Rabu, 25 September 2019

FAKTA DIBALIK REVISI KILAT UNDANG-UNDANG KPK (BUKAN KOMISI PENYEMANGAT KORUPTOR)

Ubaiyana[1]

Pendahuluan
Secara sosiologis, pro dan kontra yang terjadi menunjukkan perlu adanya evaluasi dan kajian yang mendalam. Teori politik hukum mengatakan bahwa lahirnya suatu produk Undang-Undang sangat kental diwarnai oleh kepentingan politik yang berkuasa pada saat itu. Jika dikaitkan dengan pengesahan revisi Undang-Undang KPK, terdapat dua sisi tanggapan wajar yang penting menjadi perhatian, bahwa di satu sisi wajar jika KPK beserta masyarakat menaruh curiga bahkan curiga yang berlebihan, dan di sisi lain juga wajar bagi anggota legislatif dengan kuasanya bertindak kilat menggelindingkan revisi atas UU KPK untuk menampilkan suatu maha karya di akhir masa jabatannya. Untuk memahami maksud dibalik pengesahan kilat revisi UU KPK ini, penulis akan menyajikan beberapa pendapat para ahli yang dianggap berwenang untuk memberikan pendapatnya, terlepas dari dugaan maksud revisi UU KPK ini justru memperkuat atau malah memperlemah.

