Senin, 15 Juni 2020

SYARAH PANCASILA : TAARUF DENGAN NEGARA MELALUI AGAMA



Pendahuluan
Sebagai suatu kesatuan kehidupan masyarakat, bangsa memiliki cita-cita hidup yang disebut sebagai ideologi. Ideologi menjadi pedoman dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi dan menjadi penentu masa depan bangsa. Bangsa Indonesia memiliki Pancasila sebagai pandangan hidup yang sejak dahulu telah dirumuskan para pahlawan. Ketetapan MPR No. XVIII/MPR/1998 tentang Pencabutan Ketetapan MPR RI No.II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Eka Prasetya Pancakarsa) dan Penetapan tentang Penegasan Pancasila sebagai dasar Negara, mengungkapkan bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam ideologi Pancasila menjadi cita-cita normatif penyelenggaraan negara. Secara luas dapat diartikan, arah dari penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia adalah terwujudnya kehidupan ber-Ketuhanan, ber-Kemanusiaan, ber-Persatuan, ber-Kerakyatan, dan ber-Keadilan.[1]
Pancasila telah mempersatukan bangsa Indonesia, sehingga dari tiap-tiap sila Pancasila tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Tidak hanya sebagai cita-cita normatif, Pancasila juga mengandung nilai-nilai yang dapat merangkul seluruh kebutuhan masyarakat Indonesia, bahkan dapat membantah segala bentuk propaganda perpecahan yang dibuat oleh kelompok sempalan yang belakangan ini terus ramai menjadi perbincangan. Pernyataan yang sering muncul salah satunya adalah konsep kedaulatan rakyat merupakan konsep sekuler yang menyangkal kedaulatan Tuhan. Salah satu dari mereka yang berkumandang adalah orang-orang yang mengilusikan negara Indonesia sebagai negara Islam atau akrab dikenal dengan Negara Islam Indonesia (NII). Sejatinya, apa yang mereka perjuangkan adalah penyematan label atau merek Islam. Perlu menjadi catatan kita semua bahwa tidak ada rujukan baik dari al-Quran maupun hadis Nabi tentang penyematan label Islam pada negara. Penegasan ini sangat diperlukan, karena pada umumnya pengusung label negara Islam adalah orang-orang yang selalu mengukur kebenaran dengan teks agama. Semakin harfiah (tekstual) suatu rujukan, semakin tinggi nilainya. Sesuatu yang tidak punya rujukan teks al-Quran dan hadis disebut bid’ah, semua bid’ah adalah sesat, dan semua yang sesat adalah neraka. Dengan menggunakan premis yang sama dengan kelompok di atas, dapat ditegaskan pula bahwa penamaan “Negara Islam” adalah bid’ah dhalalah (bidah yang sesat). Apabila penamaan negara Islam merupakan kewajiban atau minimal keutamaan, maka Rasulullah telah menamakan negara Madinah dengan sebutan “Negara Islam Madinah”. Namun, faktanya tidak. Bahkan sebutan “Negara Islam Madinah” tidak pernah ditemukan dalam dokumen hadis, pemikiran atau narasi sejarah Islam yang otoritatif sejak zaman Nabi sampai sekarang. Perlu diketahui bahwa term “Dar al-Islam” atau “Dawlah Islamiyah”, ditemukan dalam teks komentar atas ayat al-Quran, hadis atau dalam teks-teks fikih sekitar abad kedua. Istilah tersebut terbatas dalam pengertian sosiologis yang menunjuk pada negeri atau wilayah dengan penduduk mayoritas beragama Islam. Istilah ini muncul sekitar awal abad ke-20 sejak runtuhnya Turki Utsmani tahun 1924, kemudian diperkeras oleh munculnya Negara Yahudi Israel pada tahun 1948. Dengan kata lain, istilah Negara Islam merupakan reaksi politik umat Islam terhadap pengaruh luar dalam relasi dan kontestasi dengan blok dunia Kristen di Eropa dan Barat.[2]

Syarah Pancasila Sebagai Klarifikasi Kesalahpahaman Kelompok Sempalan
Jika ditelusuri lebih dalam, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan Pancasila-nya tidak hanya meneguhkan keadilan dan musyawarah sebagai tujuan dan jalan bernegara yang sesuai dengan ajaran agama Islam, melainkan juga disempurnakan dengan tiga sila luhur yang lain, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa (tauhid), Kemanusiaan yang Adil dan Beradab (karamatul insan), dan Persatuan Indonesia (ukhuwah wathaniyah-basyariah). Berikut penjelasannya.
