Selasa, 31 Desember 2019

HARUSKAH MENCARI PASANGAN YANG SEDERAJAT?


Ubaiyana[1]
Cinta saja sepertinya memang tak cukup untuk membina rumah tangga. Memang tidak hanya cinta, membina rumah tangga juga membutuhkan kerja keras, tanggung jawab, keberanian, keteguhan, dan kemampuan menyelesaikan masalah. Tetapi tahukah? Pada kenyataannya, membangun rumah tangga juga membutuhkan faktor lain seperti harta. Studi terbaru yang diterbitkan oleh Journal of Family and Marriage menemukan, tingkat perkawinan di Amerika Serikat terus menurun karena kaum laki-laki yang tidak menarik secara ekonomi (miskin). Menarik bukan?
Di Indonesia, tidak dapat dipungkiri stereotipe masyarakat juga menekankan pada kesepadanan (dalam Islam disebut dengan Al-Kafa’ah). Namun, kesepadanan yang dimaksud tidak hanya menurut harta, tetapi juga menurut keilmuan, nasab keluarga, agama, pekerjaan, serta hukum adat tertentu. Tolak ukur kesepadanan ini serupa dengan yang diatur dalam ajaran agama Islam. Tidak lain karena kultur budaya yang banyak dipengaruhi oleh agama. Menanggapi hal itu, pertanyaan yang kemudian muncul adalah, apakah kita harus mencari pasangan yang sederajat (sekufu)? Lalu, apakah sepadan merupakan syarat sah akad? Berikut ulasannya.
Kesepadanan (Al-Kafa’ah) dalam pernikahan akan dijelaskan menurut empat Mazhab, antara lain sebagai berikut :
§  Mazhab Hanafi, kesepadanan berarti persamaan laki-laki dan perempuan terkait hal-hal khusus, yaitu nasab, Islam, pekerjaan, status merdeka, pengamalan ajaran agama, dan harta.
ü  Laki-laki yang bernasab rendah dapat dikenali melalui asalnya bahwa dia bukan atau berasal dari suku wanita yang hendak dinikahi, seperti golongan ajam (bukan Arab) dan Arab. Bangsa Arab juga terbagi menjadi golongan Quraisy dan selain Quraisy. Jika suami berasal dari Quraisy dan istri pun dari Quraisy maka sah dari segi nasab, meskipun berlainan suku.
ü  Orang selain Arab yang berilmu dan miskin sepadan dengan orang Arab yang bodoh dan kaya atau terhormat yang nasabnya tinggi. Hal ini karena kemuliaan ilmu berada di atas nasab dan kekayaan materi.
ü  Dari segi harta, sebagian berpendapat bahwa harus ada kesamaan antara suami dan istri. sebagian lain berpendapat bahwa suami cukup disyaratkan mampu membayar mahar menurut ketentuan yang diterapkan di kalangan mereka. Suami dikategorikan sepadan, apabila dia memiliki penghasilan yang mencukupi kebutuhannya sehari-hari. Sebab dengan harta, suami dapat menjaga kehormatan istri dan keluarganya serta mencegahnya dari perbuatan memalukan dan keterjerumusan dalam perkara-perkara yang tidak pantas baginya.
ü  Dalam pengamalan ajaran agama, laki-laki fasik tidak sepadan dengan wanita shalihah anak orang shalih. Orang fasik adalah orang yang dikenal oleh masyarakat bertindak tercela seperti mabuk di jalan, pergi ke tempat prostitusi, kerusakan moral dan tempat perjudian, atau pemuda yang menyatakan dirinya tidak shalat dan puasa. Jika bapak dari wanita shalihah adalah orang fasik, lantas dia menikah dengan orang yang fasik, maka pernikahannya sah. Bapaknya tidak berhak untuk menolak, karena ia fasik seperti suami yang dipilih anaknya. Demikian pula jika wanita fasik anak orang shalih, menikah dengan orang fasik, maka pernikahannya tetap sah. Bapaknya juga tidak berhak untuk menolak, karena aib yang ditanggung oleh anaknya lebih besar daripada aib yang ditanggung bapaknya sebagai mertua dari menantu yang fasik.
Perlu dipahami bahwa kesepadanan merupakan acuan bagi pihak laki-laki bukan bagi pihak perempuan. Dengan demikian, laki-laki boleh menikahi siapapun yang dia kehendaki, meskipun budak atau pembantu.    
§  Mazhab Maliki, kesepadanan dalam pernikahan berarti tingkat pengamalan terhadap ajaran agama dan terbebas dari cacat-cacat yang menyebabkan pihak wanita berhak untuk menentukan pilihan terhadap suami, seperti kusta, gila, dan lepra. Adapun kesepadanan terkait harta, status merdeka, nasab dan pekerjaan, merupakan acuan pihak yang bersangkutan. Jika orang dari kalangan bawah menikahi wanita terhormat, maka pernikahannya sah. Jika tukang keledai atau tukang sampah menikahi wanita terhormat, maka pernikahannya tetap sah.
