jelas tidak masuk dalam Prolegnas,
maka apa alasan yang mendasari DPR dan Presiden untuk mengajukan RUU KPK
sebagai RUU inisiatif?
Revisi
UU KPK diajukan karena keresahan atas tata manajemen KPK yang dinyatakan sedang
bermasalah dan berantakan, hal ini diungkapkan oleh anggota komisi hukum DPR Fraksi
PDIP. Arteria Dahlan juga menyatakan bahwa dalam periode 2015-2019 telah
terjadi penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh KPK. Tidak hanya itu,
perlu adanya mekanisme kontrol terhadap lembaga anti rasuah ini. Tidak lain
karena negara ini adalah negara hukum yang mau tidak mau segala tindakan diatur
oleh hukum. Pada tahun 2017-2018, laporan audit investigasi BPK membuktikan
bahwa kewenangan luar biasa yang diberikan kepada KPK, dalam implementasinya berlaku
sebaliknya (biasa saja), sebut Prof. Romli Atmasasmita seorang Pakar Hukum
Pidana. Pertanyaan selanjutnya, apakah pendapat yang dikemukakan di atas
bermakna sebagai suatu keadaan luar biasa atau urgensi nasional yang dalam hal
ini buram tafsiran? Apa salahnya jika pengesahan ini ditunda untuk membahas
kembali beberapa pasal yang dinilai kontroversial? Jangan suuzon, bisa saja memang niat DPR dan Pemerintah baik namun
pemahaman KPK dan masyarakat belum sejalan.
Maka
dari itu, mengutip pernyataan dari Taufiequrachman Ruki (ketua KPK periode
2003-2007), KPK, Perwakilan Masyarakat, DPR dan Pemerintah perlu duduk dan membahas
bersama-sama RUU KPK ini. Jika memang ada urgensi nasional yang mendesak perlu
disegerakannya pengesahan RUU KPK, maka jelaskan apa alasan yang mendesak
tersebut. Ditambahkan oleh Thony Saut Situmorang (Pimpinan KPK Periode
2015-2019), tidak perlu tergesa-gesa, baiknya revisi lebih dulu dilakukan atas
UU Tindak Pidana Korupsi, UU Perampasan Aset, KUHP dan KUHAP, serta mulai
membahas kembali RUU KPK.
Penulis perlu menegaskan dengan mengutip
pernyataan dari Prof. Romli Atmasasmita, produk perundang-undangan perlu
mengalami perubahan untuk mengikuti zaman. Sehingga dalam hal ini tidak ada
satu pun ahli yang menentang dilaksanakannya revisi UU KPK. Namun yang menjadi
perdebatan adalah sikap terburu-buru DPR dan Presiden dengan tidak mengindahkan
aspirasi masyarakat dari berbagai lapisan serta ketidakterbukaan DPR terkait
dengan alasan menggelari RUU KPK sebagai RUU inisiatif. Mengenakan pertanyaan
yang serupa dengan seorang pakar hukum tata negara Prof. Mahfud MD, Kenapa tidak
ditunda saja? bernegara artinya berhukum, berhukum artinya bersabar. Benang merahnya
adalah perbaiki komunikasi dan sebaiknya pengesahan RUU KPK ini ditunda.
Kedua, pasal-pasal yang termuat dalam RUU KPK,
dinilai mengandung dua maksud yakni antara pelemahan/penguatan. Perdebatan maksud
tidak lain karena tidak ada komunikasi yang jernih antara KPK dan DPR. Agus Rahardjo
yang merupakan Pimpinan KPK periode 2015-2019 mengemukakan bahwa hingga tanggal
13 September, sama sekali tidak mengetahui draf RUU KPK yang sesungguhnya. Berbeda
halnya dengan Presiden yang mengungkapkan bahwa sebelum memutuskan revisi
terbatas UU KPK, pihaknya telah mempelajari dan mendengarkan masukan dari masyarakat
yang meliputi pegiat anti korupsi, akademisi, mahasiswa dan tokoh bangsa. Jika melihat
kondisi yang terjadi, dan meminjam pernyataan Prof. Mahfud MD, bahwa rakyat
gelisah. Lalu, pertanyaannya masyarakat yang mana yang dimintai masukan? Pegiat
anti korupsi yang mana? Akademisi dan mahasiswa yang mana?