Pertama, Ketuhanan yang Maha Esa. Ketuhanan merupakan nilai dan prinsip manusia Indonesia untuk mengakui adanya Tuhan. Sikap dan tindakan manusia Indonesia merupakan cerminan dari baktinya kepada Tuhan. Jadi, setiap manusia Indonesia mendapatkan jaminan untuk merealisasikan agama dan kepercayaan dalam kehidupannya. Satu hal yang perlu diperhatikan adalah, jika engkau adalah seorang Muslim, maka Islamkanlah dirimu. Jika engkau adalah seorang Kristiani, maka Kristenkanlah dirimu. Jika engkau adalah seorang Budha, maka Budhakanlah dirimu. Jika engkau adalah seorang Hindu, maka Hindukanlah dirimu. Jika engkau adalah seorang yang percaya pada Tuhan, maka wujudkanlah nilai Ketuhananmu. Jika engkau adalah orang Indonesia, maka Indonesiakanlah sikap tindakmu.[3]
Dalam perspektif Islam, konsep Ketuhanan Yang Maha Esa disebut dengan “tauhid”. Tafsir ini tidak dimaksudkan untuk menafikan hak hidup agama-agama lain di Indonesia. Sebab, tauhid merupakan keyakinan terdalam dan paling dasar dari semua agama di dunia. QS al-Anbiya’ ayat 25 berbunyi :
وَمَآأَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلاَّنُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لآ إِلَهَ إِلآ أَنَا فَاعْبُدُونِ {25}
Artinya: Dan Kami tidak mengutus seorang rasul sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya sesungguhnya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah Aku". (QS. 21:25)
Keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa, meski dengan idiom yang berbeda-beda, tetap menjadi inti keimanan setiap umat meskipun dengan tata cara dan tempat ibadah yang berbeda-beda. Artinya, pada dasarnya semua agama mendoktrinkan keimanan kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa (tauhid). Perbedaannya, jika harus disebut demikian adalah dalam penyebutannya dan kelugasan konseptualisasinya. Lebih jelasnya, semua agama meyakini bahwa segala sesuatu berawal dari Yang Esa, Yang Satu, Yang Maha Baik dan Yang Maha Segalanya. Lalu, apakah negara Indonesia mengharamkan rakyatnya menganut paham atheis, paham yang menyangkal adanya Tuhan dan sekaligus menolak beragama? Jawabannya mengacu pada penegasan al-Quran dalam surah al-A’raf ayat 172.