§  Mazhab Asy-Syafi’i, kesepadanan merupakan hal yang jika tidak terwujud maka akan memunculkan adanya aib. Kesepadanan dijadikan acuan terkait empat hal yaitu nasab, agama, status merdeka, dan pekerjaan.
ü  Mengenai nasab, penjelasannya sedikit banyak sama dengan pendapat dari mazhab Hanafi. Tambahannya, jika seorang wanita dinisbatkan kepada seseorang yang membuatnya menjadi terhormat, maka suaminya pun harus dinisbatkan kepada orang seperti itu.
ü  Adapun dari segi pengamalan ajaran agama, selayaknya suami sama dengan istri terkait penjagaan kehormatan diri dan keistiqomahan. Jika seseorang fasik lantaran melakukan perbuatan zina, maka dia tidak sepadan dengan wanita yang menjaga kehormatan dirinya, sekalipun laki-laki tersebut bertaubat dan pertaubatannya baik, karena pertaubatan dari zina tidak menghapus aib dan kesan buruk dalam masyarakat. Namun jika dia fasik lantaran perbuatan selain zina, seperti minum khamr, kemudian bertaubat, maka ia sepadan dengan wanita yang istiqomah tersebut.
ü  Orang-orang yang berstatus sebagai pekerja rendahan (menurut kebiasaan yang berlaku) seperti tukang sapu, tukang bekam, penjaga lingkungan, dan pembersih kamar mandi, tidak sepadan dengan wanita yang memiliki pekerjaan terhormat.
ü  Harta tidak dijadikan acuan kesepadanan. Dengan demikian, jika seseorang yang miskin menikahi perempuan kaya, keduanya dinyatakan sepadan.
Ulama berpendapat sama bahwa kesepadanan merupakan acuan dari sisi istri. Adapun dari sisi suami, dia boleh menikah dengan budak wanita atau pembantu.
§  Mazhab Hambali, kesepadanan adalah persamaan antara calon kedua mempelai terkait, pengamalan ajaran agama, profesi, kecukupan harta, status merdeka, dan nasab.
ü  Mengenai pengamalan ajaran agama, laki-laki fasik yang durhaka tidak sepadan dengan wanita shalihah yang memiliki integritas keagamaan dan menjaga kehormatan dirinya.
ü  Orang yang berprofesi rendah tidak sepadan dengan perempuan yang berprofesi terhormat.
ü  Kecukupan harta sesuai dengan mahar dan nafkah yang diberikannya kepada istri. Oleh karena itu, orang yang mengalami kesulitan ekonomi tidak sepadan dengan wanita yang memiliki kecukupan dari segi ekonomi.
ü  Orang selain arab tidak sepadan dengan wanita arab.
Demikian penjelasan mengenai kesepadanan menurut empat mazhab. Pertanyaan selanjutnya, apakah sepadan merupakan syarat sah akad? Berikut penjelasannya.
§  Mazhab Hanafi, kesepadanan merupakan syarat pelaksanaan akad nikah dan berkaitan erat dengan wali. Jika seorang wanita menikahkan dirinya dengan orang yang tidak memenuhi kriteria kesepadanan, maka walinya berhak untuk menolak akad. Akad tidak dapat dilaksanakan hingga walinya ridha. Kesepadanan termasuk dalam hak wali (wali ashabah meskipun bukan mahram, jika kerabat di luar ashabah maka ia tidak memiliki hak terkait kesepadanan).
§  Mazhab Maliki, faktor kesepadanan terkait dengan gugurnya suatu pernikahan, pendapat lain mengatakan gugur secara mutlak. Adapun wanita dewasa yang berwenang atas dirinya sendiri, dapat dinikahkan oleh hakim tanpa harus memastikan kesepadanan, karena wanita dewasa berperan sebagai pemilik hak dalam pernikahan.
§  Mazhab Asy-Syafi’i, kesepadanan merupakan syarat sah pernikahan yang tidak berkaitan dengan keridhaan dan merupakan hak wanita serta wali. Jika keduanya tidak meridhai suami yang tidak memenuhi syarat kesepadanan, maka akad nikahnya tidak sah. Jika wanita meridhai suami yang terpotong alat vitalnya (impotensi) sementara wali tidak ridha, maka akadnya sah dan tidak perlu menunggu ridha wali.
§  Mazhab Hambali, jika wali menikahkan dengan laki-laki yang tidak sepadan dan tanpa ridha wanita, maka wali berdosa dan wali berstatus fasik.
Demikianlah penjelasan mengenai kesepadanan (Al-Kafa’ah) dalam pernikahan.  

