Sabtu, 12 Oktober 2019

CINTA SEGITIGA AKIBAT PERPPU UU KPK : ANTARA AKU, PRESIDENKU DAN PARPOLNYA


Ubaiyana[1]
            “Tresno kuwi pancen aneh. Contone, aku tresno kowe tapi kowe ora tresno aku”. Besar harapan kami padamu, Presidenku. Tapi apa daya, mereka (Partai Politik) juga menekan harapan padamu. Dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa, Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) merupakan pilihan terbaik di antara pilihan lainnya, Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi dan Legislative Review oleh DPR, demi menyelamatkan anak kandung reformasi, Komisi Pemberantasan Korupsi. Mengapa begitu?

Mengapa Perppu? Bagaimana dengan JR dan LR?
            Mengenai Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi, menurut kesaksian dari Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Prof. Mahfud MD, MK berwenang untuk menilai bertentangan atau tidaknya suatu Undang-Undang atas Konstitusi (konstitusional atau inkonstitusional). Terlepas dari UU tersebut disukai atau tidak disukai oleh masyarakat. Selain itu, alasan lain penolakan adalah UU KPK merupakan Open Legal Policy dari Legislatif. Sehingga yang berhak mengubah UU KPK adalah lembaga legislatif. Jika pun diterima, MK hanya akan mengabulkan 1 atau 2 Pasal dari 14 Pasal yang bermasalah. Itupun pasal-pasal yang tidak krusial dipermasalahkan.
            Pilihan lainnya, Legislative Review oleh Lembaga Legislatif. Selain JR ke MK, LR oleh DPR juga dirasa baik menjadi pilihan. Dalam LR, UU KPK akan diundangkan kemudian diagendakan untuk dibahas kembali oleh DPR. Ini bukan hal baru, mengingat UU APBN juga dibahas selama dua kali dalam satu tahun atau UU MD3 yang dibahas selama empat kali dalam satu tahun. Namun, jelas opsi ini tidak akan merubah apapun. UU KPK yang memuat pasal-pasal bermasalah tetap akan bermasalah tanpa perubahan. Logikanya, pasal-pasal cacat ini dilahirkan oleh DPR, tidak pantang meski masyarakat berbondong-bondong bersuara menolak. Dengan segera, UU KPK disetujui bahkan disahkan. Lalu bilamana Legislative Review diajukan, apakah DPR akan dengan senang hati mengubah?
            Perppu, opsi ini dirasa paling baik di antara opsi baik lainnya. Diungkapkan oleh Prof. Mahfud MD, dari segi waktu, Perppu menjadi solusi yang cepat untuk mengamankan UU KPK, minimal memberikan waktu untuk memperbaikinya. Dalam hal ini, Presiden berhak mengambil political review secara sepihak untuk mengeluarkan Perppu. Perppu juga didasarkan atas hak subjektif Presiden dalam menentukan suatu kegentingan yang memaksa, sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945. Setidaknya, Perppu menjadi cara presiden untuk berpihak pada rakyatnya, menjawab kerisauan ribuan mahasiswa, petisi oleh ribuan dosen, Persatuan Guru Besar, dan Guru Besar Indonesia Timur se-Indonesia, serta demonstrasi massif di berbagai kota. Layaknya Presiden SBY yang berani mengeluarkan Perppu UU Pilkada.

Parlemen Jalanan Adalah Kegentingan yang Memaksa?
            Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009 telah memberikan tafsir Kegentingan yang Memaksa yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang, Undang-Undang yang dibutuhkan belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai, dan kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
            Bivitri Susanti, Pakar Hukum Tata Negara menjelaskan alasan penerbitan Perppu UU KPK yang menurutnya telah memenuhi syarat kegentingan yang memaksa, sesuai dengan Putusan MK di atas. Kebutuhan mendesak dalam hal ini dikatakannya sebagai pelumpuhan kewenangan yang tercantum dalam UU KPK baru, diantaranya diungkapkan oleh Zainal Arifin Mochtar, Pakar Hukum Tata Negara: KPK hanya akan menjadi lembaga pencegahan, karena tidak memiliki sebagian besar wewenang dalam penindakan; penyadapan dilakukan setelah gelar perkara, dengan begitu Operasi Tangkap Tangan nyaris hilang. Logikanya karena OTT tidak dilakukan setelah gelar perkara; Komisioner KPK tidak memiliki peran sebagai penyidik dan penuntut umum; ditambahkan oleh Abdullah Hehamahua (Mantan Penasihat KPK), mengenai SP3 yang dipasung hanya selama 2 tahun, otomatis kasus BLBI, Century, Meikarta, dan Reklamasi, tenggelam tanpa pertempuran.
            Perlu dipahami bahwa Perppu adalah keistimewaan yang berbentuk hak subjektif bagi Presiden. Oleh karena itu, Mantan Ketua MK menjelaskan bahwa tolak ukur kegentingan yang memaksa diserahkan kepada Presiden. Ketika ribuan reaksi penolakan terjadi secara massif ditafsirkan sebagai suatu kegentingan yang memaksa, maka itu adalah hak presiden, tidak ada pihak yang boleh mengintervensinya. Hal serupa telah dilakukan oleh Presiden SBY dahulu, akibat penolakan masyarakat yang bergejolak. Inilah keunikan dan keuntungan sistem pemerintahan presidensial, Presiden dapat mengambil tindakan cepat dan tegas untuk mengatasi kegelisahan yang terjadi dalam masyarakat.