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِن بَنِي ءَادَمَ مِن ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَآ..... {172}
Artinya: Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan manusia keturunan Adam dari tulang punggung (sulbi) mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (dengan bertanya) : Bukankah Aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab: Benar (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi... (QS. 7:172)
            Iblis pun bukan makhluk yang menyangkal adanya Tuhan. Bagaimana ia menyangkal adanya Tuhan, sedangkan dia sendiri berdialog dengan Tuhan. Dalam perjalanan hidup manusia yang menyangkal adanya Tuhan, bisa jadi di tengah hidupnya ia tergoda pada keyakinan atheis akibat kekecewaan terhadap orang-orang yang mengklaim ber-Tuhan tetapi ucapan dan perilakunya tidak mencerminkan perilaku beriman kepada Tuhan. Jadi, ketika muncul orang-orang atheis atau aliran-aliran menyimpang lain, merupakan peringatan keras bahwa telah terjadi kemunafikan pada kehidupan orang-orang yang mengaku ber-Tuhan dan beragama.[4]
Kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Dalam filosofi Pancasila, manusia yang berkemanusiaan adalah manusia Indonesia yang dapat mengejawantahkan nilai kemanusiaan dalam bentuk sikap tindak.[5] Nilai kemanusiaan yang adil dan beradab mengandung arti kesadaran sikap dan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai moral dalam hidup bersama atas dasar tuntutan hati nurani dengan memperlakukan suatu hal sebagaimana mestinya.[6] Kemanusiaan adalah sesuatu yang terkait dengan hakikat manusia, apa dan siapa. Untuk menjawab apa dan siapa, pertama al-Quran menegaskan bahwa manusia dititahkan sebagai khalifah di muka bumi. Allah SWT berfirman dalam dalam QS al-Baqarah ayat 30:
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّي جَاعِلُُ فِي الأَرْضِ خَلِيفَ....{30}
Artinya: dan tatkala Tuhanmu berkata kepada malaikat; “sesungguhnya Aku hendak menjadikan (Adam dan manusia keturunannya) khalifah di muka bumi... (QS. 2:30)
Dalam al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh Jilid VI, Wahbah Zuhaili mengatakan bahwa, kemuliaan manusia adalah hak kodrati setiap insan yang dilindungi oleh Islam sebagai landasan etika dan tata pergaulan; tidak seorang pun boleh dilecehkan hak-haknya, ditumpahkan darahnya atau direndahkan martabatnya secara begitu saja; tidak peduli apakah dia orang yang dianggap baik atau buruk, beragama Islam atau bukan. Kejahatan atas integritas rohani dan jasmani manusia merupakan kejahatan serius. Demi menjaga rohani manusia, Islam secara tegas menggaris bawahi prinsip kebebasan berkeyakinan atas keimanan manusia, dalam surah al-Baqarah ayat 256:
لآَإِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَد تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ .....
Artinya: Tidak ada paksaan dalam agama; karena sudah jelas kiranya mana yang lurus dan mana yang bengkok (QS. 2:30)
Dalam rangka menghormati martabat kemanusiaan, Islam juga memberikan kebebasan kepada umat manusia untuk berserikat, menjalin persahabatan dan kerja sama dengan siapa pun tanpa paksaan dari pihak lain. Hal ini ditegaskan dalam surah al-Anfal ayat 63. Pada saat yang sama, al-Quran dengan sangat tegas melindungi integritas fisik manusia dan mengutuk setiap kejahatan, surah al-Maidah ayat 32 menjelaskannya.[7]
مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ كَتَبْنَا عَلَى بَنِى إِسْرَاءِيلَ أَنَّهُ مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي اْلأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا ..... {32}
Artinya: Karena itulah kami tetapkan (suatu hukum) bagi bani israil, bahwa barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh seluruhnya. Dan barang siapa yang memelihara kehidupan menusia semuanya, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya... (QS. 5:32)