Referensi :
Syaikh Abdurrahman Al-Juzairi, Fikih Empat Mazhab, Jilid 5, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta


[1] Mahasiswa Magister Hukum Kenegaraan, Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan Staf Bina Wilayah Jawa Tengah dan DIY MITI-KM (Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia Klaster Mahasiswa)

Jumat, 27 Desember 2019

REFORMULASI STRATEGI PENGELOLAAN DANA DESA DI MALUKU TENGAH DENGAN KONSEP SMART VILLAGE


Ubaiyana[1]
A.    Pendahuluan
Desa merupakan unit terkecil dalam tata kelola pemerintahan. Jika proses pembangunan nasional yang dijalankan cenderung bias kota, maka permasalahan sosial dan politik seperti meningkatnya urbanisasi tentu akan terus terjadi. Mari kita simak Presentase Penduduk Daerah Perkotaan Menurut Provinsi Tahun 2010-2035 :[2]
Provinsi
Tahun
2010
2015
2020
2025
2030
2035
Aceh
28.1
30.5
33.2
36.2
39.5
43.2
Sumatera Utara
49.2
52.6
56.3
60.1
64.1
68.1
Sumatera Barat
38.7
44.2
49.6
54.6
59.4
63.8
Riau
39.2
39.6
40.1
40.7
41.2
41.8
Jambi
30.7
32.0
33.3
34.8
36.5
38.2
Sumatera Selatan
35.8
36.5
37.3
38.2
39.1
40.1
Bengkulu
31.0
31.7
32.6
33.5
34.5
35.6
Lampung
25.7
28.3
31.3
34.6
38.3
42.4
Kepulauan Bangka Belitung
49.2
52.5
56.0
59.7
63.5
67.4
Kepulauan Riau
82.8
83.0
83.3
83.8
84.5
85.3

DKI Jakarta
100.0
100.0
100.0
100.0
100.0
100.0
Jawa Barat
65.7
72.9
78.7
83.1
86.6
89.3
Jawa Tengah
45.7
48.4
51.3
54.3
57.5
60.8
DI Yogyakarta
66.4
70.5
74.6
78.0
81.3
84.1
Jawa Timur
47.6
51.1
54.7
58.6
62.6
66.7
Banten
67.0
67.7
69.9
73.7
78.8
84.9

Bali
60.2
65.5
70.2
74.3
77.8
81.2
Nusa Tenggara Barat
41.7
45.4
49.4
53.6
58.1
62.7
Nusa Tenggara Timur
19.3
21.6
24.3
27.3
30.7
34.6

Kalimantan Barat
30.2
33.1
36.2
39.8
43.7
47.9
Kalimantan Tengah
33.5
36.6
40.2
44.1
48.3
52.9
Kalimantan Selatan
42.1
45.1
48.4
52.0
55.8
59.8
Kalimantan Timur
63.2
66.0
68.9
71.8
74.8
77.7