Penekan Presiden : Parlemen Jalanan atau Parlemen Partai?
            Pada 23 September, Presiden menyatakan tidak akan mengeluarkan Perppu UU KPK. Namun pada 26 September, Presiden mengundang sejumlah tokoh bangsa dan para pakar hukum tata negara, untuk mendengar dan mempertimbangkan pendapat-pendapat atas persoalan yang berkembang dalam masyarakat. Keesokan harinya pada 27 September, Menteri Sekretariat Negara, Pratikno dikabarkan menyiapkan sejumlah opsi draf Perppu UU KPK, jika sewaktu-waktu Presiden setuju menerbitkan Perppu. Selang tiga hari setelahnya pada 30 September, Presiden bertemu dengan Ketua Umum Partai Politik Koalisi di Istana Bogor. Tidak berhenti sampai di situ, pada 3 Oktober, Mensesneg Pratikno menyebutkan bahwa pihak istana sudah menerima draf UU KPK. Namun draf tersebut belum diteken Presiden dan dikembalikan kepada DPR dikarenakan masih banyak kesalahan redaksional.
            Tarik ulur keputusan penerbitan Perppu masih dinantikan. Tidak menutup kemungkinan bahwa dari 100 juta pemilih Presiden, memilih karena janji Presiden untuk menguatkan Lembaga Anti Rasuah ini, untuk memberantas korupsi tanah air. Maka, tidak salah jika rakyat beramai-ramai turun ke jalan untuk menagih janji tersebut. Tidak salah jika rakyat merengek untuk menyelamatkan KPK dengan hak istimewa yang dimiliki Presiden, Perppu. Tidak salah jika Presiden lebih memilih untuk mengatasi keresahan rakyat dibanding dengan kecemasan sejumlah partai politik. Jika memang DPR adalah singkatan dari Dewan Perwakilan Rakyat yang bertindak menyetujui UU KPK baru, mengapa ribuan mahasiswa, pegiat anti korupsi, aktivis HAM, para akademisi, bahkan para pakar bersatu menyuarakan Perppu UU KPK? Jika begini jadinya, maka benar bahwa DPR disebut sebagai Dewan Penjajah Rakyat atau kasarnya Dewan Pengkhianat Rakyat.

Perppu Diterbitkan, DPR Bagaimana?
            Apabila Perppu diterbitkan, maka pemberlakuan UU KPK akan ditunda untuk dibahas kembali oleh DPR. Sejatinya, semua tergantung pada substansi Perppu. Misalnya, dinyatakan oleh Prof. Mahfud MD jika substansi Perppu adalah bahwa UU KPK tidak berlaku hingga waktu tertentu, untuk selanjutnya dibahas kembali. Maka setelah itu, dibentuk tim yang terdiri dari berbagai pihak, baik DPR, Pemerintah, akademisi dan perwakilan masyarakat, untuk mereview dan merevisi Pasal-Pasal yang dinilai bermasalah.  
            Dalam negara demokrasi, wajar bila Presiden berada dalam sirkulasi cinta segitiga tidak sama sisi ini, antara pemilih (electoral), Presiden, dan elite politik. Jadi seharusnya tidak perlu ada istilah terjebak atau tertekan. Di sini akuntabilitas seorang Presiden dituntut, baik secara horizontal dengan elite politiknya dan secara vertikal dengan rakyatnya. Maka dari itu Nyarwi Ahmad seorang Pengamat Komunikasi Politik, mengusulkan konten Perppu baiknya berisi kompilasi antara keinginan rakyat dan juga elite politik demi menjaga dua hubungan ini. Bagaimana tidak, setelah Perppu diterbitkan, Perppu otomatis berlaku. DPR kemudian memegang peran penting untuk memastikan Perppu UU KPK tersebut menjadi Undang-Undang atau tidak.

Kesimpulan
            Setelah kekecewaan rakyat terhadap kerja DPR atas revisi kilat UU KPK, harapan terakhir rakyat adalah Presiden, pemimpin dari 265 juta manusia Indonesia. Dengan Perppu, Presiden dapat menggunakan kewenangannya untuk menenangkan rakyat. Dengan hak subjektif yang rakyat amanahkan ini, rakyat berharap cinta Presiden merata, tidak berat sebelah. Perppu bukanlah jebakan, Perppu adalah amanah yang diberikan khusus untuk Presiden yang sewaktu-waktu dapat digunakan untuk membantu menyelesaikan masalah yang bergejolak di tengah rakyat. Untuk DPR, jangan adu domba rakyat dengan pemimpinnya. Jangan libatkan rakyat untuk kehausan kuasa kalian semata. Bertindaklah sesuai dengan amanah yang rakyat berikan. Bukan sesuai dengan kepentingan yang elite politik selipkan.


[1] Mahasiswi Magister Hukum Kenegaraan, Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan Staf Bina Wilayah Jawa Tengah dan DIY MITI-KM (Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia- Klaster Mahasiswa)

Jumat, 11 Oktober 2019

END JOKOWI’S GAME : RAGU-RAGU BERDEMOKRASI


Ubaiyana[1]
Dalam bukunya, Prof. Mahfud MD menuliskan bahwa sebagaimana yang dikemukakan oleh Carter, Herz dan Dahrendorf, konsep demokrasi dan otoriterisme bersifat relatif. Artinya, tidak ada negara yang sepenuhnya demokratis atau sepenuhnya otoriter.[2] Hal ini dijawab oleh Presiden Soekarno di hadapan forum dunia, bahwa: “Bagi kami bangsa Indonesia, demokrasi mengandung tiga unsur yang pokok, mufakat, perwakilan, dan musyawarah antara wakil-wakil.”[3] Lalu, bagaimana dengan Indonesia saat ini?