Fakta Dibalik Revisi Kilat Undang-Undang KPK
Pertama, ketidaktepatan dalam pemilihan dan penggunaan waktu yang terkesan “terburu-buru”. Revisi UU No.30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu 13 hari sejak tanggal 5 September, akhirnya disahkan pada tanggal 17 September 2019. Setelah disetujui oleh 10 fraksi di DPR RI, revisi UU KPK distatuskan menjadi RUU inisiatif DPR. Tidak seperti DPR yang biasanya, surat sekaligus draf RUU KPK segera dikirimkan kepada presiden. Sama halnya dengan DPR, pada tanggal 11 September Presiden dengan sigap menerbitkan surat presiden untuk memulai pembahasan RUU KPK. Padahal sesuai dengan UU No.12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Pasal 49 ayat (2), Presiden memiliki waktu paling lama 60 hari untuk mempertimbangkan hingga kemudian mengutus Menteri. Salah satunya dengan mempertimbangkan aspirasi masyarakat yang bergejolak. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Syafruddin, kemudian diutus oleh presiden untuk menyampaikan sikap dan pandangan mengenai substansi RUU KPK. Dengan tanpa keraguan serta bersikap acuh atas respon masyarakat yang agresif menolak pengesahan beberapa pasal kontroversial, tepat pada tanggal 17 September RUU KPK disahkan. Bayangkan, dalam jangka waktu 7 hari sejak diterbitkannya surat presiden, DPR dengan segera mengesahkan RUU KPK, yang seharusnya sesuai dengan UU No.12 Tahun 2011 Pasal 50 ayat (3), DPR memiliki waktu paling lama 60 hari untuk membahas dan mempelajari kembali RUU KPK.
Prof. Mahfud MD pakar hukum tata negara yang juga mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, berpendapat bahwa dimensi waktu dinilainya tidak tepat. Untuk membahas suatu Undang-Undang membutuhkan waktu yang lama. Presiden masih harus membuat tim untuk menganalisis dan membuat daftar inventarisasi masalah. Tidak hanya itu, sidang di DPR juga tidak hanya satu, ada sidang Bamus, sidang Paripurna, dan seterusnya. Secara logis, amat sangat tidak mungkin untuk menghasilkan peraturan perundang-undangan yang baik.
Zainal Arifin Mochtar sebagai seorang pakar hukum tata negara turut menyoroti perihal kerja kilat para penguasa legislatif ini. Sudah jelas tertera dalam Undang-Undang No.12 Tahun 2011 Pasal 16, bahwa perencanaan penyusunan Undang-Undang dilakukan dalam Prolegnas. Dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 23 ayat (2), bahwa dalam keadaan tertentu, DPR atau Presiden dapat mengajukan Rancangan Undang-Undang di luar Prolegnas mencakup: (a) untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam; dan (b) keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu Rancangan Undang-Undang yang dapat disetujui bersama oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi dan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. Lalu timbul pertanyaan, jika sudah jelas tidak masuk dalam Prolegnas, maka apa alasan yang mendasari DPR dan Presiden untuk mengajukan RUU KPK sebagai RUU inisiatif?
Revisi UU KPK diajukan karena keresahan atas tata manajemen KPK yang dinyatakan sedang bermasalah dan berantakan, hal ini diungkapkan oleh anggota komisi hukum DPR Fraksi PDIP. Arteria Dahlan juga menyatakan bahwa dalam periode 2015-2019 telah terjadi penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh KPK. Tidak hanya itu, perlu adanya mekanisme kontrol terhadap lembaga anti rasuah ini. Tidak lain karena negara ini adalah negara hukum yang mau tidak mau segala tindakan diatur oleh hukum. Pada tahun 2017-2018, laporan audit investigasi BPK membuktikan bahwa kewenangan luar biasa yang diberikan kepada KPK, dalam implementasinya berlaku sebaliknya (biasa saja), sebut Prof. Romli Atmasasmita seorang Pakar Hukum Pidana. Pertanyaan selanjutnya, apakah pendapat yang dikemukakan di atas bermakna sebagai suatu keadaan luar biasa atau urgensi nasional yang dalam hal ini buram tafsiran? Apa salahnya jika pengesahan ini ditunda untuk membahas kembali beberapa pasal yang dinilai kontroversial? Jangan suuzon, bisa saja memang niat DPR dan Pemerintah baik namun pemahaman KPK dan masyarakat belum sejalan.
Maka dari itu, mengutip pernyataan dari Taufiequrachman Ruki (ketua KPK periode 2003-2007), KPK, Perwakilan Masyarakat, DPR dan Pemerintah perlu duduk dan membahas bersama-sama RUU KPK ini. Jika memang ada urgensi nasional yang mendesak perlu disegerakannya pengesahan RUU KPK, maka jelaskan apa alasan yang mendesak tersebut. Ditambahkan oleh Thony Saut Situmorang (Pimpinan KPK Periode 2015-2019), tidak perlu tergesa-gesa, baiknya revisi lebih dulu dilakukan atas UU Tindak Pidana Korupsi, UU Perampasan Aset, KUHP dan KUHAP, serta mulai membahas kembali RUU KPK.
 Penulis perlu menegaskan dengan mengutip pernyataan dari Prof. Romli Atmasasmita, produk perundang-undangan perlu mengalami perubahan untuk mengikuti zaman. Sehingga dalam hal ini tidak ada satu pun ahli yang menentang dilaksanakannya revisi UU KPK. Namun yang menjadi perdebatan adalah sikap terburu-buru DPR dan Presiden dengan tidak mengindahkan aspirasi masyarakat dari berbagai lapisan serta ketidakterbukaan DPR terkait dengan alasan menggelari RUU KPK sebagai RUU inisiatif. Mengenakan pertanyaan yang serupa dengan seorang pakar hukum tata negara Prof. Mahfud MD, Kenapa tidak ditunda saja? bernegara artinya berhukum, berhukum artinya bersabar. Benang merahnya adalah perbaiki komunikasi dan sebaiknya pengesahan RUU KPK ini ditunda.
 Kedua, pasal-pasal yang termuat dalam RUU KPK, dinilai mengandung dua maksud yakni antara pelemahan/penguatan. Perdebatan maksud tidak lain karena tidak ada komunikasi yang jernih antara KPK dan DPR. Agus Rahardjo yang merupakan Pimpinan KPK periode 2015-2019 mengemukakan bahwa hingga tanggal 13 September, sama sekali tidak mengetahui draf RUU KPK yang sesungguhnya. Berbeda halnya dengan Presiden yang mengungkapkan bahwa sebelum memutuskan revisi terbatas UU KPK, pihaknya telah mempelajari dan mendengarkan masukan dari masyarakat yang meliputi pegiat anti korupsi, akademisi, mahasiswa dan tokoh bangsa. Jika melihat kondisi yang terjadi, dan meminjam pernyataan Prof. Mahfud MD, bahwa rakyat gelisah. Lalu, pertanyaannya masyarakat yang mana yang dimintai masukan? Pegiat anti korupsi yang mana? Akademisi dan mahasiswa yang mana?
Di sini penulis hanya akan menyinggung beberapa pasal yang menurut hemat penulis mengandung polemik dan perlu didudukkan serta dikaji secara mendalam. Mari kita bahas satu per satu.