Di
sini penulis hanya akan menyinggung beberapa pasal yang menurut hemat penulis
mengandung polemik dan perlu didudukkan serta dikaji secara mendalam. Mari kita
bahas satu per satu.
Pasal
1 angka 3: KPK adalah lembaga Pemerintah Pusat yang melaksanakan tugas
pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Wiranto, Menteri Koordinator
Politik, Hukum dan Keamanan menyatakan, bahwa lembaga KPK termasuk dalam ranah
kekuasaan lembaga eksekutif atau lembaga pemerintah. Sejatinya, hal ini sudah
sesuai dengan keputusan MK No.36 POO-XV/2017 yang bersifat final dan mengikat. Sehingga
Pasal 1 ini tidak lahir dengan tanpa alasan. Menyoroti hal yang sama, Prof.
Mahfud MD mantan Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat sebaliknya bahwa dalam
UU, KPK bukan mandataris Presiden. Dalam melaksanakan tugas dan kewenangan berada
di lingkungan eksekutif tetapi bukan bawahan pemerintah. Sehingga tidak bisa
diintervensi oleh pemerintah. menurut penulis, poin ini penting ditelusuri
lebih dalam karena berdampak pada status independen yang disematkan pada KPK.
Pasal
12B ayat (1): Penyadapan dilaksanakan atas izin tertulis dari Dewan Pengawas.
(2): Pimpinan KPK meminta izin tertulis kepada
Dewan Pengawas untuk melakukan penyadapan.
(3): Dewan Pengawas dapat memberikan izin
tertulis atau tidak paling lama 1x24 jam sejak permintaan izin diajukan.
(4): Setelah mendapatkan izin, penyadapan
dilakukan paling lama 3 bulan sejak izin diterima dan dapat diperpanjang 1 kali
untuk jangka waktu yang sama.
Febri Diansyah (Juru bicara KPK)
mengungkapkan fakta bantahan terkait batasan waktu penyadapan paling lama 3
bulan. Bagaimana bisa para pembuat kebijakan merumuskan suatu hal yang mereka
sendiri tidak pernah menjalaninya. Perlu diketahui bahwa sebuah kasus tindak
pidana korupsi bisa saja dalam pengusutannya berada di luar kewenangan tim
penyidikan KPK, sehingga membutuhkan waktu lebih banyak dari yang ditetapkan.
Pasal
37A ayat (1): Dalam rangka mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang KPK
dibentuk Dewan Pengawas.
(2): Dewan Pengawas merupakan lembaga
nonstruktural yang dalam tugas dan wewenangnya bersifat mandiri.
Pasal
37B ayat (1): Dewan Pengawas bertugas mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang
KPK, memberi izin atau tidak penyadapan, penggeledahan dan/atau penyitaan,
menyusun dan menetapkan kode etik pimpinan dan pegawai KPK, menyelenggarakan
sidang atas dugaan pelanggaran kode etik pimpinan dan pegawai KPK, dan lainnya.
Pasal
37E ayat (1): Ketua dan Anggota Dewan Pengawas dipilih oleh DPR berdasarkan
calon Anggota yang diusulkan oleh Presiden.
Prof.
Romli Atmasasmita berargumen bahwa hadirnya Dewan Pengawas sebagai akibat dari kewenangan
dalam pengawasan yang diberikan kepada publik nyatanya tidak berjalan efektif.
Buktinya, banyak pra peradilan KPK yang kalah bahkan mengalami kekeliruan. Pada
hakikatnya, keberadaan dewan pengawas dimaksudkan untuk mengkritik, mengawasi
dan mencegah tindakan sewenang-wenang, sehingga kemudian menjadi bahan untuk
perbaikan. Tidak ada yang perlu dipermasalahkan mengenai eksistensi dewan
pengawas, yang perlu dipersoalkan adalah siapa yang akan menjadi dewan
pengawas. Sehingga hal ini akan dibahas lebih lanjut.
