Pendahuluan
Sebagai suatu kesatuan kehidupan masyarakat, bangsa memiliki
cita-cita hidup yang disebut sebagai ideologi. Ideologi menjadi pedoman dalam
menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi dan menjadi penentu masa depan
bangsa. Bangsa Indonesia memiliki Pancasila sebagai pandangan hidup yang sejak
dahulu telah dirumuskan para pahlawan. Ketetapan MPR No. XVIII/MPR/1998 tentang
Pencabutan Ketetapan MPR RI No.II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila (Eka Prasetya Pancakarsa) dan Penetapan tentang Penegasan
Pancasila sebagai dasar Negara, mengungkapkan bahwa nilai-nilai yang terkandung
dalam ideologi Pancasila menjadi cita-cita normatif penyelenggaraan negara.
Secara luas dapat diartikan, arah dari penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan
bernegara Indonesia adalah terwujudnya kehidupan ber-Ketuhanan,
ber-Kemanusiaan, ber-Persatuan, ber-Kerakyatan, dan ber-Keadilan.[1]
Pancasila telah mempersatukan bangsa Indonesia, sehingga dari
tiap-tiap sila Pancasila tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Tidak hanya
sebagai cita-cita normatif, Pancasila juga mengandung nilai-nilai yang dapat
merangkul seluruh kebutuhan masyarakat Indonesia, bahkan dapat membantah segala
bentuk propaganda perpecahan yang dibuat oleh kelompok sempalan yang belakangan
ini terus ramai menjadi perbincangan. Pernyataan yang sering muncul salah
satunya adalah konsep kedaulatan rakyat merupakan konsep sekuler yang
menyangkal kedaulatan Tuhan. Salah satu dari mereka yang berkumandang adalah
orang-orang yang mengilusikan negara Indonesia sebagai negara Islam atau akrab
dikenal dengan Negara Islam Indonesia (NII). Sejatinya, apa yang mereka
perjuangkan adalah penyematan label atau merek Islam. Perlu menjadi catatan
kita semua bahwa tidak ada rujukan baik dari al-Quran maupun hadis Nabi tentang
penyematan label Islam pada negara. Penegasan ini sangat diperlukan, karena pada
umumnya pengusung label negara Islam adalah orang-orang yang selalu mengukur
kebenaran dengan teks agama. Semakin harfiah (tekstual) suatu rujukan, semakin
tinggi nilainya. Sesuatu yang tidak punya rujukan teks al-Quran dan hadis
disebut bid’ah, semua bid’ah adalah sesat, dan semua yang sesat adalah neraka.
Dengan menggunakan premis yang sama dengan kelompok di atas, dapat ditegaskan
pula bahwa penamaan “Negara Islam” adalah bid’ah dhalalah (bidah yang
sesat). Apabila penamaan negara Islam merupakan kewajiban atau minimal
keutamaan, maka Rasulullah telah menamakan negara Madinah dengan sebutan
“Negara Islam Madinah”. Namun, faktanya tidak. Bahkan sebutan “Negara Islam
Madinah” tidak pernah ditemukan dalam dokumen hadis, pemikiran atau narasi
sejarah Islam yang otoritatif sejak zaman Nabi sampai sekarang. Perlu diketahui
bahwa term “Dar al-Islam” atau “Dawlah Islamiyah”, ditemukan
dalam teks komentar atas ayat al-Quran, hadis atau dalam teks-teks fikih
sekitar abad kedua. Istilah tersebut terbatas dalam pengertian sosiologis yang
menunjuk pada negeri atau wilayah dengan penduduk mayoritas beragama Islam.
Istilah ini muncul sekitar awal abad ke-20 sejak runtuhnya Turki Utsmani tahun
1924, kemudian diperkeras oleh munculnya Negara Yahudi Israel pada tahun 1948.
Dengan kata lain, istilah Negara Islam merupakan reaksi politik umat Islam
terhadap pengaruh luar dalam relasi dan kontestasi dengan blok dunia Kristen di
Eropa dan Barat.[2]
Syarah Pancasila Sebagai Klarifikasi Kesalahpahaman Kelompok
Sempalan
Jika ditelusuri lebih dalam, Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) dengan Pancasila-nya tidak hanya meneguhkan keadilan dan musyawarah
sebagai tujuan dan jalan bernegara yang sesuai dengan ajaran agama Islam,
melainkan juga disempurnakan dengan tiga sila luhur yang lain, yakni Ketuhanan
Yang Maha Esa (tauhid), Kemanusiaan yang Adil dan Beradab (karamatul
insan), dan Persatuan Indonesia (ukhuwah wathaniyah-basyariah).
Berikut penjelasannya.