Pasal 1 angka 3: KPK adalah lembaga Pemerintah Pusat yang melaksanakan tugas pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

            Wiranto, Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan menyatakan, bahwa lembaga KPK termasuk dalam ranah kekuasaan lembaga eksekutif atau lembaga pemerintah. Sejatinya, hal ini sudah sesuai dengan keputusan MK No.36 POO-XV/2017 yang bersifat final dan mengikat. Sehingga Pasal 1 ini tidak lahir dengan tanpa alasan. Menyoroti hal yang sama, Prof. Mahfud MD mantan Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat sebaliknya bahwa dalam UU, KPK bukan mandataris Presiden. Dalam melaksanakan tugas dan kewenangan berada di lingkungan eksekutif tetapi bukan bawahan pemerintah. Sehingga tidak bisa diintervensi oleh pemerintah. menurut penulis, poin ini penting ditelusuri lebih dalam karena berdampak pada status independen yang disematkan pada KPK.

Pasal 12B ayat (1): Penyadapan dilaksanakan atas izin tertulis dari Dewan Pengawas.
                         (2): Pimpinan KPK meminta izin tertulis kepada Dewan Pengawas untuk melakukan penyadapan.
                         (3): Dewan Pengawas dapat memberikan izin tertulis atau tidak paling lama 1x24 jam sejak permintaan izin diajukan.
                         (4): Setelah mendapatkan izin, penyadapan dilakukan paling lama 3 bulan sejak izin diterima dan dapat diperpanjang 1 kali untuk jangka waktu yang sama.
            
          Febri Diansyah (Juru bicara KPK) mengungkapkan fakta bantahan terkait batasan waktu penyadapan paling lama 3 bulan. Bagaimana bisa para pembuat kebijakan merumuskan suatu hal yang mereka sendiri tidak pernah menjalaninya. Perlu diketahui bahwa sebuah kasus tindak pidana korupsi bisa saja dalam pengusutannya berada di luar kewenangan tim penyidikan KPK, sehingga membutuhkan waktu lebih banyak dari yang ditetapkan.

Pasal 37A ayat (1): Dalam rangka mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang KPK dibentuk Dewan Pengawas.
                         (2): Dewan Pengawas merupakan lembaga nonstruktural yang dalam tugas dan wewenangnya bersifat mandiri.
Pasal 37B ayat (1): Dewan Pengawas bertugas mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang KPK, memberi izin atau tidak penyadapan, penggeledahan dan/atau penyitaan, menyusun dan menetapkan kode etik pimpinan dan pegawai KPK, menyelenggarakan sidang atas dugaan pelanggaran kode etik pimpinan dan pegawai KPK, dan lainnya.
Pasal 37E ayat (1): Ketua dan Anggota Dewan Pengawas dipilih oleh DPR berdasarkan calon Anggota yang diusulkan oleh Presiden.