Ketiga, Persatuan Indonesia. Meskipun berbeda agama, berlainan warna kulit dan bahasa, namun kita memiliki nasib yang sama karena ratusan tahun terjajah. Karena persamaan nasib inilah, kita memiliki kesamaan dan persatuan watak yang menjadi penentu adanya suatu bangsa. Selain itu, faktor lain yakni, adanya keinginan bersama untuk merdeka, melepaskan diri dari belenggu penjajah, adanya kesatuan tempat tinggal, yaitu wilayah nusantara yang membentang dari Sabang sampai Merauke, serta adanya cita-cita bersama sebagai ikatan untuk mencapai kemakmuran dan keadilan.[8] Hakikat persatuan Indonesia merupakan prinsip untuk tetap utuh dan tidak pecah belah. Dengan kemajemukannya, Indonesia memiliki kelebihan dibandingkan bangsa lain. Namun, kelebihan tersebut dapat menjadi bumerang untuk menghancurkan bangsa Indonesia.[9] Persatuan Indonesia mengandung makna usaha untuk mengakui dan menghargai sepenuhnya keanekaragaman, yakni suku, agama, ras dan antar golongan. Adanya perbedaan bukanlah sebagai penyebab perselisihan atau konflik, namun justru menjadi perekat kebersamaan. Kesadaran ini akan tercipta dengan baik, apabila “Bhinneka Tunggal Ika” sungguh-sungguh dihayati dan diamalkan dengan baik.[10]
Dari kata satu (ahad, wahid dalam bahasa Arab), persatuan (wihdah), menggambarkan konsep menyatunya unsur yang berbeda. Dalam bahasa Islam disebut dengan jamaah. Lebih dari sekedar kerumunan orang banyak, jamaah adalah bergabungnya sejumlah orang secara sadar dalam wadah dan pola kebersamaan yang terstruktur, dengan visi misi dan aturan main serta kepemimpinan tertentu untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan bersama. Persatuan untuk saling berbagi tanggung jawab ini sejalan dengan firman Allah SWT dalam surah Ali Imran ayat 102 :
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا ...... {103}
Artinya: Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai.... (QS. 3:103)
            Diterangkan pula dalam surah al-Maidah ayat 2 bahwa:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَتَعَاوَنُوا عَلَى اْلإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ {2}
Artinya: Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan ketakwaan, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (QS. 5:2)
            Jauh sebelum hadirnya negara Indonesia yang majemuk, upaya membangun kehidupan berbangsa dan bernegara atas landasan kebangsaan yang majemuk (plural) telah dirintis oleh Muhammad Rasulullah saw sejak 14 abad yang lalu, tepat pada tahun 622 M di Madinah. Pemerintahan Rasulullah di Madinah adalah pemerintahan yang dibangun atas landasan kebhinekaan agama, tradisi dan suku. Prinsip ini tertuang dengan gamblang dalam naskah Konstitusi Negara Madinah yang lebih dikenal dengan sebutan Piagam Madinah. Dalam Sirah Nabawiyah oleh Ibnu Kasir dan Ibnu Hisyam sebagai berikut:
Inilah naskah perjanjian dari Nabi Muhammad saw, antara orang-orang beriman dan umat Islam dari suku Quraisy dan Yatsrib, serta orang-orang yang menyertainya dan yang berjuang bersamanya; mereka adalah satu komunitas yang manunggal; orang-orang muhajirin dari Quraisy berhak atas tradisinya; puak Auf berhak atas tradisinya; puak Saadah berhak atas tradisinya; puak al-Harits berhak atas tradisinya; puak Jusam berhak atas tradisinya; puak Amr bin Auf berhak atas tradisinya; puak na-Nubiet berhak atas tradisinya; dan puak al-Aus berhak atas tradisinya....
Perihal perlindungan atas kebhinekaan agama atau keyakinan berbunyi sebagai berikut:
            Umat Yahudi Bani Auf adalah satu umat atau komunitas bersama orang-orang yang beriman; Bagi Yahudi Bani Auf agama mereka dan bagi umat Islam agama mereka; bagi Yahudi Bani Najjar apa yang berlaku bagi Yahudi Bani Auf; demikian pula bagi Yahudi Bani al-Harits, Yahudi Bani Saadah, Yahudi Bani Jusam, Yahudi Bani al-Aus, maupun bagi Yahudi Bani Tsa’labah.