Ambiguitas Demokrasi : Pengabaian Aspirasi Masyarakat
            Pertama, dua esensi utama; mufakat dari pihak yang bermusyawarah dalam hal ini para wakil rakyat, jelas sudah dicederai oleh pemerintah dan DPR, yakni dengan terjadinya mission impossible terhadap revisi kilat UU KPK. Adegan penambahan dan perubahan pasal-pasal dalam UU KPK dengan tanpa melalui diskusi dan dengar pendapat dari seluruh lapisan masyarakat yang terkait secara langsung atau tidak, tentunya bertentangan dengan Pasal 5 UU No.12 Tahun 2011, bahwa dalam membentuk peraturan perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan asas, yang salah satunya adalah asas kejelasan tujuan dan asas keterbukaan. Aksi demonstrasi berjilid-jilid yang terjadi justru tidak melunakkan DPR sedikit pun untuk segera melegalkan kepentingan mereka atas UU KPK tersebut. Selamat jalan demokrasi-

Katanya “Checks and Balances”, Nyatanya Koalisi Telah Ditiduri Oposisi
Kedua, Indonesia jelas menggunakan sistem perwakilan, yang merupakan esensi ketiga. Sebagaimana dengan pendapat Abraham Lincoln, yakni pemerintahan dikelola dari, oleh, dan untuk rakyat atau kedaulatan berada di tangan rakyat. Sehubungan dengan itu, oposisi menemukan relevansinya. Mengingat, tidak ada jaminan jika kedaulatan rakyat dapat seluruhnya tertampung dan diterjemahkan seutuhnya oleh pemerintah. Tidak jarang, pemerintah justru menjauh dari hakikat kedaulatan rakyat tersebut.[4] Kekuatan oposisi sangat diperlukan untuk mengawasi kebijakan pemerintah demi mewujudkan checks and balances. Tanpa oposisi yang sehat dan kuat, pemerintah bisa terjebak pada cara-cara otoriter dalam mengelola kekuasaannya. Terutama untuk memastikan bahwa pemerintahan berjalan pada jalur seharusnya, jalur kepentingan rakyat.
Beberapa waktu lalu, pertemuan Jokowi dan Prabowo di stasiun MRT, memunculkan sejumlah definisi. Pasalnya, beberapa hari setelah pertemuan tersebut, Koalisi Adil Makmur dinyatakan bubar. Meskipun isu ini ditepis oleh Muhammad Syafi’i, yang merupakan anggota Dewan Penasihat Partai Gerindra, bahwa Gerindra sejak awal sudah menunjukkan posisi sebagai oposisi.[5] Namun pendapat mayoritas yang mengemuka adalah nampaknya koalisi-oposisi tahun ini diam-diam saling menjalin hubungan sambil mempersiapkan diri untuk Pilkada-Pilpres tahun 2024.[6] Tidak hanya itu, kabar selingkuhnya partai demokrat dan PAN juga ramai menjadi perbincangan. Sehingga banyak asumsi menyatakan bahwa tahun ini dan tahun-tahun mendatang, koalisi pemerintah akan sangat overweight (gemuk) sedangkan oposisi ramping membeku. Jika sudah begini, lalu siapa yang akan bertindak menyeimbangkan pemerintahan? Akhiri saja semua ini, tidak perlu ada istilah koalisi atau oposisi.  

RKUHP : Rencana Pembungkaman Kebebasan Berekspresi dan Berpendapat Atas Pemerintah
Ketiga, demokrasi merupakan paham universal yang didalamnya terkandung beberapa elemen, salah satunya adalah kebebasan dalam menikmati hak-hak dasar,[7] seperti hak untuk berserikat, berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan. Sayangnya, sebelum mengakhiri masa jabatan, para wakil kita beserta pemerintah mewacanakan untuk memasung hak dasar yang dijamin UUD 1945 ini, yang kemudian dirancang dalam RKUHP. Penulis mengasumsikan perlahan tercium rencana meremukkan sistem demokrasi kita, mulai dari Pasal 217 hingga Pasal 220 mengenai penyerangan dan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden, Pasal 240 dan Pasal 241 mengenai penghinaan terhadap pemerintah, Pasal 246 dan Pasal 247 mengenai penghasutan untuk melawan penguasa umum, serta Pasal 353 dan Pasal 354 mengenai penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara. Dikemukakan oleh Usman Hamid (Direktur Amnesty International Indonesia), jika melihat pasal penghinaan presiden, redaksi rumusan pasalnya sama persis dengan rumusan pasal perlindungan terhadap ratu Belanda. Dahulu, pasal ini digunakan untuk melindungi kekuasaan kolonial dan mengontrol masyarakat jajahannya.[8] Pertanyaannya, apakah saat ini Indonesia sedang dalam kondisi dijajah, sehingga pemerintah khawatir dan memproteksi presiden dengan pasal perisai?
Meskipun dikatakan oleh Prof. Harkristuti Harkrisnowo, pasal ini dianggap layak diperjuangkan eksistensinya, dengan alasan bahwa sudah sewajarnya jika Presiden disebut lebih dari seorang individu yang kemudian mendapatkan perlindungan khusus, tidak lain karena seorang Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh 100 juta orang dan memimpin 265 juta rakyatnya.[9] Tetapi apakah dengan rumusan pasal elastis dan tanpa batasan seperti ini, Presiden benar-benar terlindungi, ataukah rakyat yang beramai-ramai dibui?
Di samping itu, sebelumnya Pasal Penghinaan Presiden dan Wakil Presiden ini sudah dibumihanguskan oleh Mahkamah Konstitusi dengan maksud untuk memproteksi DPR dalam menggunakan hak imunitasnya mengontrol kekuasaan Presiden dan Wakil Presiden. Singkatnya menurut MK, Pasal Penghinaan Presiden ini akan menghambat kerja DPR dalam impeachment atau pemakzulan terhadap Presiden. Penulis menilai jika Pasal ini disahkan dengan tanpa membuat definisi dan batasan yang jelas, maka pupuslah harapan masyarakat Indonesia. Parlemen yang diharapkan hadir untuk mengontrol kekuasaan, justru berselingkuh dengan kekuasaan.  