Pertama, Ketuhanan yang Maha Esa. Ketuhanan merupakan nilai dan prinsip
manusia Indonesia untuk mengakui adanya Tuhan. Sikap dan tindakan manusia
Indonesia merupakan cerminan dari baktinya kepada Tuhan. Jadi, setiap manusia
Indonesia mendapatkan jaminan untuk merealisasikan agama dan kepercayaan dalam
kehidupannya. Satu hal yang perlu diperhatikan adalah, jika engkau adalah
seorang Muslim, maka Islamkanlah dirimu. Jika engkau adalah seorang Kristiani,
maka Kristenkanlah dirimu. Jika engkau adalah seorang Budha, maka Budhakanlah
dirimu. Jika engkau adalah seorang Hindu, maka Hindukanlah dirimu. Jika engkau
adalah seorang yang percaya pada Tuhan, maka wujudkanlah nilai Ketuhananmu.
Jika engkau adalah orang Indonesia, maka Indonesiakanlah sikap tindakmu.[3]
Dalam perspektif Islam, konsep Ketuhanan Yang Maha Esa disebut dengan
“tauhid”. Tafsir ini tidak dimaksudkan untuk menafikan hak hidup agama-agama
lain di Indonesia. Sebab, tauhid merupakan keyakinan terdalam dan paling dasar
dari semua agama di dunia. QS al-Anbiya’ ayat 25 berbunyi :
وَمَآأَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن
رَّسُولٍ إِلاَّنُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لآ إِلَهَ إِلآ أَنَا فَاعْبُدُونِ {25}
Artinya: Dan Kami
tidak mengutus seorang rasul sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya
sesungguhnya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah
Aku". (QS. 21:25)
Keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa, meski dengan idiom yang
berbeda-beda, tetap menjadi inti keimanan setiap umat meskipun dengan tata cara
dan tempat ibadah yang berbeda-beda. Artinya, pada dasarnya semua agama
mendoktrinkan keimanan kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa (tauhid).
Perbedaannya, jika harus disebut demikian adalah dalam penyebutannya dan
kelugasan konseptualisasinya. Lebih jelasnya, semua agama meyakini bahwa segala
sesuatu berawal dari Yang Esa, Yang Satu, Yang Maha Baik dan Yang Maha
Segalanya. Lalu, apakah negara Indonesia mengharamkan rakyatnya menganut paham atheis,
paham yang menyangkal adanya Tuhan dan sekaligus menolak beragama? Jawabannya
mengacu pada penegasan al-Quran dalam surah al-A’raf ayat 172.
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِن بَنِي
ءَادَمَ مِن ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنفُسِهِمْ
أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَآ..... {172}
Artinya: Dan (ingatlah), ketika
Tuhanmu mengeluarkan manusia keturunan Adam dari tulang punggung (sulbi) mereka
dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (dengan bertanya) : Bukankah
Aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab: Benar (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi...
(QS. 7:172)
Iblis
pun bukan makhluk yang menyangkal adanya Tuhan. Bagaimana ia menyangkal adanya
Tuhan, sedangkan dia sendiri berdialog dengan Tuhan. Dalam perjalanan hidup
manusia yang menyangkal adanya Tuhan, bisa jadi di tengah hidupnya ia tergoda
pada keyakinan atheis akibat kekecewaan terhadap orang-orang yang
mengklaim ber-Tuhan tetapi ucapan dan perilakunya tidak mencerminkan perilaku
beriman kepada Tuhan. Jadi, ketika muncul orang-orang atheis atau aliran-aliran
menyimpang lain, merupakan peringatan keras bahwa telah terjadi kemunafikan
pada kehidupan orang-orang yang mengaku ber-Tuhan dan beragama.[4]
Kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Dalam filosofi Pancasila,
manusia yang berkemanusiaan adalah manusia Indonesia yang dapat
mengejawantahkan nilai kemanusiaan dalam bentuk sikap tindak.[5]
Nilai kemanusiaan yang adil dan beradab mengandung arti kesadaran sikap dan
perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai moral dalam hidup bersama atas dasar
tuntutan hati nurani dengan memperlakukan suatu hal sebagaimana mestinya.[6]
Kemanusiaan adalah sesuatu yang terkait dengan hakikat manusia, apa dan siapa.
Untuk menjawab apa dan siapa, pertama al-Quran menegaskan bahwa manusia
dititahkan sebagai khalifah di muka bumi. Allah SWT berfirman dalam dalam QS
al-Baqarah ayat 30:
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ
لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّي جَاعِلُُ فِي الأَرْضِ خَلِيفَ....{30}
Artinya: dan tatkala Tuhanmu berkata kepada malaikat; “sesungguhnya
Aku hendak menjadikan (Adam dan manusia keturunannya) khalifah di muka bumi... (QS.