            Persatuan memang tidak mudah dipertahankan kecuali dengan semangat persaudaraan serta kesediaan bertenggang rasa dengan mengorbankan egoisme, sebagaimana yang dicontohkan para pendiri bangsa. Seperti tercatat dalam sejarah, ketika hendak menetapkan Pembukaan UUD 1945, sebagian saudara dari bagian Timur meminta agar tujuh kata “....dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” untuk dihapus. Setelah dilakukan konsultasi dengan tokoh-tokoh Islam yang berpengaruh seperti KH. Hasyim Asy’ari, akhirnya permintaan itu disetujui. Peristiwa ini mirip dengan yang terjadi pada perumusan Perjanjian Perdamaian Hudaibiyah antara Rasulullah dan sahabat-sahabatnya dengan para pemuka Quraisy. Kalimat “Bismillah ar-rahman ar-rahim” dan “Rasul Allah” ditolak dengan tegas oleh perwakilan pihak Quraisy Suhel bin Amr. Dengan kebesaran hati, Rasul menerima usulan itu, sehingga tercapailah kesepakatan antara kedua pihak.[11]
 
Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan di atas, pada kenyataannya Pancasila sangat sejalan dengan ajaran agama, terutama agama Islam, meskipun berbeda dalam penyebutan atau istilah yang digunakan. Seperti yang disampaikan oleh Mohammad Hatta, co-proklamator kita, bahwa Islam dalam konteks berbangsa dan bernegara Indonesia, ibarat “garam”, tidak terlihat di mata tapi sungguh terasa maknanya; bukan seperti gincu, mencolok setiap mata tapi tanpa rasa apa-apa. Pemahaman Islam yang substantif ini sejalan dengan kaidah fikih :
العِبْرَةُ فِى الْاِسْلَامِ بِالْجَوْهَرِ لاَ بِا لْمَظْهَرِ
Dalam Islam (sebagai ajaran spiritual-moral) yang utama adalah hakikat dan substansinya, bukan kulit atau penampakannya.[12]


[1] Sukarno, Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), h., 39-40
[2] Masdar Farid Mas’udi, Syarah UUD 1945 : Perspektif Islam, (Ciputat: Pustaka Alvabet, 2013), h., 77-80
[3] Muhammad Erwin, Pendidikan Kewarganegaraan Republik Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2013), h., 29-30
[4] Masdar Farid Mas’udi, Syarah UUD 1945, h., 33-37
[5]  Muhammad Erwin, Pendidikan Kewarganegaraan, h., 30
[6] Sukarno, Paradigma Baru Pendidikan, 27
[7] Masdar Farid Mas’udi, Syarah UUD 1945, h., 37-43
[8] Sukarno, Paradigma Baru Pendidikan, h., 53
[9]  Muhammad Erwin, Pendidikan Kewarganegaraan, h., 31
[10] Sukarno, Paradigma Baru Pendidikan, h., 27
[11]  Masdar Farid Mas’udi, Syarah UUD 1945, h., 43-48
[12]  Masdar Farid Mas’udi, Syarah UUD 1945, h., 80-82

Selasa, 31 Desember 2019

HARUSKAH MENCARI PASANGAN YANG SEDERAJAT?


Ubaiyana[1]
Cinta saja sepertinya memang tak cukup untuk membina rumah tangga. Memang tidak hanya cinta, membina rumah tangga juga membutuhkan kerja keras, tanggung jawab, keberanian, keteguhan, dan kemampuan menyelesaikan masalah. Tetapi tahukah? Pada kenyataannya, membangun rumah tangga juga membutuhkan faktor lain seperti harta. Studi terbaru yang diterbitkan oleh Journal of Family and Marriage menemukan, tingkat perkawinan di Amerika Serikat terus menurun karena kaum laki-laki yang tidak menarik secara ekonomi (miskin). Menarik bukan?
Di Indonesia, tidak dapat dipungkiri stereotipe masyarakat juga menekankan pada kesepadanan (dalam Islam disebut dengan Al-Kafa’ah). Namun, kesepadanan yang dimaksud tidak hanya menurut harta, tetapi juga menurut keilmuan, nasab keluarga, agama, pekerjaan, serta hukum adat tertentu. Tolak ukur kesepadanan ini serupa dengan yang diatur dalam ajaran agama Islam. Tidak lain karena kultur budaya yang banyak dipengaruhi oleh agama. Menanggapi hal itu, pertanyaan yang kemudian muncul adalah, apakah kita harus mencari pasangan yang sederajat (sekufu)? Lalu, apakah sepadan merupakan syarat sah akad? Berikut ulasannya.
Kesepadanan (Al-Kafa’ah) dalam pernikahan akan dijelaskan menurut empat Mazhab, antara lain sebagai berikut :
§  Mazhab Hanafi, kesepadanan berarti persamaan laki-laki dan perempuan terkait hal-hal khusus, yaitu nasab, Islam, pekerjaan, status merdeka, pengamalan ajaran agama, dan harta.