Sulawesi Utara
45.2
49.8
54.7
59.2
63.9
68.7
Sulawesi Tengah
24.3
27.2
30.5
34.2
38.4
43.1
Sulawesi Selatan
36.7
40.6
45.0
49.8
54.9
59.6
Sulawesi Tenggara
27.4
31.2
35.0
39.4
43.6
48.3
Gorontalo
34.0
39.0
44.0
48.9
53.5
58.4
Sulawesi Barat
22.9
22.9
23.0
23.0
23.1
23.1

Maluku
37.1
38.0
38.9
39.9
41.0
42.1
Maluku Utara
27.1
27.8
28.5
29.2
29.9
30.6

Papua Barat
29.9
32.3
34.9
37.8
40.9
44.4
Papua
26.0
28.4
31.2
34.2
37.7
41.5

INDONESIA
49.8
53.3
56.7
60.0
63.4
66.6

Pada tahun 2016, sekitar 52% dari total populasi penduduk Indonesia tinggal di kota. Bandingkan dengan data tahun 2010, hanya 49,79% penduduk yang tinggal di kota, dan 50,21% tinggal di desa. Meningkatnya arus urbanisasi ini, dikarenakan desa dinilai tidak memberi sumber kehidupan yang layak, sehingga penduduk memutuskan untuk mengadu nasib ke kota. Maka dari itu, membangun Indonesia dari pinggiran merupakan prioritas utama pemerintah sampai saat ini. Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, dengan mengacu pada Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2015, diamanahkan untuk mengemban tugas dalam menjalankan pembangunan desa dan kawasan perdesaan, pemberdayaan masyarakat desa, percepatan pembangunan daerah tertinggal, dan transmigrasi untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara.[3]
UU Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa, mengucurkan hampir 1 Miliar rupiah per desa, hakikatnya memiliki peran penting dalam menciptakan perkembangan dan pembangunan di desa, salah satunya dengan mewajibkan pembentukan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Terbukti, pada tahun 2016 sekitar 4.000 dari 22.000 BUMDes telah mampu menghasilkan profit dan berkontribusi terhadap Alokasi Dana Desa (ADD). Kemudian pada tahun 2018, jumlah BUMDes meningkat pesat menjadi sekitar 39.000.[4]
Pengembangan kota cerdas yang gencar dilakukan sejak 10 tahun terakhir, telah berkontribusi atas ketidakmerataan pembangunan antara kota dengan desa. Untuk mengimbangi hal itu, inisiasi desa cerdas sangat diperlukan. Desa cerdas menjadi piranti dalam mewujudkan smart society dan dipahami sebagai sesuatu yang penting dalam mempercepat akselerasi pembangunan. Desa kemudian menjadi tempat untuk mengembangkan potensi diri dan mengaplikasikan ilmu pengetahuan. Di negara agraris seperti Indonesia, desa seharusnya menjadi lokasi strategis dalam pengembangan ekonomi. Anehnya sampai saat ini, Indonesia masih saja berhadapan dengan fakta bahwa banyak desa yang tertinggal. Berdasarkan Indeks Pembangunan Desa (IPD) 2014, terdapat 20.168 desa tertinggal. Angka ini merupakan 27,22% dari jumlah total desa yang ada di Indonesia, yang mencapai 74.093 desa. Permasalahan akses sumber daya, kualitas sumber daya alam yang rendah, infrastruktur penunjang yang belum memadai dan degradasi lingkungan, menjadi faktor-faktor penyebabnya.[5]