2:30)
Dalam al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh Jilid VI, Wahbah
Zuhaili mengatakan bahwa, kemuliaan manusia adalah hak kodrati setiap insan
yang dilindungi oleh Islam sebagai landasan etika dan tata pergaulan; tidak
seorang pun boleh dilecehkan hak-haknya, ditumpahkan darahnya atau direndahkan
martabatnya secara begitu saja; tidak peduli apakah dia orang yang dianggap
baik atau buruk, beragama Islam atau bukan. Kejahatan atas integritas rohani
dan jasmani manusia merupakan kejahatan serius. Demi menjaga rohani manusia,
Islam secara tegas menggaris bawahi prinsip kebebasan berkeyakinan atas
keimanan manusia, dalam surah al-Baqarah ayat 256:
لآَإِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَد
تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ .....
Artinya: Tidak ada paksaan dalam agama; karena sudah jelas kiranya
mana yang lurus dan mana yang bengkok (QS. 2:30)
Dalam
rangka menghormati martabat kemanusiaan, Islam juga memberikan kebebasan kepada
umat manusia untuk berserikat, menjalin persahabatan dan kerja sama dengan
siapa pun tanpa paksaan dari pihak lain. Hal ini ditegaskan dalam surah
al-Anfal ayat 63. Pada saat
yang sama, al-Quran dengan sangat tegas melindungi integritas fisik manusia dan
mengutuk setiap kejahatan, surah al-Maidah ayat 32 menjelaskannya.[7]
مِنْ أَجْلِ
ذَلِكَ كَتَبْنَا عَلَى بَنِى إِسْرَاءِيلَ أَنَّهُ مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ
نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي اْلأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا وَمَنْ
أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا ..... {32}
Artinya:
Karena itulah kami tetapkan (suatu hukum) bagi bani israil, bahwa barang siapa
yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain,
atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah
membunuh seluruhnya. Dan barang siapa yang memelihara kehidupan menusia
semuanya, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya...
(QS. 5:32)
Ketiga, Persatuan Indonesia. Meskipun berbeda agama, berlainan
warna kulit dan bahasa, namun kita memiliki nasib yang sama karena ratusan
tahun terjajah. Karena persamaan nasib inilah, kita memiliki kesamaan dan
persatuan watak yang menjadi penentu adanya suatu bangsa. Selain itu, faktor
lain yakni, adanya keinginan bersama untuk merdeka, melepaskan diri dari
belenggu penjajah, adanya kesatuan tempat tinggal, yaitu wilayah nusantara yang
membentang dari Sabang sampai Merauke, serta adanya cita-cita bersama sebagai
ikatan untuk mencapai kemakmuran dan keadilan.[8]
Hakikat persatuan Indonesia merupakan prinsip untuk tetap utuh dan tidak pecah
belah. Dengan kemajemukannya, Indonesia memiliki kelebihan dibandingkan bangsa
lain. Namun, kelebihan tersebut dapat menjadi bumerang untuk menghancurkan
bangsa Indonesia.[9]
Persatuan Indonesia mengandung makna usaha untuk mengakui dan menghargai
sepenuhnya keanekaragaman, yakni suku, agama, ras dan antar golongan. Adanya
perbedaan bukanlah sebagai penyebab perselisihan atau konflik, namun justru
menjadi perekat kebersamaan. Kesadaran ini akan tercipta dengan baik, apabila
“Bhinneka Tunggal Ika” sungguh-sungguh dihayati dan diamalkan dengan baik.[10]
Dari kata satu (ahad, wahid dalam bahasa Arab),
persatuan (wihdah), menggambarkan konsep menyatunya unsur yang berbeda.
Dalam bahasa Islam disebut dengan jamaah. Lebih dari sekedar kerumunan orang
banyak, jamaah adalah bergabungnya sejumlah orang secara sadar dalam wadah dan
pola kebersamaan yang terstruktur, dengan visi misi dan aturan main serta
kepemimpinan tertentu untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan bersama. Persatuan
untuk saling berbagi tanggung jawab ini sejalan dengan firman Allah SWT dalam
surah Ali Imran ayat 102 :
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ
جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا ...... {103}
Artinya: Dan berpeganglah kamu
semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai.... (QS.