Kesimpulan
            Ketiga poin ditambah dengan tiga esensi yang diramu oleh Presiden Soekarno di atas, dinilai telah dilukai kepemimpinan Jokowi dalam satu bulan belakangan. Penulis beranggapan bahwa Indonesia dapat dikategorikan sebagai negara yang sedang merangkak menuju pemerintahan otoriter yang moderat atau bisa disebut dengan semi otoriter. Alasannya, aspek dan kelembagaan Indonesia masih berkarakter demokratis, namun perlahan menyelipkan dan menjalankannya secara otoriterisme. 



[1] Mahasiswi Magister Hukum Kenegaraan, Fakultas Hukum, UGM Yogyakarta dan Staf Bina Wilayah Jawa Tengah dan DIY MITI-KM (Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia-Klaster Mahasiswa 
[2] Moh. Mahfud MD, 2017, Politik Hukum di Indonesia, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm.23
[3] Pidato Presiden RI Soekarno “Membangun Dunia Kembali (to build a world a new)” pada Sidang Umum PBB ke-XV tanggal 30 September 1960, hlm.19
[4] Firman Noor, “Oposisi Dalam Kehidupan Demokrasi: Arti Penting Keberadaan Oposisi Sebagai Bagian Penguatan Demokrasi di Indonesia”, Masyarakat Indonesia, Vol.42, Juni 2016, hlm.4
[5] Sapa Indonesia Malam, KompasTV “Aiman Wicaksono: Koalisi Gemuk vs Oposisi Mini”
[6] Hendri Satrio (Analis Komunikasi Politik Universitas Paramadina), AFD Now
[7] Muntoha, “Demokrasi dan Negara Hukum”, Jurnal Hukum, No.3, Vol.16, Juli 2009, hlm.383
[8] Rosi, KompasTV, “Rancangan KUHP Ancam Siapa”
[9] Indonesia Lawyers Club, TVOne, “Kontroversi RKUHP-Dari Pasal Kumpul Kebo Sampai Penghinaan Presiden”

Selasa, 01 Oktober 2019

RKUHP MENGEBIRI HAK ASASI MANUSIA INDONESIA : FITNAH ATAU FAKTA?


Ubaiyana[1]
Ada Apa Dengan DPR dan Pemerintah?
Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang selanjutnya disebut sebagai RKUHP adalah bentuk dari perjuangan anak-anak bangsa untuk menggantikan hukum kolonial yang sudah berlaku 72 tahun lalu sejak Indonesia merdeka. RKUHP sudah dibahas oleh 7 Presiden, sejak zaman Presiden Soeharto hingga pada Juni 2015 diajukan oleh Menteri Hukum dan HAM, Prof. Yasonna Laoly untuk dibahas oleh DPR. Dalam hal ini, penulis sepakat menyatakan bahwa pengusulan RUU KUHP ini tentu tidak bisa disebut sebagai perbuatan yang tergesa-gesa layaknya UU KPK yang sudah disetujui dan menunggu disahkan. Sebagaimana ungkapan Budiman Tanuredjo seorang wartawan senior harian Kompas, terdapat fenomena menarik yang terjadi di pemerintahan Jokowi yakni kesan para anggota DPR dan pemerintah yang memaknai semua RUU “Now or Never”. Bayangkan, jika demonstrasi berjilid-jilid tidak terjadi, bisa saja tidak hanya UU KPK yang disetujui dan menunggu disahkan, tetapi juga RKUHP, RUU Pertanahan, dan RUU lainnya.
Sebelum menelusuri lebih dalam terkait RKUHP, terdapat fakta menarik lain atas perbedaan perlakuan antara RUU KPK dan RUU KUHP. Mengapa RUU KPK tidak menerima lebih banyak aspirasi masyarakat, tidak bertindak menunda, dan buru-buru disahkan? Sedangkan RUU KUHP diberikan ruang untuk menerima aspirasi masyarakat, bertindak menunda, dan dialihkan kepada DPR periode selanjutnya? Hemat penulis, logikanya adalah karena RUU KPK berdampak langsung terhadap kepentingan politisi dan pemerintah. Sedangkan RUU KUHP tidak hanya berdampak kepada politisi dan pemerintah, tetapi juga kepada seluruh masyarakat Indonesia. Jika Bung Fahri Hamzah mengatakan bahwa UU KPK ini akan memberantas korupsi dalam waktu 5 tahun, maka penulis memaknai maksud dibaliknya. UU KPK ini bukan memberantas korupsi, tetapi meminimalisir angka koruptor. Karena bukan memudahkan, UU KPK ini justru menyulitkan pihak yang berwenang untuk menjerat para koruptor. Jadi seperti yang penulis sampaikan pada tulisan sebelumnya bahwa benar para wakil kita memang ingin membuat suatu “Maha Karya Besar” di akhir masa jabatannya atau dapat penulis sebut sebagai suatu benteng pertahanan mereka untuk duduk berkuasa di Senayan.