Prof. Romli Atmasasmita berargumen bahwa hadirnya Dewan Pengawas sebagai akibat dari kewenangan dalam pengawasan yang diberikan kepada publik nyatanya tidak berjalan efektif. Buktinya, banyak pra peradilan KPK yang kalah bahkan mengalami kekeliruan. Pada hakikatnya, keberadaan dewan pengawas dimaksudkan untuk mengkritik, mengawasi dan mencegah tindakan sewenang-wenang, sehingga kemudian menjadi bahan untuk perbaikan. Tidak ada yang perlu dipermasalahkan mengenai eksistensi dewan pengawas, yang perlu dipersoalkan adalah siapa yang akan menjadi dewan pengawas. Sehingga hal ini akan dibahas lebih lanjut.
Disampaikan oleh Arteria dahlan, saat ini KPK hanya memiliki lembaga pengawas internal yang hanya berani bertindak kepada pegawai tidak tetap dan pegawai yang bekerja kurang dari 4 tahun. Kepada komisioner, direktur, serta tetua-tetua KPK, mereka takut dan tunduk. Jika ditelusuri, Dewan Pengawas hadir sebagai kado yang selama ini diidam-idamkan oleh KPK. Dalam kasusnya, internal KPK tumpul sehingga DPR kesulitan untuk melakukan pengawasan. Di samping itu, rekomendasi BPK tidak pernah dikerjakan bahkan saat ini BPK sedang dijadikan target berikutnya oleh KPK. Dengan kewenangan bagai malaikat yang dianggap tidak akan berbuat dosa, KPK mulai hangat diperbincangkan terkait dengan terjadinya kecelakaan-kecelakaan yang menurut Saut Situmorang adalah kecelakaan kecil dan residu-residu yang mengendap, yang kemudian hadir merongrong legitimasi KPK seperti yang disampaikan oleh Johnson Panjaitan seorang praktisi hukum. Johnson juga menambahkan bahwa BPK dalam laporan auditnya mengungkapkan bahwa dibanding KPK, Polisi dan Jaksa lebih banyak mengembalikan kerugian negara. Khawatirnya, ternyata tidak hanya pemerintah dan KPK, tetapi juga LSM dan aliansi mahasiswa bersama-sama mengetahui dan menutupi fakta tersebut.
Karena negara ini menganut sistem presidensial, maka semua lembaga negara harus tunduk pada hukum, tanpa terkecuali KPK. Sudah cukup KPK dipandang sebagai public hero. Bisa saja Presiden membuat Perppu untuk membubarkan KPK dan meminta persetujuan DPR, jika memang KPK dinilai sudah terlalu jauh menyimpang. Rakyat harus tahu bahwa sistem ini sudah bernanah dari dalam, tidak ada satu pun lembaga yang dipercaya. DPR tidak dipercaya, karena ketua DPR masuk sukamiskin, ketua DPD ditangkap 100 juta kemudian masuk sukamiskin, ketua MK pun mengalami hal serupa, ketua MA digeledah kantornya, pungkas Fahri Hamzah (Wakil Ketua DPR RI).
Di sini penulis justru mempertanyakan, jika terdapat penyimpangan dalam internal KPK, seperti yang disampaikan oleh Arteria Dahlan, yang kemudian penyimpangan-penyimpangan tersebut dirangkum dalam sebuah buku laporan audit BPK, mengapa DPR, pemerintah, dan BPK tidak membiarkan masyarakat tahu tentang penyimpangan yang dimaksud? Kemukakanlah secara gamblang agar masyarakat tahu seberapa besar penyimpangan yang dilakukan oleh KPK, sehingga lagi-lagi dalam hal ini sikap keterbukaan menjadi sangat penting untuk dilakukan DPR dan Pemerintah.
Berbeda dengan pendapat para ahli di atas, pakar hukum tata negara Zainal Arifin Mochtar berteori mengenai eksistensi dewan pengawas. Di dunia ini, tidak ada satu pun lembaga independen yang di dalamnya menghadirkan Dewan Pengawas, atau dengan kata lain lembaga independen tidak meletakkan tugas pengawasan pada Dewan Pengawas. Jika ingin melakukan pengawasan terhadap lembaga independen, maka bangunlah suatu sistem pengawasan. Perlu dipahami bahwa pada hakikatnya, lembaga independen bebas dari campur tangan kekuasaan mana pun khususnya pemerintah, yang justru menjadi sasaran potensial. Inilah kegunaan teori, semata-mata agar dalam praktik tidak jauh menyimpang. Juru bicara KPK Febri Diansyah menambahkan, apalagi diterangkan bahwa Dewan Pengawas akan dipilih oleh DPR atas usulan Presiden, yang menandakan bahwa akan terjadi proses tarik-menarik kepentingan dan dampak politik berkepanjangan. Pertanyaan berikut yang muncul adalah siapa yang akan melakukan pengawasan terhadap Dewan Pengawas KPK, begitu pun setelahnya, siapa? Akankah logika Dewan Pengawas ini berujung?