3:103)
Diterangkan
pula dalam surah al-Maidah ayat 2 bahwa:
وَتَعَاوَنُوا
عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَتَعَاوَنُوا عَلَى اْلإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ {2}
Artinya: Dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan ketakwaan, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada
Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (QS. 5:2)
Jauh sebelum
hadirnya negara Indonesia yang majemuk, upaya membangun kehidupan berbangsa dan
bernegara atas landasan kebangsaan yang majemuk (plural) telah dirintis oleh
Muhammad Rasulullah saw sejak 14 abad yang lalu, tepat pada tahun 622 M di
Madinah. Pemerintahan Rasulullah di Madinah adalah pemerintahan yang dibangun
atas landasan kebhinekaan agama, tradisi dan suku. Prinsip ini tertuang dengan
gamblang dalam naskah Konstitusi Negara Madinah yang lebih dikenal dengan
sebutan Piagam Madinah. Dalam Sirah Nabawiyah oleh Ibnu Kasir dan Ibnu Hisyam
sebagai berikut:
Inilah naskah perjanjian dari Nabi
Muhammad saw, antara orang-orang beriman dan umat Islam dari suku Quraisy dan
Yatsrib, serta orang-orang yang menyertainya dan yang berjuang bersamanya;
mereka adalah satu komunitas yang manunggal; orang-orang muhajirin dari Quraisy
berhak atas tradisinya; puak Auf berhak atas tradisinya; puak Saadah berhak
atas tradisinya; puak al-Harits berhak atas tradisinya; puak Jusam berhak atas
tradisinya; puak Amr bin Auf berhak atas tradisinya; puak na-Nubiet berhak atas
tradisinya; dan puak al-Aus berhak atas tradisinya....
Perihal perlindungan atas kebhinekaan agama atau keyakinan berbunyi
sebagai berikut:
Umat Yahudi Bani Auf adalah satu
umat atau komunitas bersama orang-orang yang beriman; Bagi Yahudi Bani Auf
agama mereka dan bagi umat Islam agama mereka; bagi Yahudi Bani Najjar apa yang
berlaku bagi Yahudi Bani Auf; demikian pula bagi Yahudi Bani al-Harits, Yahudi
Bani Saadah, Yahudi Bani Jusam, Yahudi Bani al-Aus, maupun bagi Yahudi Bani
Tsa’labah.
Persatuan memang
tidak mudah dipertahankan kecuali dengan semangat persaudaraan serta kesediaan
bertenggang rasa dengan mengorbankan egoisme, sebagaimana yang dicontohkan para
pendiri bangsa. Seperti tercatat dalam sejarah, ketika hendak menetapkan
Pembukaan UUD 1945, sebagian saudara dari bagian Timur meminta agar tujuh kata
“....dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” untuk dihapus.
Setelah dilakukan konsultasi dengan tokoh-tokoh Islam yang berpengaruh seperti
KH. Hasyim Asy’ari, akhirnya permintaan itu disetujui. Peristiwa ini mirip
dengan yang terjadi pada perumusan Perjanjian Perdamaian Hudaibiyah antara
Rasulullah dan sahabat-sahabatnya dengan para pemuka Quraisy. Kalimat “Bismillah
ar-rahman ar-rahim” dan “Rasul Allah” ditolak dengan tegas oleh
perwakilan pihak Quraisy Suhel bin Amr. Dengan kebesaran hati, Rasul menerima
usulan itu, sehingga tercapailah kesepakatan antara kedua pihak.[11]
Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan di atas, pada kenyataannya Pancasila sangat
sejalan dengan ajaran agama, terutama agama Islam, meskipun berbeda dalam
penyebutan atau istilah yang digunakan. Seperti yang disampaikan oleh Mohammad
Hatta, co-proklamator kita, bahwa Islam dalam konteks berbangsa dan bernegara
Indonesia, ibarat “garam”, tidak terlihat di mata tapi sungguh terasa maknanya;
bukan seperti gincu, mencolok setiap mata tapi tanpa rasa apa-apa. Pemahaman
Islam yang substantif ini sejalan dengan kaidah fikih :
العِبْرَةُ فِى الْاِسْلَامِ
بِالْجَوْهَرِ لاَ بِا لْمَظْهَرِ
Dalam Islam (sebagai ajaran spiritual-moral) yang utama adalah
hakikat dan substansinya, bukan kulit atau penampakannya.[12]
[1] Sukarno, Paradigma
Baru Pendidikan Kewarganegaraan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), h.,
39-40
[2] Masdar Farid
Mas’udi, Syarah UUD 1945 : Perspektif Islam, (Ciputat: Pustaka Alvabet,
2013), h., 77-80
[3] Muhammad
Erwin, Pendidikan Kewarganegaraan Republik Indonesia, (Bandung: Refika
Aditama, 2013), h., 29-30
[4] Masdar Farid
Mas’udi, Syarah UUD 1945, h., 33-37
[5] Muhammad Erwin, Pendidikan
Kewarganegaraan, h., 30
[6] Sukarno, Paradigma
Baru Pendidikan, 27
[7] Masdar Farid
Mas’udi, Syarah UUD 1945, h., 37-43
[8] Sukarno, Paradigma
Baru Pendidikan, h., 53
[9] Muhammad Erwin, Pendidikan
Kewarganegaraan, h., 31
[10] Sukarno, Paradigma
Baru Pendidikan, h., 27
[11] Masdar Farid Mas’udi, Syarah UUD 1945, h.,
43-48
[12] Masdar Farid Mas’udi, Syarah UUD 1945,
h., 80-82