Ubaiyana[1]
Cinta
saja sepertinya memang tak cukup untuk membina rumah tangga. Memang tidak hanya
cinta, membina rumah tangga juga membutuhkan kerja keras, tanggung jawab,
keberanian, keteguhan, dan kemampuan menyelesaikan masalah. Tetapi tahukah? Pada
kenyataannya, membangun rumah tangga juga membutuhkan faktor lain seperti harta.
Studi terbaru yang diterbitkan oleh Journal
of Family and Marriage menemukan, tingkat perkawinan di Amerika Serikat
terus menurun karena kaum laki-laki yang tidak menarik secara ekonomi (miskin).
Menarik bukan?
Di
Indonesia, tidak dapat dipungkiri stereotipe masyarakat juga menekankan pada
kesepadanan (dalam Islam disebut dengan Al-Kafa’ah). Namun, kesepadanan yang
dimaksud tidak hanya menurut harta, tetapi juga menurut keilmuan, nasab
keluarga, agama, pekerjaan, serta hukum adat tertentu. Tolak ukur kesepadanan
ini serupa dengan yang diatur dalam ajaran agama Islam. Tidak lain karena
kultur budaya yang banyak dipengaruhi oleh agama. Menanggapi hal itu,
pertanyaan yang kemudian muncul adalah, apakah kita harus mencari pasangan yang
sederajat (sekufu)? Lalu, apakah sepadan merupakan syarat sah akad? Berikut ulasannya.
Kesepadanan
(Al-Kafa’ah) dalam pernikahan akan dijelaskan menurut empat Mazhab, antara lain
sebagai berikut :
§ Mazhab
Hanafi, kesepadanan berarti persamaan laki-laki dan perempuan terkait hal-hal
khusus, yaitu nasab, Islam, pekerjaan, status merdeka, pengamalan ajaran agama,
dan harta.
ü Laki-laki
yang bernasab rendah dapat dikenali melalui asalnya bahwa dia bukan atau
berasal dari suku wanita yang hendak dinikahi, seperti golongan ajam (bukan
Arab) dan Arab. Bangsa Arab juga terbagi menjadi golongan Quraisy dan selain
Quraisy. Jika suami berasal dari Quraisy dan istri pun dari Quraisy maka sah
dari segi nasab, meskipun berlainan suku.
ü Orang
selain Arab yang berilmu dan miskin sepadan dengan orang Arab yang bodoh dan
kaya atau terhormat yang nasabnya tinggi. Hal ini karena kemuliaan ilmu berada
di atas nasab dan kekayaan materi.
ü Dari
segi harta, sebagian berpendapat bahwa harus ada kesamaan antara suami dan
istri. sebagian lain berpendapat bahwa suami cukup disyaratkan mampu membayar
mahar menurut ketentuan yang diterapkan di kalangan mereka. Suami dikategorikan
sepadan, apabila dia memiliki penghasilan yang mencukupi kebutuhannya
sehari-hari. Sebab dengan harta, suami dapat menjaga kehormatan istri dan
keluarganya serta mencegahnya dari perbuatan memalukan dan keterjerumusan dalam
perkara-perkara yang tidak pantas baginya.
ü Dalam
pengamalan ajaran agama, laki-laki fasik tidak sepadan dengan wanita shalihah
anak orang shalih. Orang fasik adalah orang yang dikenal oleh masyarakat
bertindak tercela seperti mabuk di jalan, pergi ke tempat prostitusi, kerusakan
moral dan tempat perjudian, atau pemuda yang menyatakan dirinya tidak shalat
dan puasa. Jika bapak dari wanita shalihah adalah orang fasik, lantas dia
menikah dengan orang yang fasik, maka pernikahannya sah. Bapaknya tidak berhak
untuk menolak, karena ia fasik seperti suami yang dipilih anaknya. Demikian pula
jika wanita fasik anak orang shalih, menikah dengan orang fasik, maka
pernikahannya tetap sah. Bapaknya juga tidak berhak untuk menolak, karena aib
yang ditanggung oleh anaknya lebih besar daripada aib yang ditanggung bapaknya
sebagai mertua dari menantu yang fasik.
Perlu dipahami bahwa kesepadanan merupakan acuan bagi
pihak laki-laki bukan bagi pihak perempuan. Dengan demikian, laki-laki boleh
menikahi siapapun yang dia kehendaki, meskipun budak atau pembantu.
§ Mazhab
Maliki, kesepadanan dalam pernikahan berarti tingkat pengamalan terhadap ajaran
agama dan terbebas dari cacat-cacat yang menyebabkan pihak wanita berhak untuk
menentukan pilihan terhadap suami, seperti kusta, gila, dan lepra. Adapun kesepadanan
terkait harta, status merdeka, nasab dan pekerjaan, merupakan acuan pihak yang
bersangkutan. Jika orang dari kalangan bawah menikahi wanita terhormat, maka
pernikahannya sah. Jika tukang keledai atau tukang sampah menikahi wanita
terhormat, maka pernikahannya tetap sah.