Pasal-Pasal RKUHP Mengebiri Hak Asasi Manusia Indonesia?
            Upaya menggantikan hukum kolonial Belanda, dilakukan tim perancang RKUHP dengan memasukkan nilai-nilai ke-Indonesia-an di dalamnya, disampaikan oleh Prof. Harkristuti Harkrisnowo, Tenaga Ahli Pemerintahan/Tim RUU KUHP. Memang benar bila satu kitab Undang-Undang pasti tidak bisa memuaskan 265 juta rakyat Indonesia. Sama seperti yang diungkapkan oleh Menteri Hukum dan HAM bahwa lebih mudah membuat KUHP di negara Belanda dengan kultur masyarakat yang homogen. Dengan kultur yang heterogen, pastinya sangat sulit untuk membuat KUHP di negara ini apalagi harus diterima oleh 265 juta manusia, that’s Impossible mind. Penundaan pengesahan RKUHP menjadi kabar baik bagi semua orang untuk menyuarakan penolakannya atas pasal-pasal yang dinilai telah merenggut hak konstitusionalnya. Berikut penulis jabarkan beberapa pasal yang menurut penulis patut menjadi perbincangan serius.

Pembungkaman Kebebasan Berekspresi dan Berpendapat Atas Pemerintah
Mulai dari Pasal 217 hingga Pasal 220 mengenai penyerangan dan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden, Pasal 240 dan Pasal 241 mengenai penghinaan terhadap pemerintah, Pasal 246 dan Pasal 247 mengenai penghasutan untuk melawan penguasa umum, serta Pasal 353 dan Pasal 354 mengenai penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara, menuai banyak kontroversi di berbagai kalangan masyarakat. Dalam penjelasan pasal, terutama Pasal 218 menjelaskan bahwa menyerang kehormatan atau harkat dan martabat pada dasarnya merupakan penghinaan dengan menyerang nama baik atau harga diri Presiden atau Wakil Presiden di muka umum termasuk menista dengan surat, memfitnah, dan menghina dengan tujuan memfitnah. Dijelaskan lebih lanjut bahwa ketentuan ini tidak dimaksudkan untuk meniadakan atau mengurangi kebebasan mengajukan kritik ataupun pendapat yang berbeda atas kebijakan pemerintah. Penjelasan Pasal 246, yang dimaksud dengan menghasut adalah mendorong, mengajak, membangkitkan atau membakar semangat orang supaya berbuat sesuatu. Menghasut dapat dilakukan dengan lisan atau tulisan, dan harus dilakukan di muka umum, artinya di tempat yang didatangi publik atau ditempat yang khalayak ramai dapat mendengar. Dalam Pasal 247, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan menyiarkan termasuk perbuatan mentransmisikan, mendistribusikan dan membuat dapat diaksesnya informasi dan dokumen elektronik dalam sistem elektronik.
Pasal ini dianggap layak diperjuangkan eksistensinya, menurut Prof. Harkristuti Harkrisnowo. Sudah sewajarnya jika Presiden disebut lebih dari seorang individu yang kemudian mendapatkan perlindungan khusus, tidak lain karena seorang Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh 100 juta orang dan memimpin 265 juta rakyatnya. Dikemukakan oleh Menkumham, Pasal penghinaan Presiden sejatinya merupakan cerminan bangsa Indonesia yang beradab. Selain itu Pasal ini hadir untuk menjaga kehormatan Presiden di tahun-tahun mendatang.
Seyogyanya untuk menuju pada perbaikan, para pembentuk UU perlu mempertimbangkan praktik di lapangan, bahwa diskresi penyidik di tingkat bawah kerap kali mengalami kecenderungan yang subyektif. Dikemukakan oleh Usman Hamid, Direktur Amnesty International Indonesia, jika melihat pasal penghinaan presiden, redaksi rumusan pasalnya sama persis dengan rumusan pasal perlindungan terhadap ratu Belanda. Dahulu, pasal ini digunakan untuk melindungi kekuasaan kolonial dan mengontrol masyarakat jajahannya. Beberapa ahli dan aktivis menyampaikan kejanggalannya seputar ketidakjelasan batasan dan tolak ukur atas pasal-pasal tersebut. Seperti halnya yang disebutkan oleh Budiman Tanuredjo, wartawan senior harian kompas, sekarang terdapat kecenderungan kriminalitas yang dikontrol untuk melakukan moderasi atau persekusi secara politik. Tentunya akan menjadi masalah besar ketika tafsir pasal makar dan penghinaan terhadap presiden kemudian dimanfaatkan untuk mengontrol politik.
Di samping itu, sebelumnya pasal-pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden ini sudah dibumihanguskan oleh Mahkamah Konstitusi dengan maksud untuk memproteksi DPR dalam menggunakan hak imunitasnya mengontrol kekuasaan Presiden dan Wakil Presiden. Singkatnya menurut MK, Pasal Penghinaan Presiden ini akan menghambat kerja DPR dalam impeachment atau pemakzulan terhadap Presiden, hal ini dinyatakan oleh Irmanputra Siddin, Pakar Hukum Tata Negara. Penulis menilai jika Pasal ini disahkan dengan tanpa membuat definisi dan batasan yang jelas, maka pupuslah harapan masyarakat Indonesia. Parlemen yang diharapkan hadir untuk mengontrol kekuasaan, justru berselingkuh dengan kekuasaan tersebut. Kekuasaan itu tidak akan pernah setia dengan yang dianggapnya teman. Kekuasaan hanya setia dengan cinta sejatinya, kapitalis. Pada akhirnya, solusi yang perlu ditempuh adalah bukan dengan meniadakan pasal ini, karena penulis turut sepakat untuk menghormati kedudukan Pemimpin dari 265 juta rakyat, namun perlu adanya kejelasan pendefinisian dan batasan rumusan dalam pasal-pasal Penghinaan Presiden dan Pasal yang sejenis.