Disampaikan
oleh Arteria dahlan, saat ini KPK hanya memiliki lembaga pengawas internal yang
hanya berani bertindak kepada pegawai tidak tetap dan pegawai yang bekerja
kurang dari 4 tahun. Kepada komisioner, direktur, serta tetua-tetua KPK, mereka
takut dan tunduk. Jika ditelusuri, Dewan Pengawas hadir sebagai kado yang
selama ini diidam-idamkan oleh KPK. Dalam kasusnya, internal KPK tumpul
sehingga DPR kesulitan untuk melakukan pengawasan. Di samping itu, rekomendasi
BPK tidak pernah dikerjakan bahkan saat ini BPK sedang dijadikan target
berikutnya oleh KPK. Dengan kewenangan bagai malaikat yang dianggap tidak akan
berbuat dosa, KPK mulai hangat diperbincangkan terkait dengan terjadinya
kecelakaan-kecelakaan yang menurut Saut Situmorang adalah kecelakaan kecil dan residu-residu
yang mengendap, yang kemudian hadir merongrong legitimasi KPK seperti yang
disampaikan oleh Johnson Panjaitan seorang praktisi hukum. Johnson juga
menambahkan bahwa BPK dalam laporan auditnya mengungkapkan bahwa dibanding KPK,
Polisi dan Jaksa lebih banyak mengembalikan kerugian negara. Khawatirnya, ternyata
tidak hanya pemerintah dan KPK, tetapi juga LSM dan aliansi mahasiswa
bersama-sama mengetahui dan menutupi fakta tersebut.
Karena
negara ini menganut sistem presidensial, maka semua lembaga negara harus tunduk
pada hukum, tanpa terkecuali KPK. Sudah cukup KPK dipandang sebagai public hero. Bisa saja Presiden membuat
Perppu untuk membubarkan KPK dan meminta persetujuan DPR, jika memang KPK
dinilai sudah terlalu jauh menyimpang. Rakyat harus tahu bahwa sistem ini sudah
bernanah dari dalam, tidak ada satu pun lembaga yang dipercaya. DPR tidak
dipercaya, karena ketua DPR masuk sukamiskin, ketua DPD ditangkap 100 juta
kemudian masuk sukamiskin, ketua MK pun mengalami hal serupa, ketua MA
digeledah kantornya, pungkas Fahri Hamzah (Wakil Ketua DPR RI).
Di
sini penulis justru mempertanyakan, jika terdapat penyimpangan dalam internal
KPK, seperti yang disampaikan oleh Arteria Dahlan, yang kemudian
penyimpangan-penyimpangan tersebut dirangkum dalam sebuah buku laporan audit
BPK, mengapa DPR, pemerintah, dan BPK tidak membiarkan masyarakat tahu tentang
penyimpangan yang dimaksud? Kemukakanlah secara gamblang agar masyarakat tahu
seberapa besar penyimpangan yang dilakukan oleh KPK, sehingga lagi-lagi dalam
hal ini sikap keterbukaan menjadi sangat penting untuk dilakukan DPR dan
Pemerintah.
Berbeda
dengan pendapat para ahli di atas, pakar hukum tata negara Zainal Arifin
Mochtar berteori mengenai eksistensi dewan pengawas. Di dunia ini, tidak ada
satu pun lembaga independen yang di dalamnya menghadirkan Dewan Pengawas, atau
dengan kata lain lembaga independen tidak meletakkan tugas pengawasan pada
Dewan Pengawas. Jika ingin melakukan pengawasan terhadap lembaga independen,
maka bangunlah suatu sistem pengawasan. Perlu dipahami bahwa pada hakikatnya,
lembaga independen bebas dari campur tangan kekuasaan mana pun khususnya
pemerintah, yang justru menjadi sasaran potensial. Inilah kegunaan teori,
semata-mata agar dalam praktik tidak jauh menyimpang. Juru bicara KPK Febri
Diansyah menambahkan, apalagi diterangkan bahwa Dewan Pengawas akan dipilih
oleh DPR atas usulan Presiden, yang menandakan bahwa akan terjadi proses
tarik-menarik kepentingan dan dampak politik berkepanjangan. Pertanyaan berikut
yang muncul adalah siapa yang akan melakukan pengawasan terhadap Dewan Pengawas
KPK, begitu pun setelahnya, siapa? Akankah logika Dewan Pengawas ini berujung?