ü  Laki-laki yang bernasab rendah dapat dikenali melalui asalnya bahwa dia bukan atau berasal dari suku wanita yang hendak dinikahi, seperti golongan ajam (bukan Arab) dan Arab. Bangsa Arab juga terbagi menjadi golongan Quraisy dan selain Quraisy. Jika suami berasal dari Quraisy dan istri pun dari Quraisy maka sah dari segi nasab, meskipun berlainan suku.
ü  Orang selain Arab yang berilmu dan miskin sepadan dengan orang Arab yang bodoh dan kaya atau terhormat yang nasabnya tinggi. Hal ini karena kemuliaan ilmu berada di atas nasab dan kekayaan materi.
ü  Dari segi harta, sebagian berpendapat bahwa harus ada kesamaan antara suami dan istri. sebagian lain berpendapat bahwa suami cukup disyaratkan mampu membayar mahar menurut ketentuan yang diterapkan di kalangan mereka. Suami dikategorikan sepadan, apabila dia memiliki penghasilan yang mencukupi kebutuhannya sehari-hari. Sebab dengan harta, suami dapat menjaga kehormatan istri dan keluarganya serta mencegahnya dari perbuatan memalukan dan keterjerumusan dalam perkara-perkara yang tidak pantas baginya.
ü  Dalam pengamalan ajaran agama, laki-laki fasik tidak sepadan dengan wanita shalihah anak orang shalih. Orang fasik adalah orang yang dikenal oleh masyarakat bertindak tercela seperti mabuk di jalan, pergi ke tempat prostitusi, kerusakan moral dan tempat perjudian, atau pemuda yang menyatakan dirinya tidak shalat dan puasa. Jika bapak dari wanita shalihah adalah orang fasik, lantas dia menikah dengan orang yang fasik, maka pernikahannya sah. Bapaknya tidak berhak untuk menolak, karena ia fasik seperti suami yang dipilih anaknya. Demikian pula jika wanita fasik anak orang shalih, menikah dengan orang fasik, maka pernikahannya tetap sah. Bapaknya juga tidak berhak untuk menolak, karena aib yang ditanggung oleh anaknya lebih besar daripada aib yang ditanggung bapaknya sebagai mertua dari menantu yang fasik.
Perlu dipahami bahwa kesepadanan merupakan acuan bagi pihak laki-laki bukan bagi pihak perempuan. Dengan demikian, laki-laki boleh menikahi siapapun yang dia kehendaki, meskipun budak atau pembantu.    
§  Mazhab Maliki, kesepadanan dalam pernikahan berarti tingkat pengamalan terhadap ajaran agama dan terbebas dari cacat-cacat yang menyebabkan pihak wanita berhak untuk menentukan pilihan terhadap suami, seperti kusta, gila, dan lepra. Adapun kesepadanan terkait harta, status merdeka, nasab dan pekerjaan, merupakan acuan pihak yang bersangkutan. Jika orang dari kalangan bawah menikahi wanita terhormat, maka pernikahannya sah. Jika tukang keledai atau tukang sampah menikahi wanita terhormat, maka pernikahannya tetap sah.
§  Mazhab Asy-Syafi’i, kesepadanan merupakan hal yang jika tidak terwujud maka akan memunculkan adanya aib. Kesepadanan dijadikan acuan terkait empat hal yaitu nasab, agama, status merdeka, dan pekerjaan.
ü  Mengenai nasab, penjelasannya sedikit banyak sama dengan pendapat dari mazhab Hanafi. Tambahannya, jika seorang wanita dinisbatkan kepada seseorang yang membuatnya menjadi terhormat, maka suaminya pun harus dinisbatkan kepada orang seperti itu.
ü  Adapun dari segi pengamalan ajaran agama, selayaknya suami sama dengan istri terkait penjagaan kehormatan diri dan keistiqomahan. Jika seseorang fasik lantaran melakukan perbuatan zina, maka dia tidak sepadan dengan wanita yang menjaga kehormatan dirinya, sekalipun laki-laki tersebut bertaubat dan pertaubatannya baik, karena pertaubatan dari zina tidak menghapus aib dan kesan buruk dalam masyarakat. Namun jika dia fasik lantaran perbuatan selain zina, seperti minum khamr, kemudian bertaubat, maka ia sepadan dengan wanita yang istiqomah tersebut.