Pasal Penodaan Agama Mengintervensi Ilmu Pengetahuan
            Terhitung dari Pasal 304, 305, 306, hingga Pasal 308, menjelaskan mengenai Tindak Pidana Terhadap Agama dan Terhadap Kehidupan Beragama dan Sarana Ibadah. Dalam penjelasan pasal, Pasal 304 menjelaskan bahwa penghinaan adalah merendahkan kesucian agama, karena dinilai tidak menghormati dan menyinggung perasaan umat yang menganut agama. Misalnya, menghina ke-Agung-an Tuhan, Firman, sifat-sifat-Nya, atau menghina Nabi/Rasul, yang akan menimbulkan keresahan dalam kelompok umat yang bersangkutan. Dalam penjelasan Pasal 308, perbuatan mengejek atau mengolok-olok umat yang sedang menjalankan atau memimpin ibadah atau petugas ibadah yang melakukan tugasnya.
            Pasal-pasal ini dianggap multi tafsir dan lebih khusus dinilai mengintervensi ilmu pengetahuan. Cania Citta Irlanie, Pemimpin Redaksi Geolive menyatakan bahwa Jika disandingkan dengan Tindak Pidana Terhadap Ideologi Negara, mengenai Penyebaran Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme, Pasal 188 ayat (6) bahwa tidak dipidana orang yang melakukan kajian terhadap ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme untuk kepentingan ilmu pengetahuan, maka Pasal penodaan ini dapat dikatakan mengintervensi ilmu pengetahuan. Pasal ini tergolong pasal karet yang dapat digunakan sesukanya. Mengambil contoh, Ustadz Abdul Somad dituduh melakukan penghinaan agama atas perbuatannya menjelaskan akidah agama Islam di tengah komunitas umat Islam, dalam rumah ibadah agama Islam, bukan melalui stasiun televisi atau media sosial serta tidak terbuka untuk umum, yang beberapa waktu lalu menjadi isu kontroversial. Dalam kasus lain, Arswendo Atmowiloto pada tahun 1990. Saat itu Arswendo membuat polling di Tabloid Monitor, “Siapa tokoh idola menurut para pembacanya?” menurut hasil polling yang dirilis tabloid, nama Presiden Soeharto berada di urutan pertama, disusul nama Presiden BJ Habibie, kemudian nama Presiden Soekarno, lalu musisi Iwan Fals. Nama Arswendo termasuk dalam urutan ke-10, dan Nabi Muhammad SAW berada pada urutan ke-11. Atas perbuatan ini, Arswendo diputuskan bersalah dan dihukum bui selama 5 tahun.
            Tentu karena adanya pasal elastis seperti ini, mengakibatkan penegak hukum cenderung leluasa dalam menafsirkan dan memaknainya. Tidak hanya Pasal Penghinaan Presiden dan Wakil Presiden, tetapi juga Pasal Tindak Pidana Terhadap Agama perlu diperjelas dan dibatasi dalam perumusan pasalnya. Sehingga, Pasal ini seharusnya bertujuan untuk melahirkan toleransi bukan meningkatkan permusuhan. Sedikit-sedikit suatu kelompok merasa tersinggung, merasa direndahkan, dihina, diolok-olok, bahasanya “mumpung ada hukuman, laporin yuk biar kapok”. Padahal masyarakat kita pada prinsipnya sudah memahami dasar-dasar hidup toleransi antarsesama. Tidak perlu dikompori dengan hukuman-hukuman dan ancaman-ancaman. Jika dinilai perlu ada, maka cukup dibuatkan batasan-batasannya.