            Dari sekitar 70 Pasal yang dituangkan dalam draf Rancangan Undang-Undang Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, penulis hanya menemukan lima pasal (Pasal 1, Pasal 12B, Pasal 37A, Pasal 37B dan Pasal 37E) yang dinilai cukup rentan menjadi persoalan. Selebihnya, penulis berpendapat setuju dan sepakat terutama dengan strategi yang dicanangkan bagi KPK melalui Pasal 7 yang menerangkan, bahwa KPK perlu mengutamakan penyelenggaraan upaya pencegahan tindak pidana korupsi secara masif kepada seluruh lapisan masyarakat, tidak terkecuali pejabat negara.
Sedangkan ketentuan dalam Pasal 11 ayat (1) yang menjelaskan kewenangan KPK untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi yang menyangkut kerugian negara paling sedikit 1 M (satu milyar rupiah), juga mendapat banyak pertentangan. Untuk menanggapinya, penulis menyatakan sepakat dengan Prof. Romli yang beralasan bahwa oleh karena KPK adalah lembaga yang diberikan kewenangan luar biasa oleh pemerintah, maka sudah sewajarnya jika tugas dan kewenangan yang diembannya juga harus luar biasa. Mari bangun kepercayaan yang serupa dengan KPK terhadap Kepolisian dan Kejaksaan untuk menangani kerugian negara di bawah angka 1 M. Singkatnya, pembatasan kewenangan memang perlu dilakukan agar KPK dapat melaksanakan tugas dan kewenangannya yang luar biasa untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi secara efektif. Toh, sebagaimana tercantum dalam Pasal 10A, KPK dapat mengambil alih penyidikan yang sedang dilakukan oleh Kepolisian atau Kejaksaan dengan alasan yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Kesimpulan dan Saran
              Pada kesimpulannya, penulis menemukan dua fakta penting dibalik revisi kilat UU Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ini. Pertama, perihal waktu yang terburu-buru. Mengutip hadits yang diriwayatkan oleh Abu Ya’la dalam musnadnya dan Baihaqi dalam Sunanul Qubro, “…..wal ‘ujlatu minasy syaithon” artinya ….dan sifat tergesa-gesa itu berasal dari setan. Pemilihan waktu yang baik dan yang diperlukan untuk membahas sesuatu khususnya peraturan, ternyata memiliki dampak yang meluas.
Kedua, perihal perubahan dan penambahan pasal-pasal dengan tanpa melalui diskusi dan dengar pendapat dari seluruh lapisan masyarakat yang terkait secara langsung atau tidak, terlepas dari masyarakat yang turun ke jalan memahami secara lengkap atau tidak RUU KPK yang diusulkan. Tentu tindakan pengabaian aspirasi masyarakat ini bertentangan dengan ketentuan yang mengatur, yaitu dalam Pasal 5 UU No.12 Tahun 2011, bahwa dalam membentuk peraturan perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan asas pembentukan peraturan perundang-undangan, salah satunya adalah kejelasan tujuan dan keterbukaan.
Pada akhirnya, jalan terbaik yang seharusnya ditempuh adalah duduk dan bahas bersama. Jika dirunut satu per satu, tidak ada pihak yang menginginkan ketentuan yang dapat memperlemah KPK, baik masyarakat, KPK, Presiden bahkan DPR mengidamkan ketentuan yang dapat memperkuat KPK. Hanya strategi yang dituju oleh masing-masing dari mereka, berbeda.




[1] Mahasiswa Magister Hukum Kenegaraan, Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan Penerima Beasiswa (Awardee) Lembaga Pengelola Dana Pendidikan Republik Indonesia

SYARAH PANCASILA : TAARUF DENGAN NEGARA MELALUI AGAMA

Pendahuluan Sebagai suatu kesatuan kehidupan masyarakat, bangsa memiliki cita-cita hidup yang disebut sebagai ideologi. Ideologi menj...