ü  Orang-orang yang berstatus sebagai pekerja rendahan (menurut kebiasaan yang berlaku) seperti tukang sapu, tukang bekam, penjaga lingkungan, dan pembersih kamar mandi, tidak sepadan dengan wanita yang memiliki pekerjaan terhormat.
ü  Harta tidak dijadikan acuan kesepadanan. Dengan demikian, jika seseorang yang miskin menikahi perempuan kaya, keduanya dinyatakan sepadan.
Ulama berpendapat sama bahwa kesepadanan merupakan acuan dari sisi istri. Adapun dari sisi suami, dia boleh menikah dengan budak wanita atau pembantu.
§  Mazhab Hambali, kesepadanan adalah persamaan antara calon kedua mempelai terkait, pengamalan ajaran agama, profesi, kecukupan harta, status merdeka, dan nasab.
ü  Mengenai pengamalan ajaran agama, laki-laki fasik yang durhaka tidak sepadan dengan wanita shalihah yang memiliki integritas keagamaan dan menjaga kehormatan dirinya.
ü  Orang yang berprofesi rendah tidak sepadan dengan perempuan yang berprofesi terhormat.
ü  Kecukupan harta sesuai dengan mahar dan nafkah yang diberikannya kepada istri. Oleh karena itu, orang yang mengalami kesulitan ekonomi tidak sepadan dengan wanita yang memiliki kecukupan dari segi ekonomi.
ü  Orang selain arab tidak sepadan dengan wanita arab.
Demikian penjelasan mengenai kesepadanan menurut empat mazhab. Pertanyaan selanjutnya, apakah sepadan merupakan syarat sah akad? Berikut penjelasannya.
§  Mazhab Hanafi, kesepadanan merupakan syarat pelaksanaan akad nikah dan berkaitan erat dengan wali. Jika seorang wanita menikahkan dirinya dengan orang yang tidak memenuhi kriteria kesepadanan, maka walinya berhak untuk menolak akad. Akad tidak dapat dilaksanakan hingga walinya ridha. Kesepadanan termasuk dalam hak wali (wali ashabah meskipun bukan mahram, jika kerabat di luar ashabah maka ia tidak memiliki hak terkait kesepadanan).
§  Mazhab Maliki, faktor kesepadanan terkait dengan gugurnya suatu pernikahan, pendapat lain mengatakan gugur secara mutlak. Adapun wanita dewasa yang berwenang atas dirinya sendiri, dapat dinikahkan oleh hakim tanpa harus memastikan kesepadanan, karena wanita dewasa berperan sebagai pemilik hak dalam pernikahan.
§  Mazhab Asy-Syafi’i, kesepadanan merupakan syarat sah pernikahan yang tidak berkaitan dengan keridhaan dan merupakan hak wanita serta wali. Jika keduanya tidak meridhai suami yang tidak memenuhi syarat kesepadanan, maka akad nikahnya tidak sah. Jika wanita meridhai suami yang terpotong alat vitalnya (impotensi) sementara wali tidak ridha, maka akadnya sah dan tidak perlu menunggu ridha wali.
§  Mazhab Hambali, jika wali menikahkan dengan laki-laki yang tidak sepadan dan tanpa ridha wanita, maka wali berdosa dan wali berstatus fasik.
Demikianlah penjelasan mengenai kesepadanan (Al-Kafa’ah) dalam pernikahan.  

Referensi :
Syaikh Abdurrahman Al-Juzairi, Fikih Empat Mazhab, Jilid 5, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta


[1] Mahasiswa Magister Hukum Kenegaraan, Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan Staf Bina Wilayah Jawa Tengah dan DIY MITI-KM (Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia Klaster Mahasiswa)

SYARAH PANCASILA : TAARUF DENGAN NEGARA MELALUI AGAMA

Pendahuluan Sebagai suatu kesatuan kehidupan masyarakat, bangsa memiliki cita-cita hidup yang disebut sebagai ideologi. Ideologi menj...