 Gelandangan Semakin Termarginalkan oleh Negara
            Dalam RKUHP Pasal 431 mengenai Penggelandangan, bahwa setiap orang yang bergelandangan di jalan atau di tempat umum yang mengganggu ketertiban umum dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori I (1 Juta). Menanggapinya, Menteri Hukum dan HAM mengatakan bahwa ada pidana alternative lain selain denda, yaitu pengawasan atau kerja sosial atau dikenakan tindakan seperti kewajiban mengikuti pelatihan kerja. Beberapa ahli memberikan tanggapannya, bahwa dalam Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara negara. Dalam konteks menggelandang, seharusnya pemerintah mengambil langkah non-represif dan sejalan dengan perlindungan dan pemeliharaan yang termuat dalam Pasal 34 di atas. Kemudian upaya untuk mengurangi gelandangan merupakan ranah kekuasaan lembaga eksekutif dalam bidang perlindungan sosial dan melalui program penanggulangan kemiskinan.
            Lebih lanjut Haris Azhar, Aktivis HAM dan juga Direktur Eksekutif Lokataru, mengungkapkan kekecewaannya pada pemerintah yang tidak menitikberatkan social science dalam penyusunan legislasi. Haris menekankan bahwa dalam penyusunan UU, tidak bisa hanya dengan menggunakan metodologi sesuai dengan UU No.12 Tahun 2011, tidak bisa hanya dengan menyerap aspirasi masyarakat dengan datang ke kampus-kampus, karena pada faktanya bukan akademisi yang dipidana, bukan mahasiswa, bukan ahli hukum, bukan dosen, bukan aktivis atau pegiat dan yang lainnya, tetapi gembel. Gembel tidak dapat ditemui di universitas, gembel tidak menikmati tontonan Indonesia Lawyers Club, gembel tidak tahu-menahu pernyataan dan perdebatan para Menteri, DPR dan para ahli ini. Jika pada awalnya disampaikan bahwa RKUHP ini adalah perjuangan anak bangsa untuk menggantikan hukum barat, maka hal ini bertentangan dengan keberadaan Pasal Gelandangan. Karena perlu diketahui bahwa tradisi menghukum gembel adalah tradisi hukum negara-negara barat. Tradisi negara barat adalah memberikan denda atas gembel, karena nilai estetik lebih dipentingkan daripada nilai etik.
Penulis menilai bahwa KUHP bukan hanya sekedar teks yang dibahas, ditetapkan dan disahkan, tetapi KUHP merupakan cerminan praktik kehidupan yang sudah, sedang dan akan berlaku dalam masyarakat. Maka dari itu, penulis sepakat untuk meniadakan dan menghapus Pasal 431 ini. Jika pemerintah ingin membumihanguskan kitab berbau kolonial dari Tanah Air, maka segala bentuk nilai kolonial yang termuat dalam rumusan pasal seharusnya juga dibumihanguskan, termasuk Pasal Gelandangan ini.

Pengguguran Kandungan (Aborsi) Korban Perkosaan dan/atau Alasan Medis
            Pasal 469-471 RKUHP mengenai Pengguguran Kandungan dikecualikan bagi korban perkosaan. Hal ini disampaikan oleh Prof. Yasonna Laoly bahwa terhadap pelaksanaan pasal ini, asas Lex Specialis Derogat Legi Generali yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus mengesampingkan hukum yang bersifat umum, dapat diberlakukan atas Undang-Undang No.36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Pasal 75 ayat (2), yang menyatakan bahwa dapat dikecualikan berdasarkan: a. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau b. kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan. Penulis sepakat bahwa tidak ada yang perlu dipermasalahkan dengan eksistensi pasal ini.