§ Mazhab
Asy-Syafi’i, kesepadanan merupakan hal yang jika tidak terwujud maka akan
memunculkan adanya aib. Kesepadanan dijadikan acuan terkait empat hal yaitu
nasab, agama, status merdeka, dan pekerjaan.
ü Mengenai
nasab, penjelasannya sedikit banyak sama dengan pendapat dari mazhab Hanafi. Tambahannya,
jika seorang wanita dinisbatkan kepada seseorang yang membuatnya menjadi
terhormat, maka suaminya pun harus dinisbatkan kepada orang seperti itu.
ü Adapun
dari segi pengamalan ajaran agama, selayaknya suami sama dengan istri terkait
penjagaan kehormatan diri dan keistiqomahan. Jika seseorang fasik lantaran
melakukan perbuatan zina, maka dia tidak sepadan dengan wanita yang menjaga
kehormatan dirinya, sekalipun laki-laki tersebut bertaubat dan pertaubatannya
baik, karena pertaubatan dari zina tidak menghapus aib dan kesan buruk dalam
masyarakat. Namun jika dia fasik lantaran perbuatan selain zina, seperti minum
khamr, kemudian bertaubat, maka ia sepadan dengan wanita yang istiqomah
tersebut.
ü Orang-orang
yang berstatus sebagai pekerja rendahan (menurut kebiasaan yang berlaku)
seperti tukang sapu, tukang bekam, penjaga lingkungan, dan pembersih kamar
mandi, tidak sepadan dengan wanita yang memiliki pekerjaan terhormat.
ü Harta
tidak dijadikan acuan kesepadanan. Dengan demikian, jika seseorang yang miskin
menikahi perempuan kaya, keduanya dinyatakan sepadan.
Ulama berpendapat sama bahwa kesepadanan merupakan
acuan dari sisi istri. Adapun dari sisi suami, dia boleh menikah dengan budak
wanita atau pembantu.
§ Mazhab
Hambali, kesepadanan adalah persamaan antara calon kedua mempelai terkait,
pengamalan ajaran agama, profesi, kecukupan harta, status merdeka, dan nasab.
ü Mengenai
pengamalan ajaran agama, laki-laki fasik yang durhaka tidak sepadan dengan
wanita shalihah yang memiliki integritas keagamaan dan menjaga kehormatan
dirinya.
ü Orang
yang berprofesi rendah tidak sepadan dengan perempuan yang berprofesi
terhormat.
ü Kecukupan
harta sesuai dengan mahar dan nafkah yang diberikannya kepada istri. Oleh
karena itu, orang yang mengalami kesulitan ekonomi tidak sepadan dengan wanita
yang memiliki kecukupan dari segi ekonomi.
ü Orang
selain arab tidak sepadan dengan wanita arab.
Demikian
penjelasan mengenai kesepadanan menurut empat mazhab. Pertanyaan selanjutnya,
apakah sepadan merupakan syarat sah akad? Berikut penjelasannya.
§ Mazhab
Hanafi, kesepadanan merupakan syarat pelaksanaan akad nikah dan berkaitan erat
dengan wali. Jika seorang wanita menikahkan dirinya dengan orang yang tidak
memenuhi kriteria kesepadanan, maka walinya berhak untuk menolak akad. Akad tidak
dapat dilaksanakan hingga walinya ridha. Kesepadanan termasuk dalam hak wali
(wali ashabah meskipun bukan mahram, jika kerabat di luar ashabah maka ia tidak
memiliki hak terkait kesepadanan).
§ Mazhab
Maliki, faktor kesepadanan terkait dengan gugurnya suatu pernikahan, pendapat
lain mengatakan gugur secara mutlak. Adapun wanita dewasa yang berwenang atas
dirinya sendiri, dapat dinikahkan oleh hakim tanpa harus memastikan kesepadanan,
karena wanita dewasa berperan sebagai pemilik hak dalam pernikahan.
§ Mazhab
Asy-Syafi’i, kesepadanan merupakan syarat sah pernikahan yang tidak berkaitan
dengan keridhaan dan merupakan hak wanita serta wali. Jika keduanya tidak
meridhai suami yang tidak memenuhi syarat kesepadanan, maka akad nikahnya tidak
sah. Jika wanita meridhai suami yang terpotong alat vitalnya (impotensi)
sementara wali tidak ridha, maka akadnya sah dan tidak perlu menunggu ridha
wali.
§ Mazhab
Hambali, jika wali menikahkan dengan laki-laki yang tidak sepadan dan tanpa
ridha wanita, maka wali berdosa dan wali berstatus fasik.
Demikianlah penjelasan mengenai kesepadanan (Al-Kafa’ah)
dalam pernikahan.
Referensi :
Syaikh
Abdurrahman Al-Juzairi, Fikih Empat Mazhab, Jilid 5, Pustaka Al-Kautsar,
Jakarta
[1] Mahasiswa Magister Hukum
Kenegaraan, Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan Staf Bina
Wilayah Jawa Tengah dan DIY MITI-KM (Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia
Klaster Mahasiswa)