B.    Pentingnya Reformulasi Strategi Pengelolaan Dana Desa/Negeri di Maluku Tengah
Berbicara mengenai transparansi dan akuntabilitas, sudah seharusnya desa menjadi sasaran empuk para maling uang negara. Tidak lain karena tingkat keterbukaan pemerintah desa sangat rendah dibanding dengan kota-kota besar layaknya ibukota, contohnya Negeri Liang yang terletak di Kecamatan Salahutu, Provinsi Maluku Tengah. Sebelumnya perlu diketahui bahwa beberapa desa di Maluku Tengah ada yang disebut sebagai negeri bukan desa. Disebut negeri, karena merupakan kesatuan masyarakat hukum adat yang bersifat geneologis territoria yang memiliki batas wilayah, berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan hak asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.[6] Sejak tahun 2005 hingga tahun 2019 penulis tinggal bersama orang tua di negeri Liang, kantor negeri lebih terlihat tidak layak huni dan layak pakai. Belum lagi, hingga penghujung tahun 2019 ini, tidak ada satu pun tower internet di negeri Liang. Dengan fakta tersebut, dapat dipahami bahwa pemerintahan negeri berjalan sangat manual, yang juga berarti sangat rentan disalahgunakan. Jika kantor negeri saja tidak layak pakai, bagaimana dengan pelaksanaan kerja dan kinerja kepala pemerintah negeri atau yang disebut sebagai raja, beserta perangkat pemerintah negeri (Sekretaris, Pelaksana Kewilayahan, dan Pelaksana Teknis)?
Banyak sekali terjadi bias di negeri Liang, yang kemungkinan besar juga terjadi di banyak desa di pelosok Indonesia yang terhalang kamera dan media. Mulai dari pemerintahan yang tidak transparan, rentan dan bebas korupsi, hingga langgengnya pendirian dan pengukuhan dinasti politik. Terkuaknya korupsi di Maluku oleh Abdullah Vanath, kontroversi Murad Ismail selaku Kapolda Maluku dalam menghukum koruptor, hingga dinasti Tuasikal yang sudah sejak lama mengakar di Maluku, merupakan tiga dari sekian ribu kasus yang ada, namun tidak tertangkap media. Segala persoalan tersebut, jelas mengakibatkan banyak ketertinggalan yang dialami desa, baik dari segi fasilitas desa seperti kantor desa, puskesmas, tempat ibadah, tempat wisata, lapangan, rumah adat, hingga fasilitas pendidikan dan fasilitas pengembangan perekonomian desa.
Padahal perlu diketahui bahwa negeri Liang adalah salah satu penghasil rempah-rempah (cengkeh dan pala) terbesar di provinsi Maluku Tengah. Namun, keunggulan itu tidak berdampak pesat terhadap kondisi ekonomi warga Liang. Warga Liang cenderung hanya mampu menghasilkan biji cengkeh dan pala tetapi tidak mampu mengolahnya. Bayangkan bila dana desa dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas rempah-rempah, seperti dengan mengolahnya menjadi minyak, sajian oleh-oleh, atau sebagai kawasan wisata layaknya taman buah mekar sari, sangat dimungkinkan pendapatan negeri menjadi lebih baik.

C.    Penerapan Konsep Smart Village di Negeri Liang
Carrasco-Saez berargumen bahwa konsep dan dimensi kota cerdas memungkinkan untuk dikembangkan menjadi pedoman dalam mengembangkan studi desa cerdas. Beberapa karakteristik dalam komponen kota cerdas diyakini dapat diadopsi ke dalam konteks desa seperti smart governance, smart economy, smart mobility, smart environment, smart people, smart living, dan yang sedang menjadi diskusi hangat baru-baru ini, smart tourism. Adopsi konsep dan karakteristik kota cerdas ke desa cerdas dalam kerangka pemanfaatan TIK, dapat menyelesaikan berbagai permasalahan publik yang banyak memberikan pengaruh pada sektor ekonomi, politik, pendidikan, sosial, dan aktivitas kebudayaan. Pengembangan desa cerdas telah diinisiasi oleh Uni Eropa, seperti EU Action for Smart Villages yang diluncurkan oleh Parlemen Uni Eropa pada tahun 2017. Dalam publikasinya, desa cerdas didefinisikan sebagai daerah dan masyarakat pedesaan yang dibangun di atas kekuatan dan aset sendiri serta pada saat yang sama terdapat usaha untuk mengembangkan peluang baru melalui teknologi digital, telekomunikasi, inovasi, dan penggunaan pengetahuan yang lebih baik.[7]
Mengacu pada konsep di atas, penulis menggunakan Negeri Liang yang terletak di Kecamatan Salahutu Provinsi Maluku Tengah, sebagai sampel. Jika sebelumnya pembangunan di desa cenderung bersifat top-down planning dan seragam, maka untuk konsep desa cerdas lebih mengedepankan sifat down-top planning dan beragam. Berikut penjelasannya.

No.
Elemen Desa Cerdas
Variabel
Indikator
1.
Smart Governance
Partisipasi Masyarakat
Partisipasi dalam pengambilan keputusan dan kebijakan desa, termasuk pemilihan kepala desa, peruntukan dana desa, hingga usaha pelestarian adat dan budaya desa.


Transparansi
-       Big Data
-       E-musrenbang dan E-budgedting
-       Open Data
-       Pelayanan terpadu satu pintu (PTSP)
-       Citizen relation management (CRM)
Keterbukaan semua informasi yang berkaitan dengan pemerintah desa, masyarakat dan desa itu sendiri.


Pelayanan Publik
-       Peningkatan fasilitas Pendidikan, pariwisata, ekonomi, ibadah, adat-budaya, dan kesehatan
-       Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi untuk memudahkan pelayanan kepada masyarakat
-       Pengadaan fasilitas perbelanjaan yang mudah dan murah
2.
Smart Economy
Inovasi
-       Pembekalan ilmu ekonomi kreatif dan inovasi bagi masyarakat
-       Peruntukan dana publik untuk pengembangan riset dan teknologi


Kewirausahaan
-       Citra dan merk dagang bagi desa
-       Produktivitas
-       Pengadaan BUMDes
-       Pembekalan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia di desa   
-       Pengadaan dan pendirian UMKM desa
-       Peningkatan perekonomian desa melalui pengembangan inovasi dalam pemanfaatan SDA desa
3.
Smart People
Edukasi Digital
-       Penguasaan dan pemanfaatan digital secara baik dan bijaksana
-       Pemanfaatan digital bagi pemerintahan desa, dan segala fasilitas penunjangnya


Kreativitas
-       Kolaborasi kearifan lokal desa untuk pengembangan perekonomian desa
4.
Smart Tourism
Sarana dan Pra Sarana
-       Pengembangan fasilitas pariwisata di desa
-       Economy Smart Tourism
-       Menjadikan desa sebagai desa wisata

D.    Analisis SWOT Pengembangan Konsep Smart Village di Negeri Liang
Untuk memperkuat rencana strategi tersebut di atas, penulis akan mengevaluasi kekuatan (strengths), kelemahan (weaknesses), peluang (opportunities), dan ancaman (threats) atas elemen-elemen yang digunakan desa cerdas. Berikut ulasannya.

ANALISIS
INTERNAL/EKSTERNAL
Strengths
-       Meningkatkan perekonomian dan pendapatan masyarakat negeri
-       Mencegah dan mengatasi perbuatan korupsi, kolusi dan nepotisme
-       Adanya partisipasi masyarakat terhadap pemerintahan negeri
-       Meningkatkan kualitas masyarakat negeri
-       Memberikan kemudahan kepada masyarakat dalam akses ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan lainnya
-       Memudahkan masyarakat untuk melestarikan susmber daya alam, serta adat dan kebudayaannya
Weaknesses
-       Sulitnya memotivasi masyarakat untuk melakukan perubahan dalam meningkatkan pendapatannya
-       Terhalang budaya politik negeri
-       Rendahnya pengetahuan masyarakat mengenai pemerintahan negeri
-       Kurangnya minat dan sulitnya memotivasi masyarakat untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia
-       Rendahnya motivasi masyarakat untuk melestarikan sumber daya alam, serta adat dan kebudayaannya
Opportunities
Negeri Liang memiliki beberapa keunggulan yang potensial seperti :
-       Pantai yang indah, salah satunya yang sudah terkenal adalah pantai Hunimua Liang
-       Banyak tanaman cengkeh dan pala
-       Gunung dan perbukitan yang indah dan asri
-       Adat istiadat dan budaya negeri
-       Kawasan hutan yang luas
-       Beberapa area lain yang cukup berpotensi seperti sungai dan air terjun
Threats
-       Eksploitasi berlebihan
-       Dikuasai oleh investor asing dan tenaga dari luar desa
-       Perlunya perawatan dan pemeliharaan masyarakat terhadap fasilitas yang disediakan
-       Membutuhkan dana yang cukup besar

E.    Kesimpulan
Jika di masa lalu, desa dijadikan sebagai objek kebijakan dan pelaksanaan pembangunan, maka saat ini desa menjadi subjek yang berperan aktif sebagai motor penggerak pembangunan, yang memiliki kewenangan untuk menentukan dan merumuskan kebijakan serta melaksanakannya. Sebagaimana yang termuat dalam UU Desa, yaitu sebagai berikut :[8]
1.     Pembangunan ekonomi di desa dimaksudkan untuk memperbaiki kerusakan sosial, budaya, ekonomi, dan politik desa;
2.     Pembangunan desa diharapkan mampu memulihkan basis penghidupan masyarakat dan memperkuat desa sebagai bagian dari entitas masyarakat yang mandiri;
3.     Untuk merespon proses globalisasi yang ditandai dengan adanya perkembangan informasi, ekonomi, teknologi dan budaya serta munculnya pelaku ekonomi skala global;
4.     Untuk menciptakan pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat;
Hemat penulis, empat poin di atas dapat diwujudkan melalui pengimplementasian konsep smart village di seluruh desa di Indonesia, salah satunya di negeri Liang, Provinsi Maluku Tengah. Dengan empat elemen desa cerdas yaitu smart governance, smart economy, smart people, dan smart tourism, berbagai persoalan masyarakat negeri Liang dapat diatasi.
Konsep smart village sudah bukan angan-angan semata. Hal ini dapat kita lihat di Desa Lamahu, Bulango Selatan, Kabupaten Bone, Gorontalo. Desa ini dijuluki sebagai desa digital yang menerapkan konsep smart village pertama di Indonesia. Dengan membangun sistem informasi dan komunikasi yang dijuluki smartpole, terdiri dari; CCTV, lampu jalan otomatis, dan WIFI, membuat pengelolaan desa berjalan sangat inovatif. Sistem smartpole ini diterapkan dengan menginstal aplikasi sebagai command center software yang berpusat di kantor desa. Masyarakat dapat memanfaatkannya untuk beragam keperluan seperti dalam bidang UKM yakni untuk menjual produk atau mencari sumber pengetahuan usaha, petani bisa mendapatkan informasi mengenai harga pasar hingga mengenai pusat penjualan bibit murah, atau saat ada ibu hamil yang akan melahirkan cukup menekan tombol darurat, serta beberapa inovasi lainnya.[9] Desa Lamahu diharapkan menjadi kiblat penerapan konsep desa cerdas bagi desa-desa lain di Indonesia. Sudah saatnya desa menjadi subjek pembangunan bangsa dan negara, dan sudah waktunya masyarakat desa menjadi pelaku sekaligus penggerak kemajuan desanya sendiri.








[1] Awardee LPDP RI Magister Hukum Kenegaraan, Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan Staf Bina Wilayah Jawa Tengah dan DI Yogyakarta, Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia Klaster Mahasiswa (MITI-KM)
[2] Badan Pusat Statistik, Presentase Penduduk Daerah Perkotaan Menurut Provinsi Tahun 2010-2035, https://www.bps.go.id/statictable/2014/02/18/1276/persentase-penduduk-daerah-perkotaan-menurut-provinsi-2010-2035.html, Diakses pada 2 Desember 2019
[3] Badan Pusat Statistik
[4] Lihat Kata Pengantar oleh Anwar Sanusi, Menjawab Tantangan “Desa” di Era Revolusi Industri 4.0, dalam Buku, Desa Cerdas: Transformasi Kebijakan dan Pembangunan Desa Merespon Era Revolusi Industri 4.0, Center for Digital Society Gedung Fisipol UGM, Yogyakarta, hlm.vi
[5] Anang Dwi Santoso, dkk., 2019, Desa Cerdas: Transformasi Kebijakan dan Pembangunan Desa Merespon Era Revolusi Industri 4.0, Center for Digital Society Gedung Fisipol UGM, Yogyakarta, hlm.6-8
[6] Peraturan Daerah Kabupaten Maluku Tengah Nomor 01 Tahun 2006 Tentang Negeri
[7] Anang Dwi Santoso, dkk., hlm.12-13
[8] Anang Dwi Santoso, dkk., hlm.21
[9] Pedekik.com, Desa Digital : Inikah Konsep Smart Village Pertama di Indonesia?, https://www.pedekik.com/desa-digital-inikah-konsep-smart-village-pertama-di-indonesia/ , Diakses pada 27 Desember 2019

SYARAH PANCASILA : TAARUF DENGAN NEGARA MELALUI AGAMA

Pendahuluan Sebagai suatu kesatuan kehidupan masyarakat, bangsa memiliki cita-cita hidup yang disebut sebagai ideologi. Ideologi menj...