Pemberantasan Korupsi Perlahan Diperlemah  
            Dalam Undang-Undang No.31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 2 menyatakan bahwa, setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekenomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit dua ratus juta (200 Juta) dan paling banyak satu miliar (1 M). Sedangkan dengan rumusan pasal yang sama, Pasal 603 RKUHP, menyatakan dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit kategori II (10 Juta) dan paling banyak kategori VI (2 M). 
            Semua bentuk perbuatan korupsi yang dijabarkan dalam RKUHP adalah yang sebelumnya sudah tercantum dalam UU Tipikor. Andreas Marbun, Peneliti MAPPI FH UI mengatakan bahwa jika ingin lebih baik dalam pemberantasan korupsi, seharusnya tim perumus RKUHP berkolaborasi dengan United Nations Convention Against Corruption (UNCAC). Terdapat banyak jenis perbuatan korupsi yang belum diatur di Indonesia. Padahal sebelumnya pada bulan Mei, dalam draf RUU KUHP telah mengatur tindak pidana baru yang diadopsi dari UNCAC. Namun di bulan Juni draf itupun berubah. Mengapa bisa terjadi, biarlah para Bapak Ibu DPR yang memberikan jawaban. Artinya, berlakunya RKUHP tidak akan berdampak lebih baik atau bahkan bisa lebih buruk. Jika hal-hal yang diatur justru meringankan koruptor, maka dapat menjadi bukti bahwa ada upaya sistematis untuk membuat orang-orang yang sedang terjerat dan akan terjerat korupsi menjadi lebih leluasa dan melakukan perlawanan terhadap agenda penuntasan korupsi, hal ini dikemukakan oleh Tama S Langkun, Peneliti Indonesia Corruption Watch.
Pada kesimpulannya, dalam RKUHP memang tidak hanya terdapat pasal yang melemahkan agenda pemberantasan korupsi, tetapi juga terdapat pasal yang memperkuat yakni dengan memperberat hukuman. Namun jika mengulas ke belakang dengan menjumlahkan upaya yang dianggap sistematis dari pengesahan UU KPK yang pada beberapa poin penting dinilai melemahkan, kemudian dengan RKUHP ini, maka tidak salah jika penulis beranggapan bahwa KPK sengaja dilemahkan dari sisi organisasinya terlebih dahulu kemudian dari sisi hukum materil dan formilnya.
            Selain pasal-pasal di atas, sebenarnya terdapat pasal lain yang juga hangat dipersoalkan beberapa orang, seperti mengenai Perzinahan dalam Pasal 417 dan 418 RKUHP. Dalam perumusan pasal ini, Arsul Sani (Anggota Komisi III RI F-PPP) menyatakan bahwa terdapat dua kelompok yang memperdebatkannya. Ada yang menyatakan bahwa perbuatan ini wajib diatur untuk menjaga moralitas bangsa, ada yang mengatakan sebaliknya untuk tidak terlalu jauh mengatur hingga ranah privat, dan ada juga yang mengusulkan boleh diatur tetapi substansinya dimasukkan dalam delik biasa. Untuk menengahinya, semua sepakat untuk diatur tetapi termasuk dalam delik aduan. Terkait subjek yang mengadukan juga dibatasi, yakni suami atau istri, orangtua atau anak, serta kepala desa juga dibolehkan mengadukan jika keluarganya tidak keberatan. Hal ini berangkat dari filosofi hukum pidana Indonesia, yang menegaskan bahwa bentuk kerugian terbagi atas dua, yaitu kerugian individu (individual damage) dan kerugian sosial/masyarakat/lingkungan (social damage).
Sebagai negara yang berideologi Pancasila dengan landasan agama dan kepercayaan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah dan keadilan, maka sudah sepatutnya negara ini mengatur adab manusia Indonesia, tidak terkecuali hubungan seksual di luar ikatan yang sah atau disebut perzinahan, serta hidup bersama tanpa adanya ikatan perkawinan. Bagaimana tidak? fenomena moral anak bangsa saat ini sudah jauh dari karakter masyarakat Indonesia yang seharusnya. Pelajar dan anak usia SD, SMP, SMA, serta mahasiswa atau pemuda yang bebas melakukan hubungan seksual, yang videonya diedarkan melalui media sosial, kemudian diketahui oleh masyarakat di sekitarnya, bahkan sudah tidak peduli saat keluarganya menanggung malu. Pertanyaannya, mereka yang mempermasalahkan pasal ini apakah mau generasi bangsa ini rusak dengan kebebasan sebebas-bebasnya?
Kemudian tentang “pembiaran unggas” dalam Pasal 278 RKUHP yang menyatakan, setiap orang yang membiarkan unggas yang diternaknya berjalan di kebun atau tanah yang telah ditaburi benih atau tanaman milik orang lain, dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori II (10 Juta). Mengutip pernyataan dari Prof. Harkristuti Harkrisnowo, pada prinsipnya hukum pidana dipergunakan sebagai alat terakhir apabila sarana lain tidak mampu untuk menyelesaikannya. Tidak semua orang yang masuk pengadilan harus dihukum, hakim bisa memberikan bentuk hukuman lain seperti judicial pardon atau permohonan maaf. Karena pasal ini sangat erat kaitannya dengan masyarakat pedesaan bukan perkotaan, maka penulis mengingatkan kembali bahwa saat ini dan semoga selamanya, hukum tidak tertulis dalam masyarakat (unwritten law) lebih membudaya dan dipercaya dibandingkan dengan hukum nasional yang berlaku. Artinya, dapat dikatakan bahwa pasal ini hanya akan menjadi pasal “basa-basi”.

Kesimpulan dan Saran
            Dari lima isu yang penulis sampaikan di atas, dapat disimpulkan bahwa:
1.     Terdapat setidaknya tiga isu dari lima isu di atas yang dinilai dan dianggap dapat mengebiri hak asasi manusia Indonesia, diantaranya; Pertama, Pasal 217 hingga Pasal 220 mengenai penyerangan dan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden, Pasal 240 dan Pasal 241 mengenai penghinaan terhadap pemerintah, Pasal 246 dan Pasal 247 mengenai penghasutan untuk melawan penguasa umum, serta Pasal 353 dan Pasal 354 mengenai penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara. Kedua, Pasal 304, 305, 306, dan 308, mengenai Tindak Pidana Terhadap Agama dan Terhadap Kehidupan Beragama dan Sarana Ibadah. Ketiga, Pasal 431 mengenai Penggelandangan, yang seharusnya diupayakan untuk hidup sejahtera. Pasal-pasal ini sebaiknya dirumuskan dan dibatasi secara jelas sehingga tidak menimbulkan multitafsir berlebihan. Khususnya Pasal mengenai gelandangan, sebaiknya dihapuskan.

2.      Penundaan pengesahan RKUHP ini membuka ruang dan kesempatan bagi siapapun untuk menyampaikan aspirasinya atau menyampaikan penolakannya terhadap rumusan pasal yang dapat merugikan dirinya dan orang-orang di sekitarnya.


[1] Mahasiswi Magister Hukum Kenegaraan, Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan Staf Bina Wilayah Jakarta, Banten, Jawa Barat MITI-KM (Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia Klaster Mahasiswa)

SYARAH PANCASILA : TAARUF DENGAN NEGARA MELALUI AGAMA

Pendahuluan Sebagai suatu kesatuan kehidupan masyarakat, bangsa memiliki cita-cita hidup yang disebut sebagai ideologi. Ideologi menj...