Dari sekitar 70 Pasal yang dituangkan
dalam draf Rancangan Undang-Undang Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, penulis hanya menemukan lima pasal (Pasal 1, Pasal 12B, Pasal 37A,
Pasal 37B dan Pasal 37E) yang dinilai cukup rentan menjadi persoalan.
Selebihnya, penulis berpendapat setuju dan sepakat terutama dengan strategi
yang dicanangkan bagi KPK melalui Pasal 7 yang menerangkan, bahwa KPK perlu
mengutamakan penyelenggaraan upaya pencegahan tindak pidana korupsi secara
masif kepada seluruh lapisan masyarakat, tidak terkecuali pejabat negara.
Sedangkan
ketentuan dalam Pasal 11 ayat (1) yang menjelaskan kewenangan KPK untuk
melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana
korupsi yang menyangkut kerugian negara paling sedikit 1 M (satu milyar rupiah),
juga mendapat banyak pertentangan. Untuk menanggapinya, penulis menyatakan
sepakat dengan Prof. Romli yang beralasan bahwa oleh karena KPK adalah lembaga
yang diberikan kewenangan luar biasa oleh pemerintah, maka sudah sewajarnya
jika tugas dan kewenangan yang diembannya juga harus luar biasa. Mari bangun
kepercayaan yang serupa dengan KPK terhadap Kepolisian dan Kejaksaan untuk
menangani kerugian negara di bawah angka 1 M. Singkatnya, pembatasan kewenangan
memang perlu dilakukan agar KPK dapat melaksanakan tugas dan kewenangannya yang
luar biasa untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi secara efektif.
Toh, sebagaimana tercantum dalam Pasal 10A, KPK dapat mengambil alih penyidikan
yang sedang dilakukan oleh Kepolisian atau Kejaksaan dengan alasan yang sesuai
dengan ketentuan yang berlaku.
Kesimpulan dan Saran
Pada
kesimpulannya, penulis menemukan dua fakta penting dibalik revisi kilat UU
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ini. Pertama, perihal waktu yang
terburu-buru. Mengutip hadits yang diriwayatkan oleh Abu Ya’la dalam musnadnya
dan Baihaqi dalam Sunanul Qubro, “…..wal
‘ujlatu minasy syaithon” artinya ….dan sifat tergesa-gesa itu berasal dari
setan. Pemilihan waktu yang baik dan yang diperlukan untuk membahas sesuatu
khususnya peraturan, ternyata memiliki dampak yang meluas.
Kedua,
perihal perubahan dan penambahan pasal-pasal dengan tanpa melalui diskusi dan
dengar pendapat dari seluruh lapisan masyarakat yang terkait secara langsung
atau tidak, terlepas dari masyarakat yang turun ke jalan memahami secara lengkap
atau tidak RUU KPK yang diusulkan. Tentu tindakan pengabaian aspirasi
masyarakat ini bertentangan dengan ketentuan yang mengatur, yaitu dalam Pasal 5
UU No.12 Tahun 2011, bahwa dalam membentuk peraturan perundang-undangan harus
dilakukan berdasarkan asas pembentukan peraturan perundang-undangan, salah
satunya adalah kejelasan tujuan dan keterbukaan.
Pada
akhirnya, jalan terbaik yang seharusnya ditempuh adalah duduk dan bahas bersama.
Jika dirunut satu per satu, tidak ada pihak yang menginginkan ketentuan yang dapat
memperlemah KPK, baik masyarakat, KPK, Presiden bahkan DPR mengidamkan ketentuan
yang dapat memperkuat KPK. Hanya strategi yang dituju oleh masing-masing dari
mereka, berbeda.
[1] Mahasiswa Magister Hukum
Kenegaraan, Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan Penerima
Beasiswa (Awardee) Lembaga Pengelola Dana Pendidikan Republik Indonesia
Tulisan ini bagaikan lilin dalam ruang yg gelap. Tidak memihak pada satu pihak. Lanjutkan ubaiyana 😊
BalasHapusterima kasih banyak yaa atas masukannya..